~Happy Reading~
Tara Pov
Keputusan dari Ryzan tidak bisa aku tolak sama sekali, apalagi Isma yang terus-menerus menekan Ryzan untuk menikahiku. Padahal sudah jelas anak ini bukan anak Ryzan. Memang sulit untuk menerima semua kenyataan ini. Namun, inilah yang sudah terjadi, tidak pernah terbayangkan sebelumnya, kenapa aku bisa mengalami kejadian yang sangat memalukan seperti ini.
Sudah berapa kali juga aku mengatakan, aku tidak ingin mereka terjerumus ke dalam permasalahan ini. Bukan hal sepele, yang bisa disangkut pautkan dengan begitu saja, aku takut masalah ini akan menyeretnya ke dalam sebuah permasalahan yang semakin merumit.
Apalagi aku pernah mendengar jika siapa saja yang mencari masalah dengan Leonard, maka ia akan menindasnya tanpa ampun. Itu yang aku cemaskan. Jika pun nanti aku benar-benar menikah dengan Leonard. Entah, bagaimana nasib kedepannya. Aku berharap semesta memihakku.
"Ryzan? Sebaiknya kau tidak usah datang ke sana." Aku berusaha menahan agar Ryzan tidak jadi pergi, tapi sepertinya laki-laki itu sungguh tidak takut sama sekali tentang rumor mengenai Leonard, yang sudah tersebar luas di mana pun.
"Jika aku tidak pergi, bagaimana dengan anakmu? Jika ia masih bersikeras tidak mau tanggung jawab. Jangan sebut dia laki-laki, Tara!" Untuk yang ketiga kalinya Ryzan menyangkal kekhawatiranku.
Jika sudah begini, tak banyak cara yang bisa aku lakukan sekarang. Haruskah aku membiarkan Ryzan menemui pengusaha itu? Atau tetap menahannya, sungguh otakku tidak bisa berpikir.
"Apa yang Tara bilang itu benar, Zan. Jangan gegabah mengambil keputusan, orang-orang Leonard sangatlah banyak, apa kau yakin tetap akan pergi?" Suara Isma terdengar menenangkan, dari nadanya ia tampak mengkhawatirkan Ryzan sama halnya denganku. Tetapi, yang dikhawatirkan begitu keras kepala.
"Aku tidak akan takut, apa yang aku lakukan itu untuk menuntut sebuah keadilan! Tara sudah dilecehkan, Isma. Kita sebagai orang terdekat Tara tidak bisa tinggal diam!" tegasnya. Sepertinya ucapan dariku dan Isma tidak akan merubah pikiran Ryzan.
Ryzan memang laki-laki tegas dan bertanggung jawab, aku bangga mempunyai sahabat seperti Ryzan. Menurutku dia laki-laki yang sempurna. Aku pernah diam-diam menyukainya. Ketika Isma bilang jika Ryzan menyukaiku, hati ini berdebar sangat kencang. Apa mungkin, perasaan itu masih ada?
"Ra, biarkan aku menemui dia. Ini demi kebaikanmu," ucap Ryzan dengan lembut, tatapannya meneduh. Andai, Leo bisa selembut ini.
Aku menunduk, lagi-lagi air mataku lolos. "Aku mohon, Zan! Tidak usah pergi ke sana, ini masalahku. Aku tidak ingin merepotkan kalian. Jika dia tidak menginginkan anak ini, aku akan melahirkan dan membesarkan anak ini semampuku, aku akan pergi dari kota ini."
"Oh, ya? Bisa apa kamu nanti? Aku malah takut nantinya aku akan mendengar sebuah kabar, jika Tara mati karena bunuh diri? Sungguh tidak lucu!" Ryzan terkekeh sinis. Aku hanya diam, mungkin yang Ryzan katakan itu benar, apalagi tadi malam saja aku sudah mencoba melakukan bunuh diri. Aku malu dengan diriku sendiri.
"Bunuh diri?" celetuk Isma. Isma memang tidak mengetahui jika aku mencoba bunuh diri, jadi wajar saja jika ia terkejut. Sebenarnya itu bukan keinginanku. Tetapi, entahlah, semalam pikiranku entah ke mana, rasanya malam itu juga diri ini ingin lenyap dari dunia yang penuh dengan rasa sakit.
"Ya, tadi malam pikiranku kalut, aku tidak bisa mengontrol diriku sendiri," lirihku.
"Tara, aku mengerti jelas posisimu, masalahmu adalah masalahku juga, aku mohon jangan melakukan hal yang bisa membuat dirimu terluka. Semua pasti akan ada jalannya. Percayalah padaku." Isma merangkul tubuhku, bulir air mata mulai lolos dari pelupuk matanya.
Sakit! Sungguh sakit.
"Oke! Begini saja, aku tidak akan pergi menemuinya, begitu pun dengan Tara. Kau tidak perlu lagi datang memohon agar laki-laki itu bertanggung jawab atas kehamilanmu. Aku saja yang akan menikahimu dan bertanggung jawab. Bagaimana, setuju?"
"Aku setuju," timpal Isma.
Aku menggeleng cepat. "Aku tidak!"
"Ayolah, Tara. Apalagi?"
"Ini semua malah akan menimbulkan masalah yang besar, apa kata orang tua Ryzan nantinya? Mereka tidak akan percaya." Alasan inilah yang bisa aku ucapkan sekarang, mungkin bisa sedikit dipahami oleh keduanya.
"Aku bisa membuat mereka percaya jika janin yang ada di perutmu itu adalah anakku."
"Biarkan aku sekali lagi datang menemuinya, jika jawabannya masih sama. Akan kupertimbangkan tawaran Ryzan, sebelumnya aku berterima kasih banyak, dan maaf aku sudah megecewakan kalian."
"Tidak apa-apa, kau tidak usah menyalahkan dirimu sendiri, ini murni bukan kesalahanmu, mau bagaimana pun kau tetap sahabatku." Isma tersenyum tulus kepadaku, dengan senang hati aku membalasnya.
"Baiklah, jika itu keputusanmu. Aku hanya bisa mendoakanmu, semoga keadilan berpihak kepadamu, Araa." Akhirnya Ryzan mengizinkan aku untuk menemui Leo, meski aku masih takut dengan jawaban dari Leo nantinya. Beberapa kali mendapatkan penolakan tidak akan membuatku gentar sedikit pun.
"Melankolisnya udah, ya. Tara, kau harus sarapan bayi dalam perutmu pasti sudah kelaperan." Isma terkekeh. "Zan, pesanin makanan gih!" titah Isma tanpa menerima penolakan dari Ryzan.
Ryzan begitu sigap, lalu laki-laki itu pun memesankan beberapa menu makanan untuk kami. Ryzan sudah seperti kakak bagi kami berdua, apalagi sikapnya yang dewasa siapa saja yang jalan dengannya pasti merasa nyaman dan terjaga.
"Oh, ya, Tara gimana rasanya hamil muda?" Pertanyaan Isma membuatku ingin tertawa, untuk apa ia menanyakannya. Ah, mungkin ia tengah menghiburku agar tak sedih lagi.
"Tidak enak." Aku menggembungkan kedua pipiku memberikan kesan manis dan imut, kata orang sih begitu. Wk!
"Ah, bumilku menggemaskan sekali. Sehat terus ibu dan bayinya." Isma mengelus perutku, tak kusangka aku akan menjadi sosok ibu dengan waktu yang begitu cepat. Rasa senang dan sedih itu hadir di waktu yang bersamaan.
"Pesanan datang!" teriak Ryzan seraya membawa nampan makanan. Suasana berubah menjadi ceria, tidak ada sayup-sayup kesedihan, meski luka itu masih membekas di lubuk hati yang paling dalam.
"Dede bayi, Om Izan udah bawain makanan yang enak untukmu, semoga kau menyukainya," ucap Isma seraya mengelus perutku yang sama sekali belum terlihat.
"Usia segini masih gumpalan darah, Isma."
Isma tersenyum kikuk. Mengundang tawa antara aku dan Ryzan. Bahkan, kini gelak tawa dari Ryzan dan Isma membuatku tersenyum dan ikut tertawa, untung saja kantin masih tampak sepi. Jadi, tidak ada yang menatap aneh ke arah meja kami.
Aku senang disaat aku terpuruk, aku masih mempunyai dua sahabat yang bisa mengembalikan senyumku. Mungkin, inilah keberuntungan terbesarku, semua balik lagi kepada diri sendiri, jika kita masih bisa bersyukur setiap permasalahan hanyalah bumbu dari perjalanan hidup.
Continue.
KAMU SEDANG MEMBACA
Love Me, Please! [Sudah Terbit]
Ficción GeneralPernikahan itu adalah bencana. Menikah dengan seseorang yang memiliki harta berlimpah, ternyata tak menjamin sebuah kebahagiaan. Dia bertahan meski dikecam luka sekali pun. "Jika pun memang hamil, kenapa kau tidak menggugurkannya saja? Apa tarif ya...