61. End of the Game

565 62 6
                                    

Keputusan itu udah bulat. Mereka harus bicara. Keberadaannya di apartemen Jaehyun malam ini udah bulat. Membicarakan apa yang harus dia selesaikan, yang kemudian jadi apa yang harus mereka selesaikan, mungkin.

Gak lagi sama pikirannya yang kalut, gak lagi sama perasaannya yang gusar, gak lagi sama ketakutan atas dirinya sendiri. Chaeyeon nyelesain akhir dari kesibukannya ngeberesin kaleng-kaleng minuman di pantri dapur. Masih sama, apartemen Jaehyun selalu rapi dan bersih. Terlepas dari kaleng-kaleng minuman yang menuhin pantri tanpa nyisain tempat buat satu piring kecil sekalipun, sebelumnya.

Dalam keadaan 'normal', mungkin dia bakal teriak di depan Jaehyun. Marah atas tindakan cowok itu yang seolah gak punya sisa kewarasan. Berkaleng-kaleng minuman beralkohol, ketika cowok itu seharusnya gak nyentuh sebanyak itu. Atau keinginan buat bertindak lebih jauh itu muncul 'lagi'.

Entah, keadaan sekarang ini harus disyukuri atau ditangisi.

"Udah lama?"

Lamunannya buyar. Pecah setelah suara si pemilik apartemen masuk ke indra pendengaran. Badannya yang tadi ngehadap pantri, dia balikin buat nemuin cowok dengan setelan kantor yang gak lagi lengkap. Gak ada lagi dasi dan tanda pengenal disana. Nyisain kemeja biru gelap dan setelan jas hitam.

Lagi, kalau saat ini keadaan 'normal', Chaeyeon mungkin bakal lari dan nubrukin badannya. Nyambut rengkuhan dari si cowok dan ngebiarin rongga pernafasannya penuh sama harum tubuh itu. Selagi dia cerita gimana dalam satu hari Kyulkyung ngasih dia ceramah atau gimana senior-senior di sanggar gak menerima portofolio koreografinya.

"Cukup lama sampe gue tau semua makanan di kulkas gak disentuh sama sekali. Kecuali camilan bungkusan sama kaleng bir"

Jaehyun ketawa remeh. Ngedudukin dirinya di kursi meja makan setelah berhasil ngelepas jas dan naruh tas di kursi sampingnya. Matanya merhatiin Chaeyeon yang menjauh dari pantri buat duduk di hadapannya.

Masih sama, tatapan mata cewek itu masih sama. Kayak terakhir kali di depan sanggar. Tatapan putus asa itu. Yang selalu menyisakan penasaran di penghujung hari Jaehyun. Ninggalin khawatir yang lebih buram dari kejelasan keberadaan mereka di sini, duduk berhadapan, di malam hari yang seharusnya jadi waktu buat saling bersandar. Seharusnya. Lagi-lagi, kalo aja keadaan saat ini 'normal'.

"Permainannya selesai, Jaehyun"

Chaeyeon adalah orang yang serius, dan Jaehyun tau itu. Cewek di hadapannya saat ini, bukan seseorang yang memilih suasana santai dalam obrolan serius. Dia selalu serius dalam setiap obrolan. Dan suasana santai yang diciptakan cewek itu, dengan suara ringannya, justru bikin Jaehyun gusar. Seolah ketenangan ini adalah tanda dari hantaman besar yang bakal dateng. Seolah itu tsunami yang butuh surut air laut sebelum naik menerjang tanpa ampun.

Senyuman diulas di wajah pucat Chaeyeon. Dua matanya gak ragu buat natap langsung mutiara kelam Jaehyun. Ketenangan yang justru mengancam teritori cowok di hadapannya.

"Jadi?"

Lidahnya kelu, gak mampu ngeluarin kata lain selain itu. Menuntut penjelasan dari Chaeyeon yang masih keliatan tenang. Tanpa gurat amarah di wajahnya.

Seharusnya gurat marah itu disana. Ketika bau alkohol bisa Jaehyun rasain dari tubuhnya, seharusnya Chaeyeon dengan hidung sensitifnya, saat ini nampakin gurat amarah.

"Lo mau gue jujur?"

Tangan keduanya bersembunyi di bawah meja. Meremat masing-masing tangan tanpa tau satu sama lain. Sembunyi di balik suasana santai yang tenang. Seolah keduanya dalam suasana hati yang baik. Seolah keduanya gak terlibat dalam situasi membingungkan.

"You're the winner of this game. Gue gak pernah jujur, apapun itu yang gue lakuin selama permainan berlangsung, gak ada satu pun yang keluar karena gue mau loe tau kalo gue jujur. Semua tindakan gue, semua ucapan gue, itu karena gue gak mau loe hilang. Karena satu-satunya tempat pelampiasan gue, itu loe Jaehyun"

Remuk. Rasanya tulang rusuk Jaehyun dihantam bola besi penghancur gedung. Hancur barengan sama pondasinya yang roboh. Rasa sakit itu dateng buat kesekian kalinya. Lebih mengecewakan karena partner yang dia anggap sempurna dengan gamblang menyatakan bahwa cewek itu sendiri yang memutuskan buat ngebuat diri Jaehyun remuk. Ngerasain rasa sakit dari luka yang seharusnya nyaris sembuh.

Tanpa ngeluarin suara, Jaehyun beranjak. Ninggalin Chaeyeon yang masih bertahan sama ketenangannya. Bertindak santai berlagak ucapannya bukan sesuatu yang besar.

Cowok itu ngeraih satu kaleng minuman alkohol. Ngebuka kaleng itu sampe nimbulin bunyi yang bisa ditangkap telinga Chaeyeon. Ngebiarin cairan coklat bening dengan bau menyengat itu masuk menuhin kerongkongan. Ngebiarin kerongkongannya makin kering karena efek minuman sebelumnya yang belum hilang.

"Kalo ini gimana?"

Jaehyun tau dia menyentuh titik putus asanya. Menyangkal bahwa ucapan Chaeyeon tentang permainan mereka berakhir itu udah jadi keputusan bulat. Sepenuhnya, dia gak bohong bahwa dia gak mau cewek itu hilang. Meskipun kalimatnya tertahan dan kalah sama segenap harga diri yang kesisa. Jaehyun nyatanya memohom di dalam dirinya sendiri. Memohon cewek itu buat bertahan. Lewat tatapan mata mereka yang sekarang beradu.

Dan tubuh Chaeyeon membeku. Pikirannya yang kalut dalam diam ngebuat cewek itu lupa akan satu hal. Fakta bahwa dia selalu berakhir 'iya' dengan hal-hal yang Jaehyun minta.

"Loe mau gue gimana? Berdiri dan nyamperin loe?"

Dua tungkainya kali ini dia lurusin. Selaras sama punggungnya yang tegak. Berpura-pura ngasih Jaehyun pilihan ketika dia tau jawabannya.

"In this situation? You would mad, acted like you care but you weren't. Kasih gue bukti kalo lo mau permainan ini selesai"

Udara yang melingkupi mereka dingin. Mencekam menusuk kulit dan ngebiarin aliran darah keduanya bergerak cepat. Kontras sama detik yang dirasa semakin lambat.

"Ini yang loe mau. Gue bahkan bisa ngeliat loe kesiksa, Jae. Terlebih sama tumpukan teror yang masih dateng nyaris tiap hari. Buat sekedar liat loe sakau dan nyayat pergelangan tangan loe, gue bisa Jaehyun"

Suaranya masih ringan, paling enggak di telinga Jaehyun itu kedengeran ringan. Tapi gak melepas bahwa ada anak panah diujung ucapannya. Ngegores tepat tiap inci tubuh Jaehyun. Gak lupa ninggalin luka yang candu. Candu atas ucapan cewek itu yang selalu dia anggap sebagai perhatian. Ketika pada kenyataan, itu menyiksa Jaehyun lebih dari kekecewaan yang Sooyoung tanam dalam dirinya.

Kaleng di tangannya diremat keras. Nyisain lekuk gak beraturan. Representasi dari gimana gejolak itu memenuhi kepala Jaehyun. Ngebawa tatapan nyalangnya tepat lima senti di depan netra Chaeyeon. Yang berubah kuat tanpa nyisain rasa putus asa itu lagi.

"Sure, this is the ending"



Or not?





.
.
.
.
.












ini lebay tapi aku nyelesain draft ini sambil gemeteran

mau double up karena ya gapapa wkwk, semoga kalian masih nunggu cerita ini ya

tapi, hehe, draft nya tinggal sisa satu di notes ku, hehe

~um's

[2] Heroin ; [chaeyeon]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang