part 8

62 4 0
                                    

Perusahaan milik Tama terancam bangkrut. Semua karyawan keluar kantor melakukan demo besar-besaran. Salah satu karyawan berteriak meminta gajinya dikeluarkan.
“IYA KELUARKAN GAJI KAMI...” tambah karyawan yang lain.
“KAMI MENAGIH APA YANG MENJADI HAK KAMI, HASIL KERINGAT KAMI, TOLONG DIMENGERTI...” seru yang lainnya.
“gimana ini pak? mereka menuntut gaji yang belum dibayar beberapa bulan ini” ucap manager kepada staf keuangan kantor didalam ruangan meeting.
“saya juga tidak bisa berbuat apa-apa” sahut staf.
“kalau begitu saya akan telepon pak Tama” belum sempat si manager menghubungi Tama, ternyata karyawan yang melakukan demo menerobos masuk keruangan tersebut.
Manager yang tadinya ingin menghubungi Tama jadi semakin panik dan bingung. Ia berusaha menenangkan mereka agar tidak membuat suasana jadi ricuh.
“oke kalian semua tenang dulu, ini bisa kita bicarakan baik-baik”
“bicarakan baik-baik apanya? kami selalu mengalah tapi kenyataannya sampai sekarang belum juga dibayar” sahut salah satu karyawan agak emosi.
“betul, kami tidak mau di fending lagi” tambah yang lain.
“saya mengerti, tidak ada satupun diantara kita yang menginginkan seperti ini, tapi kita harus memaklumi posisi pak Tama sekarang, pak Tama lagi dapat musibah, anaknya hilang entah kemana, bahkan istrinya sekarang di rumah sakit jiwa karena depresi” jelas manager panjang lebar.
Mereka terkejut. “apa benar begitu?” bisik karyawan yang lainnya.
“itu memang benar, coba kalian pikirkan kalau seandainya kalian ada di posisi pak Tama” si staf membela.
“saya minta kalian semua bersabar, nanti akan saya bicarakan kepada pak Tama” bujuk manager.
“ayo semua bubar” perintah staf.
Semua bubar kembali keruangannya masing-masing.

Pulang sekolah, Awan mengendap-endap dihalaman rumah yang cukup mewah. Rumah tersebut tak lain milik Ramadi. Pelan-pelan Awan mengintip dari luar jendela. Kebetulan kamar tersebut adalah kamar Stevi. Awan melongok melihat Stevi yang sedang bercermin dengan tatapan kosong. Ia pun terkejut ketika Stevi melihat kearahnya.
”kamu..., kamu mau ngapain?” Stevi kaget.
“ssst ikut aku sebentar” ajak Awan.
Stevi mengikuti keinginan Awan melalui jendela itu tanpa sepengetahuan Ramadi. Mereka mengendap-endap melewati pintu pagar.
“ayo naik” ajak Awan menaiki sepeda.
Stevi mengangguk dan naik. Awan buru-buru mengayuh sepedanya menelusuri sepanjang jalan, namun tiba-tiba Awan ngerem mendadak karena ada lubang didepannya. Secara refleks Stevi memeluk pinggang Awan dengan erat.
“memangnya kita mau kemana?” tanya Stevi.
“nggak tau” jawabnya singkat.
Sampai di padang rumput yang luas mereka berhenti dan duduk diatas rerumputan tersebut. Awan mencoba meniup rumput ilalang yang ada didepannya.
“kenapa kemarin kamu nggak datang?” Awan membuka obrolan.
“kenapa kemarin aku sangat yakin kalau kamu yang akan menang” lirih Stevi menatapnya.
Awan menunduk. “maaf...”
“seharusnya kamu bisa menang” Stevi fokus menatap rumput ilalang yang bergoyang tertiup angin.
“mungkin karena aku nggak fokus, andai saja aku bisa menang” Awan tersenyum tipis tanpa menoleh.
“kenapa?” tanya Stevi penasaran.
“oh nggak apa-apa”
Dari pinggir jalan, Ibas melihat Awan dan Stevi tengah berduaan diatas rerumputan.
“kenapa Naya bisa sama Awan, sial...” gerutu Ibas sambil menendang benda yang ada didekatnya. “AAU SAKIT...” teriaknya meringis.
“kenapa lo jadi marah-marah?” tanya Saka heran.
“ah sudahlah nggak penting juga” Ibas lalu pergi meninggalkannya dengan perasaan cemburu dan kecewa.
Awan menatap Stevi dalam-dalam. ”kamu bener-bener mengingatkan aku sama seseorang” ucapnya lirih, tapi tiba-tiba Stevi berdiri.
”aku harus pulang sekarang” ucap Stevi.
“kenapa buru-buru?” Awan ikut berdiri.
“kamu nggak akan mengerti dengan situasi ini”
“situasi apa? jangan bikin aku jadi tambah bingung deh”
“aku takut papa marah” Stevi pergi dengan tergesa-gesa.
Awan mengejarnya sambil membawa sepeda. “ayo naik sebentar lagi kita akan meluncur” ajaknya.
Stevi tersenyum menahan tawa, lalu naik mengikuti perintah Awan.
“kenapa kamu tersenyum? memangnya mukaku ada yang lucu ya?” tanya Awan agak bingung, namun wajahnya terlihat gemas.
“nggak cuma lucu tapi bikin pengen ketawa”
Awan ngerem mendadak. “itu kan kata-katanya Stevi” pikirnya dalam hati.
Di waktu yang sama Stevi kembali memeluk erat pinggang Awan. ”kenapa kok berhenti?”
“nggak tadi cuma kaget aja ada tikus lewat”
“sama tikus aja takut” ejek Stevi.
Setelah sampai didepan rumahnya, Stevi memberi kode agar Awan segera pergi, kemudian ia masuk melalui jendela kamarnya dan berpura-pura tidur. Tapi pada saat itu Ramadi memang sedang tidak ada dirumah.

Cinta dan KesetiaanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang