~Happy Reading~
PoV Andraa
Seminggu sudah Julian meninggalkan Indonesia dan meninggalkanku. Julian pergi baru saja sepekan. Tapi, rasanya sudah bertahun-tahun aku tidak bertemu dengannya. Entah, berapa bulan bahkan berapa tahun aku harus menunggunya untuk kembali ke Indonesia.
"Kapan gue bisa pulang, Ca?" tanyaku.
Aku sangat berterima kasih banyak kepada sahabatku yang masih setia menjagaku di sini. Entah apa yang ada dipikirannya, mengapa dia buang-buang waktunya hanya untuk menjagaku? Ah, aku sungguh beruntung memiliki sahabat seperu Larissa. Yang jelas aku sangatlah berterima kasih.
"Belum ada kabar lagi, Draa. Lo sabar ya," balasnya.
Aku hanya tersenyum getir, sudah empat hari aku hanya berbaring tanpa kegiatan, badanku terasa sangat pegal dan kaku. Harusnya badanku sudah mulai membaik karena sel kanker yang bersarang ditubuhku sudah terangkat. Tapi, kenapa dua hari terakhir ini aku selalu merasakan sakit yang luar biasa?
"Ma, Pa. Andraa boleh keliling taman rumah sakit tidak?"
Mama menatapku ragu, sepertinya ia tampak bingung untuk memutuskan keputusannya. "Sayang, kamu masih dalam tahap pemulihan. Nak, jangan berbuat yang aneh-aneh dulu, ya?" sangkal mama.
"Andraa tidak akan melakukan yang membuat badan Andraa sakit lagi, Ma."
"Jangan dulu ya, Sayang. Kamu tahu 'kan saat kami mendengar tentang penyakitmu, Mamamu sangat mengkhawatirkan itu semua," timpal Papaku. Ah, sepertinya Papa berada di pihaknya Mama. Tapi aku bosan!
Aku menatap kearah Larissa, aku berharap dia mengerti dengan tatapanku ini. Hanya Larissa yang sangat paham terhadapku. Aku terus-menerus menatapnya, Larissa tampak kebingungan apa maksud dari tatapanku.
"Tante, Om, ... tidak apa-apa. Andraa bisa keluar ditemani sama Ica," Larissa bersuara dengan tepat, akhirnya sebentar lagi aku bisa menghirup udara bebas, meski masih sekitaran rumah sakit. Tapi, tidak apa-apa aku senang.
"Kalau begitu baiklah, kami percaya kepadamu."
"Baik, terima kasih," ucapnya seraya membantuku untuk menduduki kursi roda yang telah disediakan.
Aku tersenyum, akhirnya jarum yang menempel ditubuhku sudah dilepas, semoga ini awal dari kesembuhanku, meski saat itu Dokter mengatakan jika penyakitku sudah berada di stadium akhir. Tapi, tidak menutup kemungkinan untuk aku sembuh.
Aku duduk di kursi roda dengan santay, ditemani Ica yang masih setia mendorong kursiku dengan pelan, kami melewati lorong-lorong rumah sakit untuk menuju taman.
"Julian ada kabar, Ca?" tanyaku menepiskan keheningan.
"Tidak ada, tapi apa salahnya jika kita mengiriminya sebuah pesan, bukankah itu tidak akan mengganggu kegiatannya, disana?" simpul Larissa dengan penuh semangat.
"Oh, baiklah. Kirimi dia pesan kapan dia ada waktu yang senggang?"
"Oke, done. Semoga Kak Julian segera membalasnya,"
"Ohya, mau duduk di mana?" tanya Larissa. Kini kami berdua sudah tepat berada ditaman rumah sakit.
"Itu disana." Aku menunjuk sebuah kursi yang kosong dan tanpa basa-basi Larissa membawaku kesana.
Ting!
[Hari ini aku senggang, kenapa? Terjadi sesuatu kepada Dyandraa? Katakan]
"Ah, Andraa. Kak Julian sudah membalasnya."
"Ohya, apa yang dia katakan?" tanyaku penasaran.
"Kita langsung telepon saja, bagaimana?"
Aku mengangguk antusias mendengarnya, Begitu pun dengan Larissa yang dengan segera menghubungi Julian untuku.
"Hallo?" suara beratnya terdengar jelas olehku. Namun, kenapa air mataku tiba-tiba lolos? Harusnya aku senang, bukan?
"Apakah, kamu mendengar suaraku?" suara beratnya lagi-lagi membuat air mataku lolos.
"Ya, aku disini, aku merindukanmu, cepatlah pulang." Aku berucap lirih.
"Dyandraa, ya?" suara dari sebrang sana sepertinya laki-laki itu sangat tahu jelas dengan suaraku.
"Ah, aku juga sangat merindukanmu, secepatnya aku akan pulang untuk menemuimu, gimana keadaanmu, apakah masih sakit?"
"Tidak, tidak sakit sama sekali, aku baru saja menjalankan operasi tiga hari yang lalu, aku akan menunggumu."
"Baiklah, aku berjanji kepadamu, aku tidak akan lama-lama disini, dan aku usahakan untuk selalu mengabarimu, tunggu aku pulang, aku berjanji akan memperbaiki semuanya,"
"Ya, aku percaya kepadamu, jaga diri baik-baik disana, aku tutup teleponnya dulu. Bye,"
"Tunggu, em ... aku mencintaimu."
"Me too, Babe," balasku, kini aku mematikan teleponnya, hatiku mulai membaik ketika aku mendengar suaranya.
"Bahagia banget kelihatannya," ucap Larissa dengan suara yang sedikit menggodaku. Ah, rasanya pipiku akan memerah.
"Tentu, aku bisa mendengar suaranya, meskipun aku tidak bisa menatap wajah datarnya." Aku terkekeh pelan menjawabnya.
"Syukurlah, hari ini lo bisa tersenyum lagi, Draa. Tapi, apa lo yakin akan menunggu Kak Julian kembali?"
"Jika gue mampu, mengapa tidak?"
"Aku sudah memasuki tahap pemulihan, bukan?" tanyaku untuk kembali meyakinkan Larissa yang sempat meragukan hubunganku dan Julian.
"Apa yang sebenarnya lo takutin, Ca?"
"Tidak ada, hanya saja gue takut kisah lo sama kayak di film-film gitu, Julian pulang ke Indonesia bersama kekasih barunya. Ah, apa gue kebanyakan nonton drama kali, ya?" ucapnya seraya menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.
'Kekasih baru?' batinku, aku menggelengkan kepalaku. Tidak mungkin Julian mengingkari janjinya. Itu semua tidak mungkin terjadi.
"Lo tenang aja, Ca. Kak Julian bukan tipikal cowok seperti itu, bukan?" aku menyangkal apa yang ada dipikiran Larissa. Meskipun perkataan Larissa sedikit menggoyahkan keyakinanku.
Fyi. Mungkin saja Larissa hanya takut akan hubungan jarak jauh atau yang bisa disebut dengan LDR yang berakhir menyakitkan, tapi aku yakin suatu saat nanti, Julian akan menempati janjinya, dan aku akan selalu menunggu hal itu terjadi.
Larissa terlihat menarik nafasnya. "Fyuhh ... yasudah, kita kembali ke ruangan, lo sudah terlalu lama disini," ujar Larissa seraya mendorong kursi rodaku.
"Baiklah, Nona ...," jawabku dengan sedikit kekehan.
"Apaan sih, Andraa," sanggahnya dengan senyuman.
Semoga apa yang Larissa khawatirkan itu semua tidak menjadi kenyataan, meski kini jarak memisahkan antara aku dengan Julian.
Jika pun itu semua terjadi, aku akan berusaha untuk menerimanya, setidaknya aku tidak lagi penasaran dengan kembalinya Julian ke Indonesia. Yang terpenting aku sudah menempati janjiku untuk sembuh dan untuk tetap menunggunya kembali. Meski aku tahu itu akan membuatku merasakan sakit bak disayat.
TBC.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku dan Luka [Sudah Terbit]
Fiksi Remaja"Harusnya kamu cari uang yang banyak, bukan malah menghambur-hamburkan uang, Andraa!" Suara serak itu menginterupsi. Gadis itu terdiam. Sulit, jika dihadapkan dengan seorang ayah yang memiliki sifat tempramental, sejauh ini dia diam bukan berarti t...