~Happy Reading~
Rumah kembali sepi seperti hari yang telah lalu, sudah dua hari Leo tak pulang ke rumah. Entah, di mana ia tidur. Ah, tidak usah mencemaskannya Tara, laki-laki itu pasti memiliki appartemen, jadi lebih baik tak usah memikirkan laki-laki tak berprasaan itu.
"Sudah dua hari Leo nggak pulang, dia tidur di mana, ya, Bi?" tanya Tara, perempuan itu masih sibuk mengupas bawang untuk masaknya pagi ini.
"Tidak usah mencemaskannya. Dia pasti baik-baik saja," ucap Bi Inah menenangkan.
Fyi ... setelah pertengkaran hebat itu Leo pergi dari rumah, tidak mengucapkan sepatah kata pun. Padahal kondisi sang istri sedang tidak baik, apakah ia marah karena Tara lebih memilih pergi dengan Ryzan? Oh, ayolah, Tara tidak akan tahu jika laki-laki itu hanya bungkam.
Tuhan, berikanlah secercah cahaya untuk rumah tangganya. Semakin hari semakin berantakan, hati yang tak bisa menyatu hanya bisa mengundang keributan. Muak? Tentu. Namun, harus bagaimana lagi saat Tara meminta bercerai laki-laki itu menolak mentah-mentah.
"Bi, apakah Tara cerai saja? Tara sudah nggak tahan, hati Tara sudah nggak kuat nerima makian dari Leo."
"Berpikir lagi, Nak. Jangan mengambil keputusan disaat seperti ini, sikap Tuan dari dulu memang seperti itu."
"Sebenarnya apa yang terjadi, Bi? Apakah Leo mempunyai masa lalu yang kelam?"
"Dulu ...."
***
Prang!
Suara barang saling berjatuhan, diikuti suara keributan antara seorang wanita dan juga laki-laki. Namun, di sofa sana terlihat seorang remaja yang tengah menatap kedua orang itu dengan tatapan penuh amarah, ingin rasanya ia melerai. Namun, percuma saja itu tidak akan bisa merubah suasana.
"Sudah berapa pria yang kau kencani, Vita!" teriak seorang laki-laki yang tengah duduk di kursi roda. Ia mengalami kelumpuhan setelah kecelakaan yang menimpanya.
"Ck! Kau tidak perlu tahu, yang jelas aku tidak butuh laki-laki lumpuh yang tak berguna sepertimu!" sengitnya. Wanita itu pergi meninggalkan Davin yang masih setia menahan emosinya.
Tak habis pikir kepada istrinya, berani sekali ia menjalin kasih bersama pria lain. Sedangkan Vita masih berstatus sebagai istrinya. Mungkin, akibat kelumpuhan ini membuat Vita nekad berselingkuh. Karena Davin sudah tidak bisa menghasilkan uang.
Sang anak ─Leo─ tidak bisa berbuat apa-apa. Karena usianya yang masih terbilang sangat muda, ia masih duduk di bangku sekolah menengah pertama. Bukan hal yang mudah untuk mencari pekerjaan diusianya yang masih terbilang sangat muda. Remaja itu menatap lirih kepada sang ayah, laki-laki paruh baya itu yang selalu memberikan perhatian lebih kepadanya.
Peran ibu dan ayah sungguh berbanding terbalik. Vita selalu acuh kepadanya, yang ia pikirkan hanya shopping dan menghabiskan uang, sampai ia lupa posisinya sebagai seorang istri dan juga seorang ibu. Semua waktu hampir ia habiskan di luar. Davin sampai jera untuk memarahinya. Hingga pada akhirnya ia jatuh sakit, dan menghembuskan napas terakhirnya.
Lalu, bagaimana dengan sang ibu? Disaat suasana tengah duka, ia malah pergi bersama pria lain, tak memikirkan anaknya sama sekali, ketika ia pergi Vita hanya mengucapkan beberapa kalimat.
"Mama akan pergi, kamu jaga diri baik-baik."
Tangan Leo mengepal keras, sungguh hina kelakuan bejad sang ibu, bagai wanita yang tak punya harga diri, tidur dan berkencan seenaknya. Bukankah itu sama halnya seperti wanita malam? Sungguh tega menelantarkan anaknya sendiri.
Kini, Leo hanya tinggal bersama pembantunya, untung saja ia berbaik hati masih ingin bekerja di rumahnya, meski Leo sempat kebingungan. Dari mana ia mendapatkan uang untuk membayar pembantunya itu.
"Aku harus bekerja paruh waktu," putusnya.
Sejak kepergian sang ibu, banyak sekali tetangga yang bergunjing. Yah, semua terdengar tentang ibunya. Namun, Leo tak memperdulikan itu semua, karena kenyataannya memang seperti itu.
Tekad Leo semakin kuat, setelah lulus sekolah nanti ia harus bisa menjadi orang sukses seperti apa yang ayahnya katakan dulu. Davin pernah berkata jangan pernah ia membenci ibunya. Namun, sayang kalimat itu tak mampu menggoyahkan egonya.
"Ck! Di mataku semua wanita sama, akan kubalaskan dendam ayah, lihat saja nanti." Leo mengumpat dalam hati.
***
"Apakah Tara menjadi pelampiasan dendamnya, Leo, Bi?"
"Tidak semua begitu. Bibi lihat dari mata suamimu sepertinya ia menyimpan rasa," ucap Bi Inah.
Bi Inah sudah menceritakan semuanya. Memang dari dulu ia sudah menjadi Asisten Rumah Tangga keluarga Joanne. Ah, pantas saja dulu yang dipecat itu Bi Retno dan juga Bi Ratih.
"Semenjak tuan menjadi direktur, sikapnya berubah. Sebenarnya dia bukan orang yang kejam, dulu dia orang yang ramah, selalu berbuat baik, tetapi lambat laun dia berubah, mulai tidak peduli dengan apa yang terjadi di sekitarnya. Karena rasa sakit yang masih melekat itu membuat dirinya menjadi seseorang yang keras, dingin, dan juga senang bermain perempuan," sambungnya.
"Tara, sempat mencari tahu tentang Leo. Namun, Tara tak menemukan berita tentang orang tuanya, makanya Tara tidak mengerti mengapa sikap Leo seperti ini," ujar Tara.
"Ya, sebab tuan tidak mau jika ada orang yang menguak masalalunya. Semua berita itu ditutupi rapat-rapat oleh dirinya. Masa lalu dan sekarang sudah jelas berbeda, begitulah cicitnya."
"Padahal tidak semua wanita seperti itu, mengapa Leo tak pernah membuka hatinya sedikit pun, tidakkah ia merasa iba? Mungkin, sudah ada puluhan wanita yang menjadi pelampias dendamnya," cicit Tara.
"Tuan hanya bermain dengan perempuan yang tak bisa menjaga harga dirinya, banyak wanita yang mendekatinya. Namun, mereka hanya sekedar ingin menjabat posisi Nyonya Joanne, bukan sepenuhnya keinginan suamimu," ucap Bi Inah.
"Lalu, apakah Tara sama seperti mereka, Bi?"
"Di mata tuan mungkin saja. Tapi, penilaian Bibi terhadapmu berbeda, kamu anak yang baik, Nduk."
Ketika keduanya tengah asik berbincang, tanpa mereka sadari Leo sudah berada di rumah sejak tadi, ketika Tara menyadari kehadiran Leo, dengan cepat ia membuatkan Teh hangat untuk suaminya.
Namun, langkah Tara terhenti ketika manik matanya melihat seorang wanita yang tengah duduk di sampingnya, bergelayut manja di lengan Leo, tapi laki-laki itu seperti tidak keberatan. Sungguh menjijikan!
"Ah, itukah wanita yang pernah kau ceritakan? Ck! Kau lebih memilih dia daripada aku, Leo," ucap wanita itu, ia menyadari sosok Tara. Perempuan yang berpakaian sederhana itu menjadi olokan bagi wanita tersebut. Tentu saja, semua itu berbeda jauh dengan dirinya yang memakai pakaian modis.
Wanita itu menghampiri Tara, ia memutari tubuh Tara, sesekali wanita itu membelai rambut hitam pekatnya. Sedangkan Leo hanya menatap aksi wanita tersebut.
"Wanita sesederhana ini, bagaimana bisa ia menjadi istrimu, Leo?" tanyanya. Namun, bukannya mendapatkan belaan, Leo hanya menatapnya acuh seakan ia membiarkan istrinya menjadi bahan olokan.
"Kamu tidak berhak menilai saya seperti itu," ucap Tara, ia mulai geram kepada wanita yang berambut pirang di depannya ini.
"Ck! Wanita rendahan berani angkat bicara?"
"Lebih rendah kamu, mengusik laki-laki yang sudah beristri. Apa kamu tidak pernah berkaca sebelum berucap? Apa kamu tidak mempunyai kaca?" Sindiran pedas dari Tara mampu membuat wanita itu emosi setengah mati. Bagaimana mungkin semua olokan itu berbalik kepadanya.
Gigi yang bergemelatuk dan tangan mulai terangkat seperti ingin menampar. "Kamu!" teriaknya.
"Gabriel!" Suara Leo menghentikan aksi wanita tersebut. Tangan putih itu hampir saja mendarat di pipi mulus Tara. Namun, sayang ucapan Leo mengurungkan niatnya.
Deg!
'Gabriel? Bukankah itu nama perempuan yang mengangkat telepon dariku malam itu?' batin Tara bertanya.
Continue.
KAMU SEDANG MEMBACA
Love Me, Please! [Sudah Terbit]
Ficción GeneralPernikahan itu adalah bencana. Menikah dengan seseorang yang memiliki harta berlimpah, ternyata tak menjamin sebuah kebahagiaan. Dia bertahan meski dikecam luka sekali pun. "Jika pun memang hamil, kenapa kau tidak menggugurkannya saja? Apa tarif ya...