"Ini buat Prisa."
Nazwa mendekati Prisa dengan membawa kotak yang dilapisi kertas kado lalu diserahkannya pada Prisa, yang menerimanya dengan berkerut alis.
"Gue enggak ulang tahun."
"Iya tahu. Tapi Nazwa pengin kasi hadiah aja buat Prisa. Diterima ya?"
"Kok gue enggak?"
Cewek berhijab itu menggaruk kepalanya sambil terkekeh. Ia sama sekali tidak kepikiran untuk memberikan hadiah juga pada Mily.
"Maaf ya, Mily. Lain kali deh."
"Enggak adil lo, Nazwa Shihab."
"Ih ... itu bukan nama lengkap Nazwa."
"Serah gue dong. Yuk ah cabut!"
"Kalian mau ke mana?"
"Urusan orang gede."
Mily menjawab sekenanya kemudian menarik tangan Prisa meninggalkan Nazwa yang memasang muka cengo. Memangnya urusan orang gede itu apa? Perasaan mereka seumuran deh. Nazwa mengedikkan bahunya lalu menghampiri kedua temannya di kursi depan.
Prisa menolehkan kepalanya ke kanan dan ke kiri. Tidak biasanya ia punya rasa takut akan ketahuan jika ingin menyelinap ke tempat di hadapannya itu.
"Woy! Buruan dong, Pris!"
Mily sudah masuk ke dalam. Sekali lagi Prisa memastikan lingkungan sekitar sebelum akhirnya ikut masuk lewat jendela seperti biasanya.
Di depan jendela Prisa mengintip ke luar. Memang jarang yang ada ke ruangan ini. Namun, bisa saja sewaktu-waktu ada yang ke sini. Seperti Gagah dan Roma contohnya. Pak Jaz dan 2 siswa waktu itu juga pernah ke tempat ini meskipun hanya di luar.
"Lo beneran tobat?"
Prisa menengok ke arah Mily yang sudah menikmati sebatang rokoknya. Prisa sendiri tidak tahu apakah dirinya ini sudah termasuk tobat atau belum. Meskipun ikut organisasi rohis, toh Prisa selama ini masih tetap merokok. Pergi ke kelab belum berkurang. Namun Prisa sudah tidak selalu mabuk setiap malamnya seperti biasa. Pakai jilbab kalau akan ikut ekstrakurikuler rohis saja. Dan di hari-hari biasanya seperti hari ini Prisa pakai seragam ketat.
Prisa melangkah pelan menuju meja di mana Mily meletakkan bungkus rokok di sana. Mengambil satu batang adalah pilihannya.
"Jangan paksain kalau semisal lo udah mau berhenti."
Rokok sudah terselip di sepasang bibir Prisa dan pemantik sudah siap dinyalakannya. Mendengar ucapan Mily, Prisa jadi tertegun.
"Gue enggak bakal ngelarang lo karena gue enggak punya hak atas hidup lo, Pris," ucap Mily sebelum kembali menghisap batang nikotinnya dalam-dalam. "Semua terserah lo. Gue cuma bisa dukung."
Belum satu tahun Prisa dan Mily menjadi sahabat. Persamaan pada kebiasaan dan kelakuan keduanya yang membuat mereka cepat akrab. Sama-sama dari orangtua yang broken home, melampiaskan hidup ke dalam hal-hal negatif dengan sengaja. Pergi ke kelab, mabuk-mabukkan dan merokok. Dan tentunya pergaulan mereka sangat bebas.
Perbedaannya hanya pada Mily yang masih menjaga kesuciannya. Tidak seperti Prisa yang kala itu masa bodoh dengan kesuciannya hingga menyerahkannya begitu saja pada pacarnya yang sama sekali tidak ia cintai.
Beberapa kali Prisa dan pacarnya melakukan perbuatan bejat itu hingga Prisa hamil. Prisa tidak mau hamil begitu pun juga dengan pacarnya yang jelas tidak sudi untuk bertanggung jawab. Pada akhirnya aborsi menjadi pilihan mereka.
Penyesalan tidak menghampiri Prisa setelahnya atau mungkin belum, Prisa tidak tahu. Ia sangat tidak menginginkan bayi itu. Prisa benci. Jadi saat Prisa menggugurkannya, ia sama sekali tidak banyak berpikir untuk segera melenyapkannya dari dalam kandungan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Gue Prisa [Complete]✓
Teen FictionGue Prisa. Hidup gue udah rusak sejak SMP. Puncaknya saat gue kelas 10. Gue hamil. Gue benci. Gue aborsi. Dan cuma bisa meringis saat benar-benar merasakan jatuh cinta pada salah satu cowok di sekolah gue, yang sangat-sangat gue sadari bahwa gue eng...