PART 3 || Sahabat.

216 23 1
                                    

"Alfin! Ayah sudah bilang sama kamu, berhentilah bersekutu dengan para preman jalanan itu!" ucap Danu-ayah Alfin. Alfin duduk di sofa apartementnya dan ayahnya berdiri ditengah pintu.

"Apa peduli anda?! Setidaknya mereka bisa kasih saya kehangatan keluarga. Walaupun mereka gak ada hubungan darah dengan saya. Anda? Apa yang bisa anda kasih?!" ucap Alfin sambil berdecih meremehkan. Persetan walau didepannya itu adalah ayahnya. Alfin tidak pernah menganggapnya ayah.

Danu sudah tersulut akan emosi, tapi ia berusaha untuk menahan emosinya.

"Apa yang aku berikan? Aku memberikanmu segalanya. Uang, ketena--"

"Uang tidak akan bisa merubah segalanya," potong Alfin membuat Danu menggeram tak suka kepadanya.

"Apa anda bisa memberi saya kasih sayang? Tidak kan!" Entah kenapa, hati Danu terasa tercubit saat mendengar kalimat yang dilontarkan anaknya untuknya.

"Jika tidak ada hal penting, silahkan keluar," ucap Alfin sambil menunjuk pintu dengan tangannya. Ia beranjak dari duduknya dan pergi menuju kamar dan menguncinya. Alfin memang diam. Tapi tidak dengan hatinya yang menangis hebat.

Ia terperosok kebawah dan menyender pada pintu lalu mengusap wajahnya kasar.

***

"Ada masalah?" tanya Viktor.

Kini Alfin sedang berada dibasecampnya. Ralat, basecamp kelompoknya dan disebut sekumpulan preman jalanan oleh ayahnya. Tapi Alfin tidak peduli yang pernting ia dapat merasakan hangatnya sebuah keluarga disini.

Viktor sudah dianggap kakak sendiri oleh Alfin. Begitupun sebaliknya. Alfin hanya berdehem menjawab Viktor.

Hanya beberapa orang yang ada di basecamp. Dan letak basecamp sendiri lumayan jauh dari permukiman warga, jadi bila terjadi pertempuran tidak mengusik ketenangan warga sekitar.

Basecamp itu seperti markas segerombolan preman seperti geng Viktor. Basecamp hanya digunakan saat sedang melakukan rapat menyerangan. Namun juga bisa dijadikan tempat menenang diri karena suasananya yang tenang. Dan juga bisa dijadikan tempat tinggal bagi anggota geng yang tidak punya tempat tinggal.

Sebuah soda kini berada didepan wajah Alfin dan yang menyerahkan adalah Dimas. Alfin mengambilnya dan tak lupa mengucapkan 'terima kasih' dan Dimas hanya membalas mengangguk lalu Alfin meminum soda itu dengan tenang.

Tentang Dimas. Ia tinggal di basecamp. Ia bukannya tidak memiliki rumah. Hanya saja ... Dimas yatim piatu. Orang tuanya meninggal saat ia masih kecil. Bertahun-tahun ia terus tergiang kenangannya dengan kedua orang tuanya. Akhirnya Dimas tinggal disini agar tidak tersiksa saat mengingat kenangan itu lagi.

Dimas diam karena ia tau Alfin sedang ingin ketenangan saat ini. Mereka duduk disofa pojok ruangan. Sementara ruangan ini cukup luas untuk ukuran markas. Ditengah-tengah terdapat banyak motor yang mereka gunakan saat keadaan mendesak, dan didinding banyak senjata tajam yang menempel. Dan ada satu tangan menuju rooftop, tempat yang paling disukai Alfin.

"Dim, Fin. Kalian berdua. Ikut gue," ucap Viktor dari pintu rooftop. Alfin dan Dimas saling lirik namun setelah itu segera bangkit untuk mengikuti Viktor.

"Kenapa, Bang?" tanya Alfin saat menapaki satu-satu anak tangga dengan Dimas.

"Udah, liat sendiri. Cepetan makanya," ucap Viktor sambil terkekeh geli.

Viktor menunjuk langit dengan dagunya saat mereka berdua sudah sampai dirooftop. Alfin dan Dimas hanya bisa menganga melihat pemandangan didepan mereka. Hutan lebat dengan taburan bintang yang menghiasi langit. Sungguh indah.

Viktor tersenyum melihat kedua adiknya. Walaupun tidak terikat darah. Tapi Viktor sudah menganggap mereka dan Dirga seperti adiknya sendiri.

"Kalian enjoy aja. Gue mau turun nyiapin makan malam." Tidak ada sahutan. Viktor tersenyum memaklumi. dia perlahan turun kebawah dan meninggalkan mereka berdua yang sedang menatap kelangit.

Dimas perlahan menurunkan kepalanya, berusaha menahan sesuatu yang akan jatuh dipelupuk matanya. Ia perlahan duduk ditepi pembatas rooftop, membiarkan kakinya berselonjor kebawah tanpa alas yang menapaki kakinya.

Alfin dan melihat Dimas seperti itu ikut duduk disampingnya. Menepuk pundaknya karena ia juga bisa merasakan sakit yang Dimas alami.

"Gue kangen mereka, Fin," ucap Dimas dengan pandangan kosong. Sepertinya ia tidak sadar kalau ia mengatakannya. Alfin menunduk, tak bisa dipungkiri bahwa ia juga tengah merindukan seseorang yang sangat ia cintai. Ibunya.

Tiba-tiba ada seseorang yang nyempil diantara mereka. membuat jarak diantara Alfin dan Dimas kendor karena terisi dengan orang yang tadi. Dirga, terlihat dia mendesah pelan sambil menatap kedua sahabatnya.

"Udah ... kalian jangan sedih. Kalo kalian sedih gue jadi ikut sedih tau," ucap Dirga dengan nada alay. Alfin hanya terkekeh sedangkan Dimas hanya memutar bola matanya malas.

"Perusak suasana lo!" Dirga langsung menoleh kesumber suara yaitu Dimas. Ia memandang lurus kedepan.

"Jahat! lo pikir kalian berdua aja yang kangen? gue juga," ucap Dirga dan memelankan suaranya diakhir kalimat.

Dirga sama seperti mereka. Kehilangan salah seorang orang tuanya, Ayahnya. Kini Dirga hanya memiliki seorang ibu yang sedang sakit-sakitan. Untung ia mengenal Alfin dan Dimas, juga gengster ini. Ia jadi terbantu untuk mengobati ibunya.

Mereka bertiga saling pandang saat Dirga mengatakan itu. Namun tak lama mereka berpelukan hangat.

"Ck! Sini lo," ucap Alfin sambil membawa Dirga kedekapannya begitu juga Dimas. Dirga juga membalas peluk dari sahabatnya.

Mereka berpelukan tengah rembulan dan dibawah bintang-bintang bersinar.

Sahabat adalah anugrah terindah yang Tuhan kasih untukku. Mereka tidak bisa dibeli dengan apapun. Emas permata sekalipun. Karena mereka terlalu mahal untukku jual.

Bersambung....

ALFINOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang