Felix menghembuskan napasnya ketika pikirannya melanglang buana. Mengingat kembali hal apa yang terjadi beberapa hari belakangan. Mengingat bagaimana kekasihnya terlihat seperti mayat hidup. Mengingat bagaimana segala hal yang berusaha dia lakukan terasa sia-sia saja.
"Ada kemungkinan peneror kamu papasan sama secret admirernya Hyunjin, Won. Kalau kita minta Hyunjin buat cari tahu dia, kita punya kesempatan buat cari orang itu lebih gampang."
"Aku... Aku cuma butuh kamu, Lix. Aku cuma butuh kamu disisi aku. Tanpa ngelibatin lebih banyak orang lagi. Aku nggak butuh dia buat ikut campur masalah ini."
Hyujin sedang bersender di balik tralis besi. Mereka selesai menjaga Chaewon karena Eunbi (kakak sepupu gadis itu) sudah datang menggantikan. Hyunjin merogoh saku celananya, mengambil bungkus rokok dan koreknya segera.
"Gue... Nggak bakal mikirin lagi kata-kata lo kemarin. Buat gue, hubungan kita nggak pernah bisa lebih dari teman, Jin."
Hyunjin membakar rokoknya, ketika suara parau itu kembali memasuki telinganya. Terngiang begitu saja. Mungkin karena masih segar dalam ingatan, atau mungkin karena gadis itu yang mengatakan.
"Sepanjang malam setelah lo bilang tentang perasaan lo, Jin... gue mikirin apa yang harus gue lakuin supaya kita bisa balik kayak dulu lagi... Gue nyalahin lo kenapa lo ngasih tahu gue, seegois apa elo, semenyebalkan apa elo."
"Tapi gue pikir ini bukan salah lo... Jadi gue nggak tahu harus salahin siapa lagi selain diri gue sendiri anjing."
"Hari ini... Gue mungkin celaka karena kerjaan sialan orang itu. Tapi seenggaknya gue tahu, harus gimana gue bersikap kan? Gue harus ngasih tahu lo, kalau kita bener-bener nggak bisa jadi kita, Jin."
"....."
"I'm sorry. I can't." Chaewon mengusap airmatanya terus menerus.
"Karena sekalipun gue tahu, gue nyakitin lo... Gue tetap melakukannya."
"Gue cuma... nggak mau nyakitin Felix lebih dari ini. Gue nggak bisa, Jin. Gue nggak bisa kalo dia sampe pergi juga."
"Maafin gue."
Hyunjin menelan ludah, menyesap rokok itu akhirnya. Terlalu dalam, sampai paru-parunya terasa penuh. Menekan oksigennya habis-habisan seolah tidak lagi membutuhkan.
"Maafin gue, Lix." bisik Hyunjin akhirnya.
Felix mendongak, menatap punggung itu gagal mengerti. "For what?"
"Loved her."
Lelaki itu bergeming. Tubuhnya betul-betul membeku begitu otaknya mencerna apa yang baru saja temannya ucapkan. Tenggorokannya serasa tercekat begitu ia memberanikan diri untuk bertanya. "Who.... is she?"
Hyunjin merasa rahangnya tertarik kuat, bersama dengan matanya yang terasa memanas dan hidungnya yang sakit. Tanpa menjawab, rasanya Felix sudah tahu. Dia hanya menginginkan penegasan untuk meyakini diri sendiri kalau temannya baru saja menyatakan dia menyukai pacarnya.
Felix membuang muka, saat ribuan sesak menyerangnya. Kepalanya berakhir mengangguk-angguk tak percaya ketika tawa sumbangnya terdengar miris sekali.
"But, then she knows your feelings?"
Hyunjin menengadahkan kepala, menahan bulir air matanya ketika suaranya menjawab lara. "Gue bilang beberapa hari lalu."
Rasanya, ada batu yang menyumpal tenggorokan Felix untuk berbicara lagi. Lelaki itu merasa.... Dadanya serasa ditusuk ribuan kali. Ketika suara di dalam sana meraung terus-terusan.