Awan mengayuh sepedanya menuju rumah Naya/Stevi. Sesampainya disana ia mengendap-endap mengintip ruangan tamu, tapi bibik memergokinya.
“mau ketemu sama non Naya ya?” tanya bibik.
“eh bibik, jadi ketauan deh, padahal tadinya mau bikin kejutan” Awan menahan malu.
“ayo silahkan masuk” ucap si bibik mengajaknya.
Awan mengikuti bibik masuk kedalam.
“tunggu sebentar ya bibik panggilin non Naya dulu”
Baru saja ia duduk, Ramadi tiba-tiba masuk melihatnya. Awan justru lebih terkejut saat melihat wajah Ramadi.
Wajah Ramadi mengingatkannya pada kejadian beberapa tahun yang lalu, saat ia dan Stevi bermain didanau waktu masih kecil. Meskipun begitu tapi Awan masih menyambut Ramadi sambil menatapnya tajam. Kemudian Ramadi masuk ke dalam kamar.
“sebentar ya, non Nayanya lagi ganti baju, oia mau minum apa?” tanya si bibik mendekati Awan.
“mmm maaf aku kebelet bik” Awan buru-buru keluar.
Stevi keluar menemuinya, tapi Awan sudah keburu pergi.
“lho mana bik katanya ada temen aku” Stevi bingung.
“tadi sih buru-buru pergi katanya kebelet non” jawab si bibik. Awan menghentikan laju sepedanya dipinggir jalan, ia duduk dibawah pohon dengan perasaan tak tenang.
“aku yakin itu orang yang pernah menculik Stevi, aku masih inget dengan wajahnya, nggak salah lagi Naya itu pasti Stevi” Awan diam sejenak memikirkan ide. “gimana kalau seandainya itu adalah anaknya bukan Stevi, bisa aja kan waktu itu dia nyulik Stevi terus dibunuh” Awan mulai cemas. “nggak, nggak mungkin, aku yakin Stevi masih hidup, iya Stevi masih hidup” Awan manggut-manggut, iya benar-benar yakin kalau Stevi masih hidup.Di Rumah Sakit jiwa, Tama menemui Susan diruangannya, tapi Susan malah asyik sendiri menulis kata-kata Stevi berulang kali. Susan memandangi boneka kesayangan Stevi yang selama ini menemaninya.
“apa kamu ingat sama aku?” tanya Tama pelan. Susan menatapnya sambil mencoba mengingat sesuatu.
“aku Tama suami kamu, dan Stevi anak kita” lanjutnya.
“Stevi anak kita” Susan menirunya.
Tama mengambil kertas dan pena yang dipegangnya, lalu menulis pertanyaan apa kamu tau Stevi dimana. Susan cuma nyengir dan mengigit jari, kemudian memberikan bonekanya.
“ini anak kita Stevi” ucapnya polos.
“sayang ini boneka bukan Stevi” sembari Tama menggenggam kedua tangannya.
“terus Stevi dimana? STEVI DIMANA...” Susan meronta-ronta dan memukulnya.
“SUSTER...” panggil Tama.
“bu Susan tenang ya jangan khawatir, Stevi baik-baik aja” Suster lalu menyuntik Susan agar tertidur. Tama menahan tangis melihatnya.
Malam hari dikediamannya, Ramadi bertanya kepada Stevi siapa nama temannya yang tadi datang. Stevi menjawab tidak tau karena tadi belum sempat bertemu dengannya.
“memangnya dia nggak bilang kalau mau kesini?” Ramadi mulai mengintrogasinya.
“nggak” jawabnya datar.
“masak kamu nggak tau? anaknya tinggi putih ganteng, cocok sih buat kamu, tapi papa penasaran aja siapa namanya” Ramadi menutupi rasa kecurigaannya.
“mmm yang aku tau cuma Ibas”
“Ibas...? oh kirain namanya Awan”
“siapa pa?” Stevi kaget.
“mmm bukan siapa-siapa tadi kan kamu bilang Ibas”
“tapi kayaknya papa tadi nyebut nama Awan” pikir Stevi dalam hati.Pak Davin dan bu Winda menghentikan mobilnya di depan rumah Tama. Mereka mengetuk pintu rumahnya dan mengamati disekitarnya, tapi tidak ada jawaban. Saat Winda kembali mengetuk sambil mengucapkan salam, Tama tiba-tiba muncul.
“wallaikumsallam, mmm maaf kalian siapa?” tanya Tama.
“oia saya Davin, dan ini Winda” Davin memperkenalkan dirinya dan WInda.
“ini rumahnya pak Tama kan?” tanya Winda.
“iya betul saya sendiri, memangnya ada apa ya?” tanya Tama lagi.
“kami hanya ingin menyampaikan surat ini” Winda memberikan surat dari Naya.
“surat? surat apa?” Tama mengamati surat itu tanpa membukanya.
“nanti juga bapak akan tau sendiri, karena sepertinya itu surat pribadi yang sangat penting” jawab Davin.
“oke nanti akan saya baca” ucap Tama.
“kalau begitu kami permisi” sahut Winda berpamitan.
“oia makasih ya” Tama kemudian membuka pintu dan masuk ke kamar, ia meletakkan surat itu diatas meja.
Tama menuju meja makan membuka tudung nasi, tapi yang ada cuma nasi saja. Suara perutnya terdengar berbunyi seperti bersenandung ria menahan lapar, lalu ia membuka kulkas mengeluarkan sayur. Semua sayur, bawang, dan cabai sudah di iris sebagai campuran untuk membuat nasi goreng.
“biasanya Susan yang menyiapkan semuanya untukku, tapi sekarang aku yang memasak untukku sendiri” lirihnya sambil menggoreng bumbu.
Ia jadi teringat waktu Susan membuat nasi goreng bersama Stevi. Saat itu Tama menggoda mereka sambil bercanda. Namun lamunannya terhenti ketika mencium bau gosong. Ternyata nasi gorengnya sudah sedikit hangus.
“Astaghfirullahaladzim...” Tama cepat-cepat mengangkatnya. “yaah gosong deh..., tapi nggak apa-apa lah yang penting masih bisa di makan” Setelah dimasukkan ke dalam piring ia pun melahapnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta dan Kesetiaan
General FictionParas Stevi yang sangat mirip dengan ibunya membuat Ramadi bertekad balas dendam karena ibunya dulu menolak cintanya. Ramadi menculik Stevi disaat ia dan Awan sedang asyik bermain, sedangkan Awan dibuang kedasar jurang. Demi melindungi ibu dan ayahn...