Bab 25 | Hari Pertama

147 13 0
                                    

"Hah? Gagah? Naz, cepet mana cepet selendang lo bawa sini!"

"Maksudnya pashmina?"

"Ya apapun itu namanya cepet bawa sini, Naz!"

Prisa mendadak heboh sendiri ketika melihat keberadaan Gagah dari kejauhan. Langsung menyambar pashmina milik Nazwa lalu dipakainya untuk menutupi kepala.

Di sampingnya ada Mily cuma bisa geleng-geleng kepala. Merasa heran dengan Prisa yang belum bisa menentukan gaya berbusananya hingga detik ini. Masih sering buka tutup jilbab. Nah kalau sudah begini, bertemu Gagah tanpa sengaja jadi kalang kabut sendiri bukan?

Malam Minggu ini Nazwa memutuskan untuk ikut hangout bersama Prisa serta Mily ke mal. Mily baru bisa membelikan ponsel untuk Prisa hari ini setelah selama 2 minggu cewek itu tidak pegang benda pipih itu pasca kena begal. Masih untung cuma ponselnya saja yang diminta bukan mobilnya. Terlebih Prisa tidak diculik lalu penculiknya minta tebusan. Lebih utama lagi untungnya Prisa masih diberikan keselamatan karena begal itu tidak menyakiti Prisa menggunakan pisau yang dibawanya. Mily yang pagi harinya mendengar cerita dari Prisa seketika bergidik ngeri. Sebenarnya sedikit merasa heran kenapa begal itu tidak merampas mobilnya yang notabenenya jika dijual nominal yang didapat jauh lebih besar ketimbang satu unit handphone.

"Assalamu'alaikum. Eh ketemu Nazwa."

Yang menjawab salam hanyalah Nazwa. Mily hanya diam saja sedangkan Prisa sudah membalikkan badannya pura-pura memilih pakaian. Ada rasa cemburu ketika mendapati Gagah pergi berduaan dengan Rahma. Kalau Rahma melihat Prisa saat ini pasti cewek itu akan mengoloknya karena tidak pakai jilbab.

"Kasihan ya jomlo malam Mingguannya jadi sama sesama perempuan."

Tentu Prisa mendengar jelas kalimat sindiran yang keluar dari mulut Rahma. Apa maksudnya? Maksudnya sekarang Rahma dan Gagah sedang kencan begitu? Cuih!

"Pacar lo, Gah?"

"Bukan."

"Iya emang bukan tapi aku tuh calon istrinya."

"Gagah masih sekolah. Jadi belum mikirin nikah kali."

"Ya terserah kalian aja sih. Yuk, Gah!"

Gagah tidak banyak bicara. Mengiyakan ajakan Rahma dan berlalu pergi setelah pamit.

Prisa melirik sebal. Cepat saja menurunkan pashminanya dan mengumpat.

"Mereka pacaran enggak sih, Naz?"

"Setahu Nazwa enggak kok."

"Jangan bohong lo sama gue!"

"Beneran." Nazwa mengangkat dua jarinya. "Dari kelas sepuluh selama kita kenal, Nazwa belum pernah denger Gagah pacaran."

"Santai, Sista." Mily merangkul bahu Prisa. "Cewek barusan enggak ada apa-apanya dibandingin sama lo." Mencoba menenangkan namun memang benar adanya jikalau secara fisik, cewek yang tadi bersama Gagah tidak ada apa-apanya dibandingkan Prisa. Tidak munafik kalau cowok suka sama cewek, yang dilihatnya pertama kali pasti adalah fisik.

Nazwa menganggukkan kepalanya setuju. Ia sudah tahu kalau Prisa punya perasaan khusus terhadap Gagah. Nazwa juga memberi dukungan 100% pada Prisa. Jika Prisa bahagia, Nazwa juga akan turut bahagia.

"Mungkin Prisa akan bosen denger ini," ucap Nazwa membuka obrolan saat ketiga cewek itu memasuki sebuah kafe dan duduk di sana.

Prisa hanya mengangkat sebelah alisnya sebagai tanggapan.

Nazwa berdeham sebelum melanjutkan ucapannya. "Kenapa Prisa masih buka tutup jilbab?" tanyanya. "Maksudnya siapa tahu aja kalau Prisa istiqomah pakai jilbabnya, itu bisa jadi poin plus buat Gagah. Selain itu menutup aurat bagi perempuan itu, 'kan, wajib."

"Uhuk, uhuk, uhuk." Mily terbatuk yang dibuat-buat. Sesungguhnya ia sedikit merasa tertampar.

Untuk kalimat terakhir, Prisa paham. Namun saran dari Nazwa barusan sama sekali tidak pernah terpikirkan oleh Prisa.

"Jadi maksud lo Gagah itu suka sama cewek yang berhijab?"

"Nazwa kurang paham. Tapi bisa jadi begitu."

Prisa manggut-manggut. Toh pada akhirnya Gagah juga sudah tahu kalau di sekolah Prisa punya hobi gonta-ganti seragam. Prisa mulai berpikir, apa jangan-jangan Gagah muak pada tingkah lakunya itu ya? Setelah acara syukuran ulang tahun Gagah waktu itu saja, Prisa merasa jika sikap Gagah berubah padanya. Tadinya cowok itu selalu tersenyum hangat padanya. Dan juga sedikit banyak tadinya masih mau mengobrol serta bercanda padanya.

Namun kini sudah tidak lagi. Gagah berubah entah karena apa. Setiap kali bertemu di ekstrakurikuler rohis saja, Gagah selalu seperti menghindar darinya. Bahkan tadi cowok itu sama sekali tidak menanyakan dirinya pada Mily atau Nazwa. Padahal yang seharusnya terjadi itu Gagah harusnya menanyakan tentang dirinya. Karena cowok itu tahu betul kalau Mily adalah sahabatnya.

Menyebalkan.

Prisa jadi bertanya-tanya. Sebenarnya di mana letak kesalahannya?

Apa karena Prisa yang belum istiqomah dengan jilbabnya sesuai ucapan Gagah malam itu?

Atau karena Gagah sudah punya pacar lantas Rahma melarangnya untuk dekat-dekat dengan cewek lain?

Meskipun kata Nazwa mereka tidak pacaran toh itu juga belum pasti kebenarannya.

Prisa juga baru ingat kalau selama pengamatannya akhir-akhir ini di sekolah, Gagah tidak pernah memakai hadiah sepatu darinya. Padahal sepatu itu bisa dipakai untuk sekolah. Prisa sengaja membelinya agar paling tidak walau tidak setiap hari, Gagah memakai sepatu pemberiannya. Namun harapannya tak seindah yang dibayangkan.

Maka di hari Senin pagi ini Prisa sedang berdiri bercermin di depan kaca yang bisa menampilkan seluruh tubuhnya dari atas hingga bawah. Kemeja lengan putih panjang dan rok abu-abu panjang sudah terbalut pas di tubuhnya. Prisa masih ragu untuk benar-benar memakai seragam panjang ini seharian di sekolah. Kata Nazwa setidaknya Prisa bisa mulai belajar dari pakai seragam sekolah dulu. Baru setelahnya jika Prisa sudah merasa nyaman dengan seragam tertutupnya, pasti seiring berjalannya waktu sedikit demi sedikit Prisa akan merasa lebih nyaman kalau pakai pakaian tertutup.

"Udah deh, Pris, jangan galau mulu!" Mily berdiri di ambang pintu. "Santai aja enggak usah dijadiin beban."

Hanya bicara saja itu mudah. Itu karena dia yang mengatakannya demikian tidak merasakan bagaimana kegamangan hatinya.

"Sini gue bantuin pakai jilbabnya!" Mily mendekat. "Busuk-busuk gini gue juga bisa pakaiin jilbab orang lain," katanya terkekeh mulai menata jilbab putih di atas kepala Prisa.

"Tadaaa ...! Bagus, 'kan, hasil ketrampilan tangan gue?" Mily berdecak kagum.

Prisa sendiri sampai speechless. Rupanya Mily pandai juga dalam bidang ini.

"Belajar di mana lo?"

"Penting banget, Sista? Udahlah yuk turun! Udah laper banget gue."

Prisa mengiyakan namun menyuruh Mily supaya turun saja lebih dulu. Nanti Prisa akan menyusul.

Mulai hari ini Prisa akan mengurangi ketebalan make up-nya. Walau bagaimana make up itu sangat penting untuk menunjang penampilan. Prisa tetap harus sesempurna mungkin.

Mobil mendarat mulus di parkiran sekolah. Masih di dalam mobil, Prisa mendadak nervous. Sedangkan Mily sudah siap-siap untuk keluar.

"Ya ampun ini anak." Mily menghela napas. "Mana Prisa yang gue kenal dengan kecuekannya?"

Prisa masih sibuk berkutat pada cermin kecil yang dibawanya.

"Cuek aja, Prisa, cuek kek biasanya. Astaga."

Mily memutar malas bola matanya dengan gemas.

"Iya-iya bawel."

Cuek.

Cuek.

Cuek.

Prisa terus merapalkan satu kata itu dalam hati. Saat menutup pintu mobil, ponsel di dalam saku kemejanya bergetar.

+628586000....

Pagi Mahkota.

Gue Prisa [Complete]✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang