Sepucuk Surat (6)

151 6 0
                                    


"ulya.. ulya."

"iya bah." jawab ulya mendekat ke abah dan umminya yang sedang duduk di ruang tamu. "ada apa bah?" Tanya ning ulya setelah duduk di depan abah dan umminya. Namun, pandangan aneh tertangkap di mata kedua orang tuanya ini. Pandangan yang ia rasa tengah memendam amarah yang begitu amat sangat.

Perlahan, tatapan mata yang begitu tajam bagai elang beliau tujukan kepada putrinya yang paling ia sayangi ini. Pandangan yang membuat putrinya ini tertunduk takut tak berdaya. "apa abah pernah mengajarkan sesuatu yang tidak bermanfaat?" Tanya abah rosyid sedikit bernada tinggi.

Tak terasa, untuk pertama kalinya. Mulutnya terasa kaku tak bisa ia gerakkan. "insyaalloh tidak bah." jawab ning ulya perlahan-lahan. Ia merasakan ketakutan yang amat sangat kepada sosok agung di depannya ini. Tatapannya yang tajam, membuat hatinya bergetar tak karuan.

"apa abah kurang memperhatikan ulya?"

"insyaalloh tidak bah."

"jadi apa maksud semua ini?" Tanya abah rosyid sambil melempar sepucuk surat ke atas meja.

Deg.. deg..

Ning ulya pun kaget melihat surat pertama yang ia tulis dengan setulus hati. Kini berada di depanya, di depan kedua orang yang telah membesarkannya. Ia tak tau mengapa surat yang ia berikan kepada imam malah sekarang ada pada abahnya.

"sabar bah.. istighfar." bujuk ummi rofi sambil memegang tangan kiri abah rosyid yang telah kuat mengepal seperti peluru meriam.

"apa ulya suka dengan imam?" Tanya abah rosyid keras.

Ning ulya pun gemetar mendengar pertanyaan dari abahnya. Tak ia sangka abahnya tega memperlakukannya seperti tersangka yang di paksa untuk mengakui segala kejahatannya. Dengan terbata-bata ia mula menggerakkan bibirnya. "i...iya." Ujarnya perlahan sambil memegang erat pakaiannya.

"cinta?"

"iya bah." jawab ning ulya lirih tanpa berfikir panjang.

Memuncaklah seluruh amarah yang ada dalam dirinya. "astaghfirullohal'adzim." ucap abah rosyid sambil mengelus-elus dadanya. Beliau mencoba menenangkan dirinya agar tidak sampai melukai hati putri kesayangannya.

Ummi rofi sebenarnya sudah menjelaskan semuanya kepada abah rosyid. Namun, sikap temperament suaminya, membuatnya tak bisa mendengar setiap omangan dari istri tercintanya. Kini, beliau hanya bisa menenangkan amarah suaminya agar tidak sampai melukai putrinya. "sabar bah.. sabar." Ucap ummi rofi sambil memegang pundak abah rosyid.

"abah membolehkan ulya menyukai lawan jenis ulya, asalkan bisa membawa kepada kebaikan. Tapi bukan seperti ini." terang abah rosyid yang kecewa dengan tindakan putri satu-satunya ini.

Tak terasa, ujung dari perkataan abahnya telah mensayatkan luka yang begitu dalam di hatinya. Membuatnya tak bisa menahan derai air mata yang sedari tadi ia tahan. Hujan tak kala mala mini pun terasa menambah beban cinta yang ia miliki. Terasa dunia seperti menentang cinta tulusnya kepada sang pujaan hati.

Tangis anaknya yang tersedu, membuat beliau tidak tega untuk membiarkannya. Pelukan kekasih sayang pun beliau curahkan di hangatnya tali cinta sang ibu dengan anaknya. "sudah.. sudah ul.." bujuk ummi rofi melihat suaminya yang masih sibuk membaca istighfar agar kemarahannya mereda. "lupain imam ya?" Rayu ummi rofi sambil mengelus-elus kepala ning ulya.

"sulit mi.. Ulya sudah sangat mencintai imam." ujar ning ulya menengelamkan kesedihannya kepada pelukan sang ibunda.


Nadzom-nadzom Cinta Jilid 1 [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang