Part 30. "Tempat Asing"

52 11 0
                                    

"Tapi dengan satu syarat. Dia juga harus minta maaf ke lo."

..


..



..



Tempat Asing

Sang mentari akan segera mengistirahatkan dirinya di balik kedua gunung di depan sana, menyisakan semburat jingga yang tak kalah indahnya. Sebuah keberuntungan bisa melihatnya dari bawah sini. Setidaknya kali ini aku beruntung setelah satu hari menerima kesialan beruntun.

Ah-tidak ada yang namanya sial. Hanya saja aku lagi kurang beruntung hari ini.

Aku menggulung lengan bomber jacket yang selalu setia membalut tubuhku hingga memperlihatkan jam biru yang bertaut di pergelangan tangan kiriku.

18.00

Aku menghembuskan napas jenuh. "Je, kita kapan sampainya sih? Perasaan waktu berangkat gak lama gini," Tanyaku yang masih berdiri di samping Gerson.

Tiba-tiba Gerson berbalik, menaruh tatapan sinis terhadapku. "Satu, jangan pernah nanyain waktu kalau lagi di perjalanan. Du_"

"Emangnya kenapa?" Potongku polos.

"Belum aja selesai udah dipotong. Ya jelas bisa bikin perjalanannya tambah lama. Dan udah terbukti sama gue yang profesional." Gerson mengangkat dagunya.

"Gak boleh sombong, Je. Orang sombong pantatnya bolong." Ujarku mencoba santai.

"Lanjut. Dua, seharusnya lo jangan nanya ke gue karna bukan gue yang ngendarain mobil. Tapi bapaknya dia." Gerson menatap ke belakangku. Ups! Kali ini aku tidak akan ikut campur seperti tadi.

Bola mataku berotasi. Tapi kalimat Gerson aku akui kebenarannya. Dan lagi, bukan Gerson yang memakai jam tangan disini. Tapi aku.

Aku kembali mendongak sementara Gerson masih sibuk menatap Kak Uga di belakangku. Sebenarnya aku merasa risih berdiri di antara dua iblis yang tengah perang mata a.k.a. eyeswar. Tapi sebisa mungkin aku berusaha agar tidak ikut campur. Entah gimana akhirnya jika aku memilih ikut tertarik ke dalam masalah mereka.

Dih ogah!

Tiba-tiba aku merasa truk sapi kurban berhenti bergerak, lagi. Aku melihat sekeliling, mendapati sebuah rumah kayu di samping kanan truk. Tapi kenapa di sini?

Sontak firasat buruk memasuki pikiranku. Perasaan tak enak mulai menjalar di seluruh tubuhku, membuat bulu kudukku mau tak mau terangkat.

Masalahnya... pertama, truk berhenti di tempat yang tidak ada tanda-tanda kehidupan. Kedua, lampu rumah tersebut mati dan tidak ada pergerakan manusia dari dalam rumah. Ketiga, tidak ada rumah lain di sekitar sini kecuali jurang di belakang rumah dan bebukitan di samping kiri truk. Empat, suara lolongan anjing membuat suasana di sekitar truk semakin mencekam. Persis di film-film horror.

"O Ambe' na!" Teriak Puang Clara yang telah turun dari truk ke arah rumah tersebut. Aku menatap Puang Clara tidak percaya. Kenapa dia berani keluar dari truk di saat-saat seperti ini?

Aku mengalihkan pandangan, menatap rombongan. Mereka sedang berdiri kaku di tempat mereka masing-masing sambil menaruh tatap satu sama lain. Ternyata bukan hanya aku yang merasa ganjil dengan tempat ini.

"U-Uga di-disini a-man toh?" Tanya seorang wanita.

Dalam kegelapan malam samar-samar, mataku dapat melihat bibir Mama Antika yang bergetar hebat. Sementara kedua tangannya menangkup wajah Antika yang memeluk erat kakinya dengan mata yang...

Wow wow,

Jangan bilang kalau sedikit lagi Antika bakal...

"Hiks hiks... HUAAAAAAAA!!!" DUAR! Tangis Antika pecah bagai air bah. Air matanya menurun deras membasahi tangan Ibunya yang berusaha keras menutup mulut Antika agar menyuruhnya diam seraya memarahinya alih-alih menenangkannya. Bukan hanya itu, suara tangisnya yang kelewat membahana membuat seluruh rombongan tersentak. Setidaknya suara tangisnya dapat mengurangi kengerian di sekitar rombongan dan_

Terimakasih ponakanku.

Lampu rumah kayu di depanku menyala. Diikuti pintu depannya yang terbuka dari dalam. Susah untuk melihat orang yang muncul di pintu itu karena cahaya dari dalam rumah yang mengganggu penglihatan kami.

"O Ambe Clara!" Dari suaranya yang berat dan kuat, aku cukup tahu bahwa orang yang kini berjalan ke arah Puang Clara itu adalah laki-laki yang sebaya dengan Puang Clara. Mereka berjabat tangan di depan rumah tersebut, diikuti para rombongan yang turun dari truk satu persatu.

Aku sengaja berlama-lama turun dari truk, mengulur waktu agar tidak berpapasan wajah dengan Kak Uga.

Setelah memastikan keadaan benar-benar aman dan hanya tersisa aku dan Gerson di atas sini, aku putuskan untuk berjalan menuju pinggir truk.

Gerson yang tiba-tiba menyentuh pergelangan tanganku membuatku refleks menatapnya. "Sini gue ban_"

"Gue yang bantu."

Suara tak asing dari bawah truk membuat kami menengok ke asal suara.

Gerson memutar bola matanya. "Udah kacangin aja. Ayo Tal sini gue_"

"Ikut sama gue." Air muka Kak Uga berubah. Tatapannya yang selalu bersahabat berganti dengan tatapan tajam ke arahku.

"Gue nggak_"

"Sebelum gue tarik ke sini." Tekan Kak Uga yang terdengar sangat memaksa.

Dengan segala hormat aku terpaksa mematuhi perintah Yang Mulia Uga setelah tersenyum tak enak ke arah Patih Gerson.

Kak Uga langsung menarik tanganku menjauhi truk setelah kakiku berhasil menapakkan tanah sedikit kencang karena efek tarikannya.

"Sshhh..." Ringisku kesakitan saat pergelangan tanganku ditarik. Sesaat kemudian aku merasa pergelangan tanganku tidak lagi ditarik, menyisakan rona merah dan bekas kuku di sekitarnya. Aku menatap sendu pergelangan tanganku. Pengen niup, tapi takut. Pengen bilang, ogah bicarain dia.

"Maaf." Lirihnya yang masih memunggungiku.

"Setelah maksa gue dan narik tangan gue?" Lega rasanya bisa mengeluarkan keluhanku yang tertahan. "Kak, kalau lo ada masalah bilang. Jangan asal narik orang ke dalam masalah lo." Gerutuku, tapi tidak berhasil membuatnya berbalik.

"Maaf. Kali ini gue serius."

"Basi. Kemarin juga gitu. Minta maaf buat ngulangin lagi atau pengen dikasihani?"

"Buat semuanya." Balasnya pelan yang berhasil aku dengar. "Gue bakal minta maaf ke Gerson."

Aku menarik kedua sudut bibirku dari balik sini. Hatiku serasa menghangat setelah mendengarnya. "Itu baru Kak Uga yang gue kenal."

Kak Uga berbalik. Aku terkejut ketika melihat dia tertawa sambil menatap ke langit.

Aku jadi ikut terkekeh. Tentu saja karena iblis di depanku yang telah berubah wujud jadi malaikat--pencabut jantung--dalam waktu kurang dari semenit.

Tawa Kak Uga berhenti, pandangannya beralih ke arahku yang masih setia menatapnya. "Tapi dengan satu syarat." kata Kak Uga singkat.

Aku menyipitkan mata. Kemudian berdeham sebagai balasan.

"Dia juga harus minta maaf ke lo." Tunjuknya ke arah Gerson.

• • •

CO(US)IN [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang