46. Pergi?

6.5K 227 20
                                    

~Happy Reading~

Semakin hari kondisi gadis itu semakin melemah. Bahkan kini beberapa jarum pun sudah menempel di tubuhnya, antara pasrah dan bertahan semua terngiang di telinganya, jika harus bertahan. Apakah gadis itu akan sanggup untuk berjuang melawan rasa sakitnya?

"Ca? Udah berapa hari gue di rumah sakit?" tanya Andraa dengan suara lemasnya.

"Udah tiga hari, Draa." jawab Larissa.

Semenjak ia pingsan pada hari dimana ia terkena bola basket itu, ternyata keadaannya semakin melemah, jadi terpaksa ia harus di rawat inap. Sedangkan, Larissa masih setia menunggu Andraa di rumah sakit, meski ia harus bolak-balik antara Kampus-Rumah dan Rumah sakit.

"Gue udah nggak kuat, Ca. Sekarang udah waktunya orang tua gue tahu tentang penyakit ini, gue minta tolong sama lo, buat mengirim pesan atau telepon kepada mereka."

"Gue udah coba, tapi sama sekali tidak ada jawaban."

Andraa menarik nafasnya dengan pelan. "Apa mereka sibuk, ya?"

Larissa terdiam, jawaban apa yang harus ia katakan, sedangkan dirinya saja tidak tahu orang tuanya sibuk apa.

"Gysella, ada ke sini?"

Larissa menggeleng pelan sebagai jawaban, sedih dan kesal menghampirinya, kesakitan yang diderita sahabatnya sungguh membuat hatinya begitu tersentuh, sedangkan rasa kesal itu berasal dari keluarga Andraa, mana ada orangtua yang sama sekali tidak peduli dengan keadaan anaknya. Bukankah sesibuk apa pun tetap harus mengabari?
Jika ia yang berada di posisi Andraa, sungguh ia tidak akan kuat.

"Lo kuat, 'kan?" Larissa bertanya, air matanya kembali berlinang dikedua pelupuk matanya. "Gue akan selalu ada buat lo. Ndraa, pokoknya lo harus sembuh. Gue yakin lo pasti bisa melawan semua rasa sakit di tubuh lo."

Andraa mengangguk mantap dengan senyuman manis dari bibir tipisnya. "Gue kok kuat, Ca. Gue akan berusaha untuk sembuh demi orang-orang yang gue sayangi, termasuk Lo, Ca ...,"

Kini Larissa memeluk tubuh Andraa yang masih terbaring di atas ranjang rumah sakit, derai air mata lolos dari netra keduanya, rasa haru dan sedih kian menobrak pertahanan Andraa mau pun Larissa.

Tok ... tok ... tok ...

"Masuk!" teriak Larissa.

Dan pintu pun di buka oleh seorang laki-laki yang begitu familiar di matanya. Siapa lagi jika bukan Darren dan Kevin. Mereka kembali menjenguk Andraa dengan beberapa buah-buahan yang mereka tenteng ditangannya,

"Em, Kak Daren, Kak Kevin?" ucap Andraa kaget dengan kedatangan mereka kesini, jika mereka datang ke rumah sakit, kemungkinan besar mereka pasti sudah mengetahui penyakitnya, dan jika mereka tahu, Julian pun akan dengan cepat mengetahuinya.

"Hai, gimana keadaan, lo?" tanya Kevin, seraya menyimpan parsel buahnya diatas meja.

"Gu-gue ba-baik aja, kok," ujar Andraa dengan gugup.

"Lo nggak usah gugup gitu, Draa. Kita udah tahu tentang penyakit, lo. Lo kuat ya, gue kasihan lihat keadaan lo yang seperti ini," suara Darren dengan senyum getirnya.

Andraa tersenyum miris, betapa menyedihkannya ia sekarang, akibat penyakitnya ini banyak orang yang mengkasihaninya, Andraa tidak butuh belas kasihan seperti ini, yang ia butuhkan hanya sebuah dukungan untuk sembuh.

"Julian, tempe?"

"Tahu, Ndraa! Lo lagi sakit masih aja becanda," tukas Larissa.

"Keliru lidah gue, Ca," sangkalnya.

Andraa mengulang kembali pertanyaannya. "Em, maksud gue Julian, Tahu?"

"Ya ... dia juga tahu, Draa. Jadi gini pas Larissa masuk keruangan Dokter Clara, Julian diam-diam ngikutin mereka," timpal Darren. Tidak ada lagi kebohongan yang harus mereka tutupi, meskipun respon Andraa pasti kecewa mendengar semua ini.

"Dan Julian pun tahu tentang semua kebusukan Gysella, meski dia belum sepenuhnya percaya, tapi sedikit demi sedikit dia sendiri yang akan membuktikannya." tambah Kevin.

"Lalu?" tanyanya.

"Dia hari ini nggak bisa datang, katanya dia harus pergi ke luar negri, karena ada urusan yang harus ia selesaikan disana," ujar Kevin.

"Luar negeri?"

"Iya, dia bilang sama gue,"

"Dia minta maaf karena nggak bisa ke rumah sakit dulu, dia juga nitip pesan buat lo. Katanya lo harus kuat, lo harus sembuh, dan disaat dia pulang lo harus seperti sedia kala, nggak boleh lemah seperti ini lagi. Julian sayang banget sama lo, hanya itu yang dia katakan."

"Tapi, kenapa harus mendadak seperti ini?"

"Kita tidak tahu, yang jelas ini sebuah kepentingan dari ayahnya yang harus ia jalankan,"

"Kapan pulang?"

Mereka hanya menggeleng terkecuali Larissa.

'Kenapa kamu tega pergi tanpa memberi tahuku secara langsung? Apa karena kita sudah tidak memiliki hubungan apa pun? Aku merindukanmu Julian, aku berjanji untuk sembuh dan aku akan setia menunggu sampai kamu kembali ke Indobesia' batin Andraa.

"Are you okay?" tanya Kevin.

Andraa tersenyum lalu mengangguk. "Ya!"

"Lo tenang aja, Julian pasti kembali."

Lagi-lagi Andraa hanya tersenyum getir. Tidak ada Julian bukan berarti semuanya harus berakhir, melainkan ini sebuah semangat baru untuknya, untuk berjuang demi kesembuhannya, meski sekarang ia tidak bisa munafik lagi jika dirinya sangat merindukan laki-laki itu.

---

Hari ini dia harus terbang ke Newyork secara dadakan, bahkan dia sama sekali tidak sempat datang ke rumah sakit dimana orang yang begitu dia sayangi dirawat.

Julian tampak marah besar, emosinya meluap ketika sang ayah menyuruhnya pergi ke Newyork untuk mengurusi proyeknya disana, dan dia menyuruh agar Julian melanjutkan kuliahnya disana, jika seperti ini bukankah memakan waktu yang sangat lama? Lantas bagaimana dengan Dyandraa?

Awalnya Julian sempat nolak mentah-mentah. Tapi, jika ayahnya sudah mempunyai keputusan, sama sekali tidak bisa untuk dibantah. Akhirnya Julian dengan terpaksa mengiyakan semua perintah dari Rio --Ayahnya-- dengan hati yang masih tidak rela meninggalkan Dyandraa, yang masih terbaring lemas di rumah sakit.

Harapannya kini, selama ia tinggal di Newyork. Semoga keadaanya semakin membaik, Julian hanya bisa berjanji kepada dirinya sendiri untuk cepat menyelesaikan semuanya agar secepatnya bisa pulang ke Indonesia dan menemui gadis yang selama ini sudah membuatnya jatuh sejatuh-jatuhnya.

15 menit lagi jadwal penerbangannya, yang artinya sebentar lagi Julian akan meninggakan negara Indonesia, tampak begitu jelas diraut wajahnya jika ia sungguh berat dan tak ada hentinya wajah Dyandraa selalu terbayang di pikiran laki-laki ini. Namun, ini sudah menjadi keputusan Julian.

'Aku janji, aku akan segera kembali, aku tidak ingin kehilanganmu untuk yang kedua kali' batinnya.

Suara dorongan koper kini tampak terdengar jelas bagi orang yang mendengarnya. Banyak sekali orang-orang yang berlalu lalang. Entah, itu untuk berangkat ke berbagai Kota--Negara. Atau pun yang baru sampai di negara yang biasa disebut dengan Negara Maritim--Kepulauan.

"Goodbye Indonesia. I promise to come back soon and propose to a woman I really care about."

TBC.

Aku dan Luka [Sudah Terbit] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang