~Happy Reading~Jika mimpi lebih indah, mengapa harus ada kenyataan?
- Tara Charlene
Aku pergi dari rumah Leo tanpa sepengetahuan laki-laki itu. Hari ini Isma mengajakku untuk bertemu begitu pun dengan Ryzan. Mungkin, mereka akan menanyakan apa yang terjadi soal kemarin.
Memang Isma dan Ryzan tidak mengetahui jika hari ini adalah hari pernikahan aku dengan Leo. Mungkin jika mereka tahu, mereka akan kecewa. Namun, bagaimana lagi, pernikahan ini begitu mendadak, bahkan aku sendiri tidak tahu, jika pernikahan akan dilangsungkan secepat ini.
Rasanya ingin berteriak sekencang mungkin. Rasa sakit yang bertubi-tubi terus Leo berikan kepadaku. Entah, bagaimana nasibku untuk kedepannya. Entah, kuat atau tidak, diri ini hanya bisa pasrah.
Mungkin di antara semua kejadian ini, tidak ada yang aku sesalkan. Kecuali diriku sendiri, begitu bodohnya aku percaya begitu saja kepada kak Yvonne. Yang entah di mana ia berada sekarang. Sejak awal mengetahui kehamilan ini, matahari terbit pun terasa sia-sia bagiku. Aku ingin pagi, pagi yang mengatakan jika semua ini hanya mimpi.
Aku hanya perempuan lemah, yang menginginkan kehidupanku kembali seperti dulu, jauh sebelum aku mengenal Leo. Kini, setiap harinya selalu saja di temani deraian air mata yang tiada henti.
Adakah sepercik cahaya untukku? Untuk kembali tersenyum, sungguh diri ini merindukan senyum yang tulus bukan senyum kepedihan. Dunia terlalu ramai untuk aku yang seorang diri. Dunia terlalu gelap untuk aku yang tidak mempunyai secercah cahaya, dan dunia terlalu keras untuk jiwa yang selemah diriku.
[Isma, aku sudah berada di caffe, kau masih di mana?]
Itulah pesan yang aku kirimkan, seraya menunggu Isma dan Ryzan. Aku memutuskan untuk memesan terlebih dahulu, mungkin Isma dan Ryzan masih di perjalanan, pikirku.
Tidak butuh waktu lama ternyata Isma dan Ryzan sudah berada di caffe, mereka segera menghampiriku. "Sudah lama?" tanya Ryzan seraya mendaratkan bokongnya di kursi begitu pun dengan Isma.
"Tidak, aku juga baru sampai sekitar lima menit yang lalu," ucapku.
"Tara, kau habis menangis, ya?" tanya Isma, mungkin Isma menyadari jika mataku sembab.
"Apa yang terjadi denganmu, apa laki-laki itu bersikerras tidak mau tanggung jawab?" timpal Ryzan.
"Tidak." Aku menyangkalnya, "Aku baik-baik saja." Hatiku sakit jika harus berbohong seperti ini. Namun, ini adalah jalan yang harus kulalui, pahit manis telan sendiri.
"Apa yang kau pikirkan, Tara? Semakin hari tubuhmu semakin kurus, jangan terlalu diambil pusing."
"Kau benar, Isma. Aku tidak boleh seperti ini."
"Benar, Tara. Selain tubuhmu kurus, ini juga tidak baik untuk bayi yang ada di dalam perutmu." Ryzan bersuara. Mereka begitu mengkhawatirkan keadaanku, sedangkan aku tidak bisa berpikir sejauh itu. Ibu macam apa aku ini.
Aku hanya mengangguk seraya tersenyum, harusnya tidak ada yang perlu aku tangisi lagi bukan? Leo sudah bertanggung jawab, harusnya aku senang, meski sikap dan ucapan Leo selalu menyakiti. Tapi, itu semua perlahan bisa berubah bukan.
"Oh, ya, bagaimana kemarin? Aku penasaran," ucap Isma.
"Em, kalian pesan saja dulu. Nanti aku ceritakan,"
***
"Aku sudah menikah," ujarku, setelah mereka berdua selesai memesan.
"Uhuk ... uhuk ...." Isma tersedak, sepertinya ia kaget dengan pernyataanku, sedangkan Ryzan malah menatapku tak percaya.
"Kapan?" tanya Isma.
"Tadi pagi." Aku berusaha menahan tangis yang sepertinya akan lolos sebentar lagi.
"Kenapa kau tidak memberi tahu kami?" timpal Ryzan.
Mataku mulai memerah, air mata sudah berlinang, sekali saja aku berkedip air mataku akan lolos. Betapa pecundangnya diriku. "Tidak usah menangis, Tara. Ceritalah."
"Kamarin ketika aku datang ke rumahnya, Leo bersedia menikahiku, tapi dengan satu syarat."
"Apa itu?" tanya Ryzan.
"Dia tidak mau publik tahu, di matanya aku hanyalah wanita murahan, yang sering berkencan dengan laki-laki hidung belang."
"Keterlaluan, kenapa kau mau, Tara!" sentak Ryzan sepertinya ia mulai emosi kembali.
"A ... aku, hanya ingin Leo yang bertanggung jawab, Zan. Aku tidak mau jika aku harus menyeretmu ke dalam masalah yang sama sekali tidak pernah kamu buat." Aku berucap lirih.
"Tapi, apa kau yakin dengan keputusan ini?"
"Yakin tidak yakin, ini semua sudah terlanjur, Isma."
"Kau bodoh, Tara!"
"YA! AKU MEMANG BODOH, ZAN. BODOH SEKALI!" Aku berteriak bersama isak tangisku.
"APA KAMU TAHU, BETAPA SULITNYA MENJADI AKU? Bahkan, tidak sama sekali." Aku memelankan kalimat terakhir. Entah, apa yang ada dipikirannya, mengapa Ryzan bisa mengatakan kalimat seperti itu, jika posisi ini menimpanya mungkin dia akan melakukan hal serupa seperti apa yang aku lakukan.
"Sudah cukup, tidak seharusnya kalian berdebat seperti ini," lerai Isma.
"Zan. Tolong hargai keputusan, Tara. Mungkin keputusan ini memang yang terbaik untuknya," sambungnya lagi. Ya, hanya Ismalah yang begitu paham tentang keadaanku, mungkin sama-sama wanita jadi tau apa yang harus dilakukannya.
"Terbaik? Tidakkah kau lihat wanita di sebelahmu? Ck! Begitu menyedihkan," ujar Ryzan.
Aku hanya bisa menangis, tidak Ryzan, tidak Leo. Semua ucapannya begitu menyakitkan. "Cukup, Zan. Kamu tidak perlu memakiku seperti ini, jika tidak suka, kau boleh pergi, tinggalkan aku dan Isma," tangisku pecah.
Ryzan pun berlalu pergi, terlihat jelas ia begitu kecewa terhadapku, apakah perkataanku begitu menyakiti hatinya?
Tangan Isma pun membawaku jatuh dalam pelukannya, aku menangis kembali menumpahkan segala kesakitan ini. Aku tidak takut air mataku kering, meskipun air mata darah sekali pun.
"Isma, apa hidupku, semenyedihkan ini?" ucapku. Isma menggeleng,
"Tidak, banyak wanita yang nasibnya lebih buruk darimu. Kuatlah."
Continue.
KAMU SEDANG MEMBACA
Love Me, Please! [Sudah Terbit]
General FictionPernikahan itu adalah bencana. Menikah dengan seseorang yang memiliki harta berlimpah, ternyata tak menjamin sebuah kebahagiaan. Dia bertahan meski dikecam luka sekali pun. "Jika pun memang hamil, kenapa kau tidak menggugurkannya saja? Apa tarif ya...