part 3

122 3 0
                                    

Melihat dojonya semakin ramai, Panca berniat ingin mencari seorang pelatih karate, tapi ia bingung siapa kira-kira yang cocok melatih karate. Tiba-tiba Kiran anaknya yang masih berpakaian karate mendekatinya.
“kenapa sayang?” tanya Panca.
“papa kenapa melamun?” tanya Kiran duduk disampingnya.
“sepertinya papa harus pensiun” jawabnya.
“lho kenapa?” tanya Kiran lagi.
“suatu saat kamu pasti tau alasannya”
“kenapa nggak di jelasin sekarang aja”
“karena belum saatnya kamu untuk mengetahui kebenarannya” Panca menarik nafas dalam-dalam.
“tapi Kiran kan penasaran” lanjut Kiran.
“nanti juga kamu akan memahaminya sendiri oke”
Panca mengingat Ramadi adiknya yang sudah menghianatinya, bahkan saat itu Ramadi tega mencelakai tulang belakangnya hanya karena ingin menguasai dojo yang sudah di bangunnya sejak SMA. Pada saat itu juga ia harus merelakan dojonya diambil alih oleh adiknya sendiri, namun ia berusaha bangkit dan membangun dojo yang baru hingga sekarang. Semakin lama dojonya semakin berkembang. Ia pun sudah melupakan masalalu tersebut, tapi terkadang ia khawatir karena badannya suka kaku secara tiba-tiba. Tanpa di sadarinya ternyata Kiran sudah kembali berlatih.
“aku baru inget, Erwan kan dulu jago karate” gumamnya sembari mengingat.

Saat ingin keluar dari hotel, selintas Stevi memandang Awan dan teman-temannya yang sedang mewawancarai petugas hotel. Masing-masing mereka mencatat latar belakang hotel tersebut sesuai penjelasan yang diberikan.
“oia sejak kapan bapak bekerja disini?” tanya Awan.
“mmm semenjak bapak lulus kuliah” jawab petugas.
“sekarang usia bapak berapa tahun?” Kayra bertanya.
“sekarang udah 35 tahun”
“bapak betah juga ya disini” celetuk Ibas.
“ya namanya juga tuntutan hidup, kalau nggak kerja bagaimana mau ngasih anak sama istri makan”
“eh bapak punya anak cewek nggak? saya mau dong di jodohin sama anak bapak” Saka menawarkan diri.
Kayra langsung mencubit pinggangnya.
“aduh sakit...” Saka meringis memegangi pinggang.
“makanya yang serius jangan becandaan mulu” cerca Milan.
“orang gua serius kok” sahut Saka.
Petugas itu hanya tersenyum. “ada lagi yang mau ditanyakan?”
“mmm saya rasa cukup, makasih ya pak” ucap Awan.
“sama-sama”
        Didalam mobil, Stevi mengingat wajah Awan yang sedang melakukan wawancara tadi.
”kenapa aku ngerasa pernah ketemu sama dia, padahal aku kan baru liat tadi” lirihnya.
“dia siapa?” potong Ramadi yang duduk disampingnya.
“mmm bukan siapa-siapa pa, cuma petugas hotel” Stevi berusaha menutupi yang sebenarnya.
“memangnya kenapa dengan petugasnya?”
“mirip temen aku dulu”
“siapa namanya?”
“aku juga nggak tau namanya siapa, kan cuma mirip” Stevi mengalihkan pandangan keluar kaca.
“sepertinya ada yang disembunyikan Naya, aku harus cari tau sendiri” batin Ramadi berkata.

Di kamar hotel, tampak Awan, Ibas, dan Saka membereskan buku-buku dan pakaiannya. Begitu juga dengan Kayra dan Milan yang berada dikamar sebelah. Sepertinya mereka akan check out dari hotel tersebut.
“tok tok tok...” Saka mengetuk pintu kamar Kayra. ”Kayra..., Milan udah selesai belum? lama banget sih”
Kayra dan Milan keluar sambil tersenyum.
“haah seneng banget deh, besok kita udah sekolah lagi seperti biasa” riang Kayra tersenyum bahagia.
“enakan juga liburan” sahut Saka.
“udah nggak ada lagi yang ketinggalan kan?” tanya Awan.
“nggak ada” jawab Ibas.
“ya udah berarti kita comeback home” seru Awan.
“lets go...” balas Saka dengan penuh semangat.
        Malamnya, disaat Ranti membereskan makanan dimeja, Susan datang merebutnya dan membantingnya seketika. Ranti jadi semakin heran dengan kelakuannya yang semakin hari semakin menjadi-jadi. Takut melakukan hal yang lebih parah ia langsung menghubungi pihak rumah sakit jiwa.
“tolong ke rumah saya sekarang juga pak, saya takut dia jadi tambah parah, sekarang aja dia lagi kumat” ucapnya didalam telpon. “iya pak, cepat ya saya tunggu”
Kayra yang baru pulang terkejut melihat meja makannya sangat berantakan. Banyak pecahan piring dan gelas yang berserakan dilantai. Si bibik cepat-cepat membersihkannya.
“ini kenapa bik?” tanya Kayra heran.
“mendingan non tanya langsung sama Ibu aja ya, soalnya bibik takut salah ngomong” jawab si bibik.
“mama mana?” tanya Kayra lagi.
“mungkin dikamar”
Mobil ambulance tiba di rumah Ranti. Meskipun Susan meronta-ronta, tapi petugas rumah sakit jiwa berusaha membawa Susan ke dalam mobil. Sementara Ranti, Kayra, dan Bibik hanya bisa melihat Susan yang sepertinya tidak mau dibawa.
“sebenarnya itu siapa ma?” tanya Kayra tidak tega melihat Susan yang berharap tidak dibawa.
“mama juga nggak tau dia siapa, waktu itu mama temukan dia lagi kedinginan di pinggir jalan, makanya mama bawa ke rumah” jawab Ranti.
“tapi kenapa harus dibawa ke rumah sakit jiwa” Kayra tampak iba.
“akhir-akhir ini dia selalu bertingkah aneh, tiba-tiba melamun tiba-tiba mecahin semua barang-barang yang ada, mama takut dia punya kelainan jiwa”
“kasian banget Ibu itu, pasti keluarganya nyari-nyariin”
“mungkin memang seharusnya dia dirawat di rumah sakit”

Cinta dan KesetiaanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang