Part 19. "Penasihat Edo"

49 11 0
                                    

"Oh ya, terimakasih atas tawarannya. Tapi gua yakin gak ada yang mau rasain apa yang lagi lo rasain."
~Edo

..

..

..

Penasihat Edo


"Pft. HAHAHAA!" tawaku memecah keheningan.

"Jadi gila gara-gara saking sedihnya."
Bisik Ello ke arah the gang sambil melihatku.

"Nggak usah bercanda." Sahutku dengan raut berubah datar. "Gua tau kok lu lagi becanda. Jadi nggak usah_"

"Apa? Bohong?" kalimat Ello membuat mataku membulat sempurna. "Terserah lo deh." Lanjut Ello acuh lalu mulai berjalan menuju the gang, menjauhiku. Tanpa memberiku kesempatan untuk melanjutkan kalimatku yang terpotong.

"Dek!" Aku mempercepat langkahku, mengejar Ello yang telah kembali bersama the gang.

Ello tidak menggubris, atau mungkin, tidak peduli.

"Dengerin gua dulu!"

Ello masih bungkam.

"G-gua.." sontak mulut ku terasa sangat kaku.

Sakit.

"Gua udah gak peduli."

Ello merundukkan kepalanya.

Satu detik ...

Dua ...

Tiga ...

"Maaf." Lirih Ello.

Aku mengernyit, heran.

Hah? Kenapa sekarang dia yang minta maaf?

"Kalo bukan karna gua, lu nggak akan jadi kek orgil sekarang." Ello kembali mengangkat kepalanya.

"Maksud lo?"

"Kalau aja waktu bisa diulang, gua nggak akan bilang ke elu kalau ada cogan yang lagi liatin lu waktu itu."

Jadi itu maksudnya?

"HAHAHAA!" tanganku refleks memukul pundak Ello. "Lebay banget sih lo Dek! Tuh liet, mereka jadi keasyikan nobar sinetron live tau!" Aku menunjuk the gang sambil tertawa geli. Bagaimana tidak, ekspresi mereka sekarang jauh lebih lucu ketimbang orang naber.

Krik.. krik..

Tiba-tiba Ello berdiri. Diikuti the gang yang berjalan di belakangnya. "Mo ikut gak?" Celetuk Ello.

Aku terbelalak. "Gak usah. Gua disini aja." Tolakku halus.

"Yakin?" Ello mengalihkan pandangannya pada--Tunggu. Apa aku terlalu banyak berkhayal sampai-sampai tidak menyadari jika.. ada pemandangan mempesona yang berada tepat di depanku?

"Ikuttt!" Sorakkh antusias setelah menganga cukup lama.

Aku berjalan menuruni tangga, ditemani pemandangan indah beserta semilir angin sejuk yang memorak-porandakan satu persatu suraiku.

Benar. Terlalu banyak berkhayal.

Dan disinilah kami. Menuruni bebukitan dengan bentuk terasering yang sengaja dibuat layaknya tangga menuju sungai di bawah sana. Sebuah gunung dengan perkebunan jagung yang rapih membatasi pandangan di depanku. Ditambah sebuah bukit di belakang kananku--yang katanya terdapat kuburan di atasnya--yang seakan-akan memagari punggungku.

Suara arus air sungai yang kian bertambah menambah rasa antusiasku. Bahkan_

"Kak! Awas!" teriak Ello seraya melihat ke bawahku.

Hah? Ada a_
ASTAGA!

"JOROK!!!!" Teriakku refleks sambil melompat-lompat demi menjauhi benda di bawahku. Mungkin aku memang sudah gila? "Dasar tai! Nih kebo bukannya berak di wc malah seenak pantat berak disini!"

"Bukan kebo, tapi tedong!" Celetuk Aldo membenarkan.

"Mau kebo kek, tedong kek. Yang namanya berak seenak pantat tuh gak sopan!" Balasku sengit.

"Berarti beraknya di wc dong, 'wc kebo'. Emangnya ada_"

"YA KAGAK ADALAH VIN!" teriak Ello yang membuat Kevin menciut.

"Fucekkk!" gumam Kevin.

"Berantem sono ampe kebo berak di wc." Edo meletuskan apinya setelah sekian lama.

BUARRRRR!!!

Cipratan air bah yang berasal dari lompatan Kevin ke sungai berhembur keluar hingga ke pinggiran, membuatku terpaksa mengurungkan niat untuk ikut melompat. Berbeda dengan Ello dan Aldo yang langsung melompat sesaat setelahnya dan berlari melawan arus demi mengejar Kevin.

Aku mengambil posisi di sebuah batu besar di pinggir sungai dan duduk di samping Edo. "Lo gak turun?" Kataku memulai percakapan setelah mendapat posisi yang nyaman di atas batu.

Lawan bicaraku enggan menjawab. Dengan wajah yang sedatar-datarnya, Edo menatap ke arah tiga lelaki di sungai. Kesunyian kembali menghampiri.

Satu detik ...

Dua detik ...

"Lo sendiri kenapa nggak turun?" Edo bertanya balik.

Aku sempat tersentak mengetahui Edo yang kini menatapku.

Kini giliran aku yang enggan menjawab.

"Lo suka Uga, kenapa?" Edo memiringkan kepalanya.

Jleb.

Habislah gue sama makhluk berhati datar ini.

Edo kembali membuka mulutnya. "Bukannya lo udah tau kalau Uga itu_"

"Enggak." Timpalku dengan tangan yang tiba-tiba bergetar.
"Dari awal gue nggak pernah tau, dan gak ada satu pun yang ngasih tau gue. Jadi itu bukan salah gue kan kalau gue jatuh hati sama dia?" Tanyaku dengan napas memburu.

"Dan lo tau gak sih rasanya jatuh hati sama seseorang yang ternyata punya hubungan darah sama lo?" Lanjutku. Kini ndada suaraku yang mulai bergetar. Aku merasa dadaku menjadi sesak, seperti ada yang menekannya? "Rasanya kayak batu yang kita dudukin, Do. Dia emang yang paling dekat sama sungai, tapi gak akan pernah bisa lompat ke dalamnya kayak mereka bertiga tadi. Apalagi sampai berenang di dalamnya." Ucapku sambil menatap ketiga lelaki di bawah sana. "Tugasnya, hanya mendampingi sang sungai. Hanya mendampingi." Tekanku di akhir kalimat panjangku.

Tampaknya aku telah membuat Edo bungkam. Sangat bungkam tepatnya. Untuk sesaat aku melirik Edo dan mendapatkan rautnya kini berubah. Aku tidak berharap dia sedih dengan kataku barusan kok, aku hanya ingin mengeluarkan unek-unekku saat ini.

Jangan-jangan dia beneran ikut sedih?!

"Ck. Siapa juga yang mau rasain." Jawab Edo yang benar-benar di luar ekspektasiku. "Gua cuma mau ngingetin kalo cowok di dunia ini banyak, Kak. Bukan cuman satu. Bukan cuma Uga." Tekannya di tiga kata terakhir. Edo bangkit berdiri. Kemudian menyapu tanah yang menempel di bawah celananya.

Tiba-tiba Edo berhenti dan berbalik sejenak. "Oh ya, terimakasih atas tawarannya. Tapi gua yakin gak ada yang mau rasain apa yang lagi lo rasain." Dan kini dia benar-benar pergi.

Lu berhasil, Do.
Makasih.

• • •

Hai readers, The Gang, dan..........

March 16th '20.
Covid-19 mulai menyebar di Nusantara.

CO(US)IN [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang