~Happy Reading~
"Tolong ... tolong ... tolong." Tak hentinya Larissa berteriak meminta tolong. Namun, sudah beberapa kali, tapi sama sekali tidak ada yang menghampirinya. Apalagi keadaan Kampus terlihat sepi. Tidak terlalu banyak orang yang berkeliaran di sekitar taman mau pun koridor.
"Ndraa? Bangun, jangan bikin gue khawatir dong," ujar Larissa seraya menepuk-nepuk pipi Andraa dengan pelan. Tapi, gadis itu masih tak sadarkan diri.
Dengan terpaksa Larissa membawa Andraa ke mobilnya, tidak peduli berat atau tidak, yang penting Andraa segera di bawa ke rumah sakit.
"Dyandraa, kenapa?" tanya laki-laki itu yang melihatnya, dengan cepat ia membopong tubuh Andraa yang masih tidak sadarkan diri sedari tadi.
"E ... ehhh, lo siapa?" tanya Larissa. Sebab, laki-laki yang ada di depannya sangat asing untuknya.
"Gue, Revan. Temennya Andraa," cetus Revan dengan wajah datarnya.
"Lah, sejak kapan?" Larissa masih tidak percaya, setahu dia Andraa tidak memiliki teman laki-laki.
"Nanti aja, gue jelasin." Revan segera membawa ke mobilnya tanpa basa-basi lagi.
"Pake mobil gue aja, lo jaga dia di belakang," cetus Revan seraya menancap gas mobilnya.
"Andraa? Sadar dong. Lo kenapa sih?" air mata Larissa mulai membasahi kedua pipinya, sungguh ia sangat mengkhawatirkan keadaan Andraa.
"Nggak usah cengeng," cela Revan, yang masih fokus mengendarai mobilnya.
"Ya, karna gue khawatir. Makannya gue nangis," ketus Larissa, seraya menyeka air matanya. Tapi, Revan sama sekali tak menggubrisnya lagi.
'Nyebelin banget sih nih cowok' batin Larissa.
Tidak butuh lama kini mereka sudah sampai di sebuah rumah sakit yang tak jauh dari Kampusnya. "Suster!" teriak Larissa menggema di setiap sudut ruangan rumah sakit.
"Tenang sedikit kenapa sih," tukas Revan yang begitu santay.
"Lo kenapa sih, daritadi protes mulu!" pekik Larissa seraya memutar bola mata malasnya.
"Lebay banget sih lo. Penampilan aja kayak laki, tapi cengeng banget," ucap Revan sambil mendaratkan bokongnya di kursi yang sudah tersedia.
"Lah, masalah buat lo?" Larissa mulai geram dengan laki-laki yang tengah duduk di sampingnya.
Revan hanya menggidikan bahunya acuh. "Nyebelin bangeh sih jadi cowok," sambung Larissa.
"Yang penting ganteng." Begitu percaya dirinya Revan berkata seperti itu. Tapi memang Larissa akui Revan memang ganteng.
"Hadih, pede banget sih kutil anoa." Larissa mendelik.
"Dusta banget sih. Nih ya, cewe mana sih yang nggak tertarik sama gue." Lagi-lagi Revan membanggakan dirinya sendiri.
"Cih! Wajah pasaran begitu juga, so gan-----,"
"Dengan keluarga, Pasien?" ujar Dokter memotong ucapan Larissa.
Dengan cepat Larissa berdiri. "Saya sahabatnya, Dok."
"Orang tuanya sudah di kasih tahu? Ada hal penting yang harus saya bicarakan dengan beliau," ujar sang Dokter.
Larissa menepuk jidatnya. "Astaga, gue lupa!"
"Dasar pikun!" pekik Revan.
"Lagi pula gue nggak punya nomer handphonenya," ucap Larissa dengan senyum canggungnya. "Apa tidak bisa di wakilkan, Dok?" sambungnya.
"Maaf, Dek. Ini sangat penting mengenai penyakit, Pasien," tegas Dokter tersebut.
"Saya sudah dekat dengan keluarga Dyandraa, Dok. Setelah saya mengetahuinya, saya akan langsung memberitahukan kepada orangtuanya."
"Yasudah, mari ikut saya."
"Baik. Dok," ucap Larissa seraya mengikuti langkah Dokter tersebut. "Lo tunggu di sini, jagain sahabat gue," ujarnya kepada Revan dan di respon baik oleh laki-laki itu.
---
Andraa mulai tersadar setelah ia pingsan beberapa kali di Kampusnya, gadis itu mulai mengerjapkan matanya mencerna setiap cahaya yang masuk kedalam matanya. Meski, beberapa kali ia meringis kesakitan.
"Re-revan?" ucap Andraa, Andraa kembali mengerjapkan matanya, memastikan jika yang ia lihat benar-benar Revan. Tapi, kemana Larissa?
"Kok di sini? Ica mana? Apa yang terjadi?" cetus Andraa dengan suara yang terdengar masih lemas, wajah yang pucat, mata sayu. Namun, sama sekali tidak mengurangi aura kecantikannya.
"Lo pingsan tadi, terus gue sama cewek itu bawa lo kesini," singkap Revan.
"Terus, Ica?" tanya Andraa.
"Dia lagi ke ruangan Dokter, udah lo istirahat aja," Tegur Revan. Andraa hanya diam tanpa bertanya lagi, apa yang sebenarnya terjadi. Akhir-akhir ini ia rasa sakit di kepalanya semakin menjalar.
"Ndraa? Lo udah siuman? Ah, syukurlah, gue khawatir tau." Larissa menghampiri sahabatnya, dengan mata sembabnya. Larissa menangis?
"Lo nangis?" timbrung Revan yang melihatnya.
"Nangis? Nggaklah. Yakali cewek tomboy nangis." Alibi Larissa. "Oh ya, Van. Lo bisa keluar dulu nggak?" pinta Larissa.
"Lah, emang kenapa?" tanya Revan.
"Nggak papa sih. Em ... ada yang mau omongin sama Andraa," tukas Larissa dengan suara yang penuh permohonan.
"Yaudah sih, lagi pula gue harus pulang ada urusan keluarga juga. Nanti, kalian pulang pakai Taxi aja, gapapa?" simpul Revan dan diangguki oleh keduanya, dengan segera laki-laki itu pun keluar dari ruangan tersebut.
'Sebenarnya lo sakit apa sih, Draa' batin Revan.
Sosok Revan sudah menghilang dari pandangan keduanya. Ini saatnya Larissa harus mengatakan yang sebenarnya, air mata Larissa kembali jatuh. Respek gadis itu langsung memeluk tubuh Andraa yang masih terbaring lemas di ranjangnya.
"Ica? Kenapa?" tanya Andraa, ia sama sekali tidak mengerti ada apa dengan Larissa.
"Gue masih nggak nyangka, kenapa harus lo yang nerima ini semua," lirih Larissa.
"Ca? Ada apa? Apa yang terjadi sama gue?" Andraa bertanya kembali.
"Ka-ka-ta Dokter, lo ngidap Leukimia." Suara Larissa terngiang di telinga Andraa apalagi dengan ucapannya membuat Andraa bungkam. Air matanya mulai berlinang.
'Leukimia?' batinnya.
Andraa mulai menangis. Kenyataan pahit apalagi yang harus ia hadapi sekarang? Rasanya dunia sungguh tidak adil untuknya. Sudah berapa kali ia berusaha bangkit. Namun, kenyataan lagi-lagi membuatnya ambruk.
"Tidak adakah, kenyataan yang bisa membuat gue bahagia? Kenapa harus derai air mata lagi, Ca?" ujar Andraa dengan tatapan kosongnya.
"Sepahit inikah, skenario-Mu. Tuhan?"
Namun, tidak ada pilihan lain, ia harus menerimanya dengan lapang dada, semoga segala kesakitan ini berakhir dengan bahagia, meski ia tidak bisa memastikan masa depannya.
"Ica? Soal penyakit gue, lo bisa rahasiakan ini, 'kan?" tutur Andraa dengan isak tangisnya.
"Tapi, kenapa?" singkap Larissa.
Andraa menggeleng pelan seraya tersenyum. "Gue nggak mau ngerepotin banyak orang," lirihnya.
"Ca? Kalo misalnya gue harus kemo, lo mau temenin gue, 'kan?"
Larissa mengangguk mengiyakan, tangisnya pecah. Ia tak kuasa menahan air matanya, sungguh menyedihkan. "Apa pun yang terjadi, gue pasti ada di samping lo," tegas Larissa dengan mantap.
"Berjuang demi kesembuhan lo ya? Gue mau lo kayak dulu lagi," ujar Larissa kembali menyemangati sahabatnya.
"Pasti, gue bakalan buktiin ke semua orang, nggak selamanya penyakit Kanker itu selalu berujung dengan kematian."
TBC.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku dan Luka [Sudah Terbit]
Teen Fiction"Harusnya kamu cari uang yang banyak, bukan malah menghambur-hamburkan uang, Andraa!" Suara serak itu menginterupsi. Gadis itu terdiam. Sulit, jika dihadapkan dengan seorang ayah yang memiliki sifat tempramental, sejauh ini dia diam bukan berarti t...