Ning Ulya (4)

173 8 0
                                    


"hai rat."

"eh ela. duduk." pinta ratna sambil bergeser sedikit dari kursi panjang taman sekolah, di lengkapi meja panjang dan pohon rindang yang membuatnya indah dan asri.

Ela yang melihat sedikit perubahan dengan sahabat satu-satunya ini. Merasa ingin tahu apakah yang di tulis oleh ratna, kebiasaan yang kini menjadi hobby barunya. Hingga surat yang ia dapat dari kekasihnya setiap pekan, ia gabungkan dengan buku yang selalu ia bawa ke mana-mana. Bahkan, ketika bandungan, ratna membawanya. Dan sesekali mengoreskan tinta di buku tersebut.

"nulis diary." jawab ratna yang sedang asik menulis kenangan indahnya.

Diary adala buku yang selalu ada bagi orang yang kebiasaannya pendiam dan penulis. Buku yang mereka isi dengan seitap kejadian yang mereka anggap berkesan dalam hidup mereka. Dan terkadang, diary lebih bisa mereka percayai dari pada teman mereka sendiri.

Mereka terkadang juga menulis rahasia yang paling mereka pendam. Rahasia yang tiada orang di sekitarnya yang tahu, rahasia yang mereka anggap sebagai privasi dalam hidup mereka. Dengan beban yang mereka tuangkan dalam tulisan, akhirnya rahasia mereka pun telah berjejer rapi di hadapan mereka.

Ke unikan diary dari pada buku-buku yang lain, adalah dilarangnya buku tersebut di baca orang lain. Dan terkadang orang yang diam-diam membaca buku tersebut bakal ia marahi, bahkan sampai ia benci.

Ela yang tidak tahu sejak kapan sahabatnya menulis diary, merasa ingin membaca goretan sahabatnya ini. "wih.... Kapan-kapan bisa lihat kan?" Tanya ela sambil menyikut ratna.

"ya ngak donk. Ini privasi." Jawab ratna menjulurkan lidahnya.

"masa sama sahabat sendiri kok kaya gitu." Ujar ela manyun.

"terserah, ratna kan butuh tempat curhat yang lain."

"pelit." ucap ela membuang pandangan dari ratna. "Rat.. tuh pangeran kamu." seru ela melihat seseorang berjalan dengan wajah yang kelihatan binggung bercampur malu-malu.

Ratna pun mengikuti petunjuk dari ela. mau kemana dia? Tanya ratna dalam hati memperhatikan arah tujuan dari imam.

"rat, kenapa dia duduk disamping ning ulya?"

Dug...dug...

Perasaan cemburukah ini?

Ratna yang tak ikhlas melihat perbuatan imam. Ia tak mau berdiam diri saja, ia berfikir akan melabrak imam yang terlihat cengengesan itu. Rasa marah dan cemburu telah bercampur aduk yang mengalir di darahnya. Niatnya sudah bulat, ia tinggalkan sahabatnya di belakang. dan bersiap untuk memojokkan imam dangan beribu pertanyaan.

Jantung ratna terasa tak berdetak. Air mata tak dapat terbendung saat peraduannya melihat bungkusan yang diselimuti plastik hitam itu. Namun, terlihatlah bungkus kado yang berwarna biru langit di sela-sela penutup bungkusan yang tak tau berisi apa.

"ning ulya ngasih bungkusan apa?" Tanya ela penasaran.

Hiks... hiks...

Tak terasa setetes cairan hangat meluncur turun dari kelopak matanya. Kaca air pun terlihat dari kedua mata indah yang masih mencoba untuk tegar dengan apa yang di lihatnya. Ia mencoba menafsirkan apakah yang sebenarnya terjadi. Namun, hatinya mengatakan kalau hal ini bukan seperti kelihatannya saja.

Ela pun segera menoleh ke ratna yang masih termenung tak percaya. "Rat..." ucap ela menenangkan ratna.

"el... ayo pergi dari sini." pinta ratna sambil menghapus air matanya.

Inikah yang di namakan sakitnya cinta?

Rasa yang tak bisa di gambarkan dengan rasasakit yang ada di bumi. Rasa yang tiada goresan yang tampak dengan mata kepala. Namun, rasa sakit yang dapat di rasakan oleh mata basirah yang tersembunyi. Rasa sakit yang jauh lebuh sakit dari pada tersayat pisau tajam.

Sepinya kelas menambah nuansa kesedihan di hati ratna. Ela yang dmengikuti dari belakang, tak bisa mengatakan satu kata pun agar sahabatnya dapat berhenti menangis. Bangku dan kursi yang ia duduki, terasa ikut menangis merasakan hal yang sama dengannya. "kenapa ia begitu tega.. Hiks." ucap ratna mengerakkan kedua tangannya untuk menutupi air mata yang sudah tidak kuat ia tahan.

"sabar rat. sabar. Mungkin itu tidak seperti yang kamu pikirkan." hibur ela mencoba memeluk ratna. "Mungkin dia ada keperluan dengan ning ulya." Ujar ela mencoba menafsirkan kejadian yang baru saja terjadi.

"tapikan bisa lewat ratna, apalagi ning ulya ngak pernah bicara dengan laki-laki. Tapi..." ucap ratna terhenti mengingat sesuatu. "ketika dengan imam, ning ulya tersenyum mengharap sesuatu hal dari imam." ujar ratna menafsirkan senyuman yang bermakna itu.

Ela pun tidak bisa menjawab pernyataan sahabatnya ini. "sudah.. sudah rat."


Nadzom-nadzom Cinta Jilid 1 [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang