part 29

39 3 0
                                    

Bram menghentikan mobilnya di tempat ia pernah melihat Fiona. Ia turun dari mobil dan menghampiri pedagang yang ada disana.
“maaf pak, apa kemarin ada Ibu-ibu yang jualan peralatan dapur disini?” Bram bertanya.
“iya kemarin memang ada yang jualan disini” jawab si bapak.
“terus sekarang kok nggak jualan lagi pak?”
“ya kemungkinan dia pindah tempat”
“mmm Bapak tau nggak namanya siapa?”
“wah kalau itu mah saya nggak tau”
“ya udah makasih ya pak” Bram lalu kembali ke mobil. “apa aku salah liat ya, tapi nggak mungkin, soalnya  wajahnya mirip banget sama Fiona” sambil mengingat, Bram mengemudikan mobil.

Sementara di area komplek, Kiran begitu senang menemani Fiona berjualan. Mereka menjajakan peralatan dapur menggunakan mobil fasilitas kantor yang di berikan pak Gunawan. Dengan pengeras suara, Fiona menyerukan barang dagangannya, sedangkan Kiran melayani Ibu-Ibu yang baru berdatangan. Sebut saja namanya Dina dan Dian.
“ini barangnya cash apa kredit neng?” tanya bu Dina.
“mmm ini cash bu, soalnya kalau kredit lebih mahal” jawab Kiran dengan ramah.
“kebetulan banget nih ada neng cantik jualan kesini, soalnya panci saya bolong” riang bu Dian.
“iya bu mumpung lagi promo” lanjut Kiran.
“Ibu sama anak sama cantiknya ya” rayu bu Dina.
“masak sih bu, padahal saya bukan anak kandungnya” Kiran jadi sedih.
“oia, tapi kalian mirip lho, apalagi kompaknya, coba saya punya anak cowok, pasti saya jodohin sama neng” rayu bu Dina lagi.
Setelah mereka membayar kepada Fiona, Kiran mengucapkan terimakasih kepada mereka.
“sama-sama neng” sahut mereka serempak, yang kemudian kembali ke rumah masing-masing.
Fiona menghitung hasil pendapatannya hari ini.
“gimana tante?” tanya Kiran tak sabar.
“alhamdulillah lumayan banyak” riang Fiona. “ya udah kita pulang yuk” ajaknya.
Selintas Bram melihat mereka yang sedang tersenyum didalam mobil, tapi ia heran siapa gadis remaja yang ada di sampingnya. Bram berusaha mengejar mereka, tapi ia kehilangan jejak akibat terjebak lampu merah.
“aaghh sial...” gerutu Bram sambil memukul stir.

Di kantin, Awan menatap wajah Saka yang terlihat murung. Awan tak habis pikir kenapa Saka membahayakan dirinya sendiri hanya demi dua tiket.
“gua pengen ngajak Kayra nonton konser musik” lirih Saka.
“iya, tapi tetep aja cara kamu kayak gini ya salah, memangnya kamu pernah nyanyi diatas panggung?” tanya Awan.
“gua paling benci yang namanya naik panggung” jawab Saka, sepertinya ia pernah mengalami trauma dimasa lalu.
“kenapa...? takut...?” ejek Awan.
“bukannya takut, tapi suara gua terlalu bagus, ntar yang ada penyanyi aslinya jadi tersaingi sama gua” jawab Saka dengan pede.
“hahahaa yang bener aja, ya nggak mungkin lah” ejek Awan lagi.
“serius gua” Saka terlihat sangat yakin.
“kalau memang bener, ya udah kamu buktikan disini” tantang Awan.
“tapi...” nyali Saka jadi ciut.
“udahlah, sini aku contohin ya” seru Awan.
Awan berdiri didepan kantin memanggil tukang pengamen yang membawa gitar. Ia menyanyikan lagu di iringi gitar yang di mainkan oleh pengamen tersebut. Orang-orang di sekitarnya mendekati mereka.
“ayo sekarang giliran kamu” tantang Awan sambil menunjuk Saka.
Dengan sedikit gugup, Saka pun mendekat dan bernyanyi sambil memetikkan gitarnya. Semua orang sangat terhibur, bahkan mereka bertepuk tangan sambil ikut bernyanyi. Saka merasa kali ini ia seperti sedang konser diatas panggung yang di penuhi gemuruhnya penonton. Handphone Awan tiba-tiba berdering, ternyata Stevi sedang menelponnya disebuah taman. Awan agak menjauh dari keramaian agar bisa mendengar suara Stevi.
“mmm kenapa? kamu kangen ya sama aku...? baru juga nggak ketemu sehari udah ada yang kangen nih” canda Awan.
“iih kata siapa aku yang kangen” balas Stevi tak mau kalah.
“tuh yang nelpon” canda Awan lagi, tapi Stevi sengaja tidak menjawab. “hallo..., hallo...”
Stevi sengaja tak mau bicara sambil senyum-senyum, ia tengah mengerjai Awan.
“hallo by, jangan marah dong pliss” rayu Awan.
“kena deh aku frankk, hahahaa...” riang Stevi tertawa lepas karena berhasil mengerjainya.
“hmmm dasar Stevan...” gumam Awan sedikit lebih lega.
“kok Stevan sih, kan nama aku Stevi” Stevi ngambek.
“hahahaa...” Awan malah tertawa.
“iih malah ketawa lagi, ledekin aja terus”
“kena deh aku frankk juga, hahahaa...” riang Awan. “yess satu sama”
“awas ya kamu, nanti bakal aku bales lho”
“kamu tau nggak Stevan itu apa?” tanya Awan.
“apa?” tanya Stevi dengan manja.
“Stevinya Awan” Awan tersenyum manis.
“ooo...” mulut Stevi membulat. “makasih ya Awvi” sambil senyum-senyum sendiri.
“apalagi tuh Awvi?” Awan penasaran.
“Awannya Stevi, hehehee...”
Awan kembali tersenyum.
“kamu tau nggak sih, aku itu lagi di taman nungguin kamu, soalnya ada yang mau aku omongin penting, pokoknya aku tunggu sekarang” setelah itu Stevi menutup telponnya.
“yaah dimatiin lagi, di taman mana...? taman kan banyak” gerutu Awan. “oia aku inget” ucap Awan setelah beberapa saat.
Sambil menunggu kedatangan Awan, Stevi melihat foto-fotonya bersama Awan. Sesekali ia tersenyum saat melihat foto yang terlihat lucu.
“DAARR...” dari belakang Awan mengejutkannya.
Spontan saja Stevi langsung terkejut. “ngagetin aja iih” cerca Stevi sembari memukulnya, namun Awan nyengir nggak karuan.
“kok berdiri, ayo sini duduk” ajak Stevi saat melihat Awan masih berdiri.
Awan duduk disampingnya. “oia Stevan mau cerita apa?”
“setelah aku pikir-pikir ternyata ilmu beladiri itu memang sangat penting” jawab Stevi serius.
“ya emang penting banget sih, terus”
“aku juga pengen belajar karate”
“kamu serius by?”
Stevi hanya mengangguk.
“ya udah besok kita latihan karate sama Kiran” ucap Awan dengan semangat”

Cinta dan KesetiaanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang