part 17

37 1 0
                                    

Erwan dan Ramadi tampak bertarung didalam padepokan. Berkali kali Ramadi mencoba menyerang, tapi selalu ditangkis. Erwan hanya menghindar dan menangkis setiap serangan. Ia sengaja tak ingin menghabiskan tenaganya. Janu dan Jafar yang memperhatikan pertarungan mereka saling berbisik.
“menurut kamu siapa yang akan kalah?” tanya Janu.
“aku sih pengennya bos kita yang kalah” jawab Jafar.
Janu ingin tertawa.
“memangnya kamu ngedukung bos Ramadi?” tanya Jafar.
“justru aku juga menginginkan hal yang sama, aku pengennya bos habis babak belur biar tau rasa”
“kenapa kita nggak sekongkol aja untuk ngabisin bos, biar kita bisa bebas” Jafar menemukan ide.
“untuk sekarang kita turutin aja apa keinginan bos, karena anak buahnya itu banyak mereka ada dimana mana, salah langkah sedikit aja kita yang habis” jelas Janu benar-benar serius.
“kamu bener juga”
 
Terlihat di jalan, Awan memboncengi Stevi menggunakan sepeda.
“memangnya kita mau kemana?” tanya Stevi penasaran. “aku pengen ngajak kamu latihan” jawabnya.
“latihan..., latihan apa?” Stevi dibuat bingung.
“udah jangan bawel, ntar kalau aku udah bisa, aku yang akan ngajarin kamu, oke pegangan ya” perintah Awan.
Stevi memeluk pinggang Awan dengan erat sambil berpikir sebenarnya Awan mau mengajaknya kemana. Sementara Ibas tengah menunggu Naya didepan gerbang sekolah sedari tadi. Ia kesal Naya tidak muncul-muncul. Sedangkan keadaan sekolah sudah mulai sepi.
“Naya kemana sih nggak keluar-keluar” Ibas menggerutu menahan kesal. Seorang murid yang hendak pulang tiba-tiba nyeletuk.
”lo dari tadi nungguin Naya?”
“iya, Naya masih ada didalam kan” Ibas begitu yakin.
“aa telat lo, Naya udah keburu pergi sama Awan”
“lo kalau ngomong yang bener dong serius nggak nih?”
“ya serius lah, ngapain juga gue bohong nggak ada untungnya buat gue” murid tersebut kemudian meninggalkannya seorang diri.
“sial..., kenapa gue selalu telat dari Awan” Ibas jadi semakin bete.
Awan mengajak Stevi masuk ke dojonya Panca, tapi ia sangat terkejut ketika melihat papanya sedang bertarung dengan Ramadi. Terlebih lagi dengan Stevi, ia mendekati Janu dan Jafar.
”apa ini latihan bang?” tanya Stevi.
“Naya, kenapa kamu bisa ada disini” Jafar bukannya menjawab malah bertanya balik.
Berkali kali Erwan menendang kaki dan tubuh Ramadi. Ramadi masih bisa bangkit dan ingin membalas, tapi Erwan keburu menendang wajahnya sampai tersungkur.
“PAPA...” panggil Awan.
Tak berpikir panjang Ramadi berlari mendekati Awan dan membekuk lehernya.
“JANGAAN...” Stevi berlari mendekat, tapi Janu mengejar Stevi dan memeganginya.
“BAWA NAYA PULANG...” perintah Ramadi kepada Janu.
“lepaskan anakku, dia nggak ada hubungannya sama semua ini” tegas Erwan kepada Ramadi.
“sebelum kamu menyerahkan sabuk itu aku nggak akan melepaskannya” balas Ramadi.
Meskipun Naya meronta-ronta ingin melepaskan diri, tapi Janu dan Jafar tetap membawanya pergi.
“tolong kamu mengerti dengan situasi ini Naya, kalau kamu mau kita semua selamat” Jafar sedikit mengancamnya.
“kenapa? apa abang takut sama Ramadi? abang pengecut tau nggak” caci Stevi.
Janu memasukkan Stevi ke dalam mobil dan membawanya pergi.
Tama membawa Susan menggunakan kursi roda ke taman yang tak jauh dari rumah sakit.
“coba kamu liat pemandangan disini, bagus kan, ini sangat baik untuk kesehatan kamu” ucap Tama dengan semangat, tapi Susan tidak mempedulikannya.

Susan masih menatap surat dari Stevi. Tama berjongkok dihadapan Susan sambil menggenggam kedua tangannya.
“aku tau, kamu sangat merindukan Stevi, tapi percayalah suatu saat Stevi pasti kembali ke dalam pelukan kita, kita harus yakin dengan kekuatan Allah” dengan lembut Tama menjelaskan.
Susan mengangguk dengan mata berkaca-kaca. Melihat hal tersebut Tama justru sangat bahagia.
“itu artinya Susan mengerti apa yang aku ucapkan” batin Tama berkata sambil tersenyum. “kita harus temui dokter sekarang, aku mohon kamu ngomong sedikit aja, apa kamu mau pulang?” Susan mengangguk pelan.
Tama dan Susan menemui dokter di ruangannya. Awan bicara kepada dokter apakah sekarang ia bisa membawa Susan pulang. Tapi sepertinya dokter masih ragu untuk mengizinkan Susan pulang.
“saya mohon dok, biarkan saya sendiri yang merawat Susan” ucap Tama dengan sungguh-sungguh.
“apa kamu siap dengan segala resikonya? karena menurut penelitian kami, pasien yang menderita depresi itu sewaktu waktu bisa membahayakan orang lain” jelas dokter.
“saya yakin istri saya sudah sembuh dok, dia sudah mengerti apa yang saya ucapkan”
Dokter memberikan kertas dan pena kepada Susan. “apa bu Susan sudah merasa lebih baik?” dokter memberikan pertanyaan kepadanya. Susan menulis kata iya dengan huruf besar.
“dokter bisa lihat sendiri kan, kalau saya yang merawatnya sendiri saya yakin Susan akan cepat sembuh” Tama merasa senang.
“baiklah kalau memang sudah benar-benar yakin, sus tolong ambilkan berkasnya”
Suster mengambil berkas milik Susan dan memberikannya kepada Tama untuk di tandatangani. Setelah menandatangani surat itu, Tama mengucapkan terimakasih kepada dokter dan menyalaminya.
        Saka menemukan Kayra berjalan dipinggir jalan seorang diri. Saka mematikan suara motor, lalu membuntutinya. Merasa ada yang mengikuti, Kayra menghentikan langkahnya. Sebelum Kayra menoleh ke belakang, Saka mengklaksonnya beberapa kali.
“lo apa-apaan sih berisik tau nggak” cerca Kayra.
“udah nggak usah bawel, ayo buruan naik”
“nggak mau, gue bisa pulang sendiri” tolak Kayra dengan ketus.
“yakin nggak mau...?” Saka mencoba merayu. “lo mau nunggu sampai malam juga percuma disini nggak akan ada taxi yang lewat”
Kayra melanjutkan langkahnya berharap dipanggil oleh Saka, tapi Saka malah diam saja memandanginya.
“nggak ada pengertian sama sekali sih sama cewek” Kayra ngedumel didalam hati sambil ingin menoleh kebelakang, tapi nggak jadi.
“bilang aja kalau maunya dikejar, nggak usah malu-malu gitu kali” sindir Saka sambil tersenyum.
“siapa juga yang mau minta dikejar sama lo” balas Kayra menoleh sekilas.
Saka mendorong motor dan berhenti didepannya. “udah nggak usah ngambek, jalan ini kalau sore apalagi malam rawan perampokan, memangnya lo mau digangguin sama preman-preman disini” Saka menakut-nakuti.
Kayra jadi takut beneran dan langsung naik ke motornya.
“nah gitu dong dari tadi” Saka senyum-senyum.
“katanya buruan tapi nggak jalan-jalan gimana sih” Kayra kembali ngedumel.
“pake helm dulu kali, nih” Saka memberikan helm.

Cinta dan KesetiaanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang