Sepucuk Surat (4)

154 7 0
                                    


Allohuakbar... Allohuakbar...

Allohuakbar... Allohuakbar...

Berdendanglah adzan subuh memecah keheningan malam yang begitu pekat. Keadaan yang begitu hening di masjid pesantren, kini berubah dengan indahnya lantunan kalam Illahi yang di bacakan oleh semua santri lewat suara-suara manis mereka.

Terkadang ada pula santri yang menyempatkan dirinya untuk bangun, mendahului derainya fajar tipuan. Fajar yang hadir sebelum fajar sesungguhnya datang menyinari daratan yang begitu gelap. Mereka terbangun untuk membaca kitab-kitab yang telah mereka kaji, atau membaca surat ar-rohman dan al-waqi'ah, yang mereka lakukan dengar kepercayaan agar Alloh memberikan perlindungan dan rizkinya di hari ini.

Di dalam kamar yang tadinya hening, terlihatlah seseorang yang sedang kebingungan mencari sesuatu miliknya yang hilang. Sesuatu yang ia lupa simpan dimana, tetapi ia yakin, benda itu tidaklah keluar dari kamarnya. "zal... zal...." Gugahnya khawatir.

Terbayang-bayang mimpinya yang indah, rizal pun hanya dapat mengumpulkan nyawanya sedikit demi sedikit. "em... ada apa mam?" Tanya rizal sambil menggeliat ke enakan.

"suratnya hilang."

Terbukalah matanya mendengar hal yang tak di inginkannya. "hah... hilang di mana?" Tanya rizal kaget sambil bergegas duduk. Sambil membangunkan udin disebelahnya, rizal mencoba untuk mengingat-ingat dimanakah ia terakhir melihatnya.

"ngak tau. Tadi aku bangun suratnya sudah tidak ada." Jelas imam yang panik melihat kedua surat miliknya telah lenyap dari pandangannya.

"emang ngak ada di lemari?" Tanya udin yang ikut duduk di sebelah sahabatnya.

"Sudah aku cari di lemariku. Tapi ngak ada." ucap imam sambil menunjukkan lemarinya yang berantakan tak karuan. Pakaiannya telah amburadul di seluruh kamar menambah suasana menjadi lebih panas.

"wah... hilang kemana tuh surat?" Tanya udin sambil melihat sekitar yang seperti tempat penampungan sampah. Tempat penampungan sampah yang begitu tak berbentuk seperti hutan rimba yang di huni berbagai pemulung yang begitu memperihatinkan. Terkadang, mereka juga mempertaruhkan nyawa mereka tak takut longsor tertimbun jutaan sampah yang mereka congkel sedikit demi sedikit, untuk mengais secuil rizki dari Tuhan.

"hilang dua-duanya?" Tanya rizal yang ikut mencari surat sahabatnya ini.

"iya... hilang dua-duanya."

Tok... tok... tok....

Suara tongkat yang di pukul-pukulkan ke dinding, membuat para santri yang masih tidur dapat terjaga dengan cepatnya. Mereka tak kan pernah kuat apabila tak segera beranjak keluar dari kamar mereka. Karena, pengurus yang mengubrak begitu tegasnya meladeni santri-santri yang masih terlelap ini.

Pertama, mereka selalu memberikan peringatan tegas terlebih dahulu. Setelah itu, apabila santri-santrinya masih membandel ingin tidur, mereka tak segan untuk mengayunkan tongkat yang di pegang di tangan kanan mereka.

Memang banyak santri yang mengeluh akan cara ini. Namun, mereka juga sadar. Kalau tugas mereka sebagai santri, dan mereka juga menaruh rasa hormat dan segan kepada para pengurus yang mereka ta'dzimi sebagai seorang guru yang telah mampu membimbing mereka. Ketadziman ini muncul bukan karena di buat-buat. Namun, norma pengurus yang tidak pernah mereka tinggalkan walau dalam kondisi apapun. Ketika mereka berada di pesantren, maupun ketika mereka berada di luar pesantren.

"assalamu'alaikum." Ucap sang pengurus melihat ke dalam kamar yang tengah di bereskan oleh imam dan kawan-kawannya.

"wa'alaikumsalam."

Setelah memastikan tidak ada yang tertidur, atau berpura-pura bangun. Beliau pun segera beranjak pergi. "kang imam, di panggil kang ulil ke kantor. Nanti setelah sholat dhuha." Jelas sang pengurus sambil beranjak meneruskan tugas rutinnya.

Munculah bebagai dugaan dan pertanyaan di benak mereka bertiga. Imam yang sejak kini tidak pernah terlibat masalah dengan kang ulil. Tanpa ada angin atau pun hujan, kang ulil tiba-tiba memanggilnya. Hal itu terasa ganji di hati mereka. "mam... aku punya perasaan ngak enak nih." ucap rizal khawatir mengungkapkan kegelisahan hatinya.

"mungkin saja mam suratnya ada pada kang ulil." Ucap udin yang menduga kea rah sang ke amanan yang begitu sangar.

Imam hanya terdiam membisu, binggung dengan letak kesalahannya. Ia merasa tidak pernah melakukan kesalahan terhadap kang ulil mau pun kepada anak-anak yang lain. Namun, perkataan udin yang telah ia dengar. Kini menjadi ke khawatiran yang memuncak di benaknya.

Semoga saja tidak. harapan imam dalam hati kecilnya.


Nadzom-nadzom Cinta Jilid 1 [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang