Bab 19 | Belajar dari Nol

128 14 0
                                    

Kini kehidupan Prisa saat di sekolah bukan hanya guru saja yang pernah memberikan sidang padanya ketika melakukan kesalahan. Namun, orang yang bahkan seumuran dengannya pun detik ini juga sedang memberikan sidang untuk Prisa.

Mufid dan Prisa sedang berada di luar ruang rohis. Sang ketua sedang memberikan nasihat untuk salah satu anggotanya yang pagi tadi sempat khilaf. Ya, Mufid menganggapnya demikian.

Prisa diam tidak ingin banyak bicara. Ia mendengarkan secara saksama semua nasihat Mufid. Benar kata cowok itu, Prisa memang harus belajar mengontrol emosi. Tapi di sisi lain Prisa tidak ingin disalahkan atas tindakannya pagi tadi. Alin dan Finda sudah sangat keterlaluan menurutnya. Dan Prisa memberontak karena tidak ingin diremehkan oleh dua cewek itu. Jika Prisa diam maka mereka akan merasa senang, menang dan terus akan menindasnya.

Prisa harus berani. Prisa tidak boleh kalah. Prisa tidak ingin diremehkan. Prisa akan melawan siapapun yang berani mengusiknya.

"Lo bisa belajar pelan-pelan, Prisa. Karena segala sesuatu emang enggak ada yang instan."

"Oke."

"Apa lo masih mau lanjut ikut organisasi?"

"Iya."

Jelas Prisa masih harus lanjut. Ini awal yang berat tapi Prisa akan coba bertahan demi Gagah.

"Gue harap lo mau belajar sungguh-sungguh ya, Pris. Dan menurut gue dengan lo ikut organisasi rohis ini, itu adalah pilihan yang sangat tepat."

Prisa menganggukkan kepalanya lantas masuk ke dalam ruangan saat Mufid mengakhiri sesi sidangnya. Jantung Prisa mulai berdebar lagi. Ini adalah hari pertama di mana dirinya akan belajar membaca Al-Quran.

Antara laki-laki dan perempuan dipisahkan barisannya. Kelompok ikhwan berada di sisi kanan dan kelompok akhwat berada di sisi kiri.

Prisa menyempatkan ekor matanya untuk melirik Gagah yang terlihat sedang serius mengajari anak kelas 10 belajar baca Al-Quran. Prisa semakin kagum karenanya. Kharisma cowok itu juga semakin bertambah menurutnya saat sedang serius seperti itu.

"Prisa ... halooo ...."

Prisa mengerjapkan matanya beberapa kali berkat lambaian tangan seseorang yang tepat di depan wajahnya.

"Prisa ngelihatin apa sih serius banget?" tanya Nazwa terkekeh lalu mengikuti arah pandang Prisa beberapa detik yang lalu. "Hayo ... Prisa lirik-lirik siapa barusan? Gagah ya ...?"

"Apaan sih, Naz? Sok tahu lo," sanggah Prisa.

"Hehe ... iya-iya. Ya udah kita mulai yuk sekarang!"

Prisa menurunkan pandangannya. Di hadapannya sudah ada sebuah Al-Quran. Prisa dilema. Prisa ingin mengatakan sesuatu pada Nazwa tapi gengsi. Tapi kalau Prisa diam saja itu sama dengan bunuh diri.

"Kenapa harus Al-Quran?"

"Loh emang kenapa, Prisa?"

"Gue enggak bisa."

"Prisa enggak bisa baca Al-Quran?" Prisa mengiyakan. "Oh ... oke-oke." Nazwa manggut-manggut. "Bukan enggak bisa tapi belum bisa," ucapya dengan menekankan kata belum. "Emm ... kalau huruf hijaiyah? Prisa pasti bisa, 'kan?"

"Gue enggak yakin."

Kemudian Nazwa pamit sebentar yang entah mau ke mana. Sedangkan Prisa samar-samar mulai mengingat-ingat dan membayangkan apa saja huruf hijaiyah itu. Bagaimana bentuknya dan apa bunyinya. Prisa menggelengkan kepalanya.

Nazwa kembali dengan sebuah benda di tangannya. "Prisa belajar tajwid dulu deh," katanya. "Ini di dalemnya ada huruf hijaiyah. Prisa belajar dari awal."

Gue Prisa [Complete]✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang