~Happy Reading~
Tertidur lemah, itu memang membosankan, apalagi ketika Tara hendak bangun, laki-laki yang notabenenya suaminya itu terus saja melarang. Terkadang dia bisa begitu perhatian, bisa juga acuh dan menunjukan rasa ketidak pedulinnya.
Apakah dia masih punya rasa simpati, meski itu hanya secuil. Namun, harus Leo ketahui perempuan itu tak mengharapkan dikasihani, dia mengharapkan kau membalas perasaannya sebelum semua itu hilang.
Sikap Leo masih menjadi teka-teki. Untuk perhatian kali ini, bolehkah ia simpulkan jika suaminya telah jatuh cinta? Atau haruskah ia membuang jauh-jauh pikiran itu? Oh, ayolah, Tara butuh jawaban atas kegelisahan hatinya.
Kini, tampak Leo tengah duduk santai di ruang tamu, laki-laki itu sengaja pulang diwaktu jam kerjanya, tidak ada alasan untuk memerahinya. Sebab, dialah direktur dari perusahannya. Yaitu, Goza. Dia bisa menghandle semua pekerjaan, atau mungkin ia percayakan kepada sekretarisnya.
Tara memaksakan keluar dari kamar, tubuhnya memang masih sedikit lemas. Namun, jika hanya berbaring saja tubuhnya akan semakin kaku. Kini, Tara berjalan menuju dapur, tidak terlihat Bi Inah di sana. Ah, mungkin dia tengah beristirahat.
Setelah Tara selesai mengambil segelas air minum, netranya tak sengaja melihat Leo, yang tengah membaca koran seraya menikmati segelas kopi, padahal cuaca tengah panas. Apakah meminum kopi dicuaca yang terik itu enak? Hm.
"Boleh aku duduk?" cicit Tara. Leo menatap dengan tatapan dingin yang sulit diartikan, apa mungkin kehadiran Tara mengganggu waktunya?
Sayang, Leo tak bersuara. Setelah menatap ia kembali fokus membaca koran tersebut, Tara bergeming. Dengan gugup ia duduk di samping Leo.
'Shit! Aku sudah mengingatkan untuk tidak keluar kamar, wanita ini!' pekik Leo dalam hati.
"Bolehkah aku bertanya?"
"Apa?" jawabnya dingin.
"Ada hubungan apa kau dengan kakakku?"
"Pentingkah aku untuk menjawabnya?"
"Ti─tidak juga, tapi aku hanya ingin tahu, sejauh mana hubunganmu dengannya?"
"Sejauh apa pun itu, tidak ada urusannya denganmu," ucapnya.
"Kau marah padaku?"
"Marah? Aku tidak punya alasan untuk marah padamu."
"Soal Ryzan, soal gosip pagi ini?"
"Bukan urusanku. Kau ingin berkencan dengan siapa pun aku tidak peduli, jika pun aku cemburu, itu adalah hal terbodoh, mengapa aku jatuh cinta kepada wanita murahan sepertimu."
"Untuk masalah gosip itu, aku bisa menanganinya sendiri." Suara Leo terdengar begitu berat. Namun, tidak untuk Tara, suara itu bak seribu pisau yang menancap tepat di hatinya. Sakit dan perih.
"Leo? Kenapa lagi?" Tara menangis di hadapan Leo, tangannya berhasil menahan lengan Leo. Jujur, ia sangat terkejut ketika Leo kembali mengeluarka kata-kata tajamnya.
"Jangan menangis di hadapanku." Leo berusaha melepaskan pegangan Tara.
"Aku tahu aku yang salah. Kau marah padaku karena publik memberitakan kau dan aku, 'kan? Maaf, Leo."
'Bukan itu, Tara. Bukan!' batin Leo.
"Apa mungkin kau cemburu kepada Ryzan?"
"Tidak sama sekali." Leo menarik lengannya dengan kasar.
"Jika kau tidak cemburu, untuk apa kau menahan tanganku di depan banyak orang? Padahal kau tahu akibatnya, reputasimu akan hancur." Suara Tara mampu memberhentikan langkah Leo, laki-laki itu mendekat, semakin mendekat.
"Sejak kapan kau menjadi cenayang? Tentang perasaanku cukup aku yang tahu, tentang reputasiku tidak perlu kau cemasi, yang harus kau cemasi adalah masa depanmu. Kau yang akan hancur, hancur selebur-leburnya," ucap Leo dengan sengit.
'Leo bodoh! Dengan seperti ini kau malah menyakitinya. Dasar pecundang! Mati saja kau!'
Gemetar, tangis berderai-derai deras. Betapa menyakitkannya perkataan Leo. Tanpa bisa Leo bayangkan seberapa perihnya hati Tara. Tega-teganya ia berkata sedemikian.
Apa maksud laki-laki tersebut? Dia kembali seperti dulu. Jika sudah mendapatkan ancaman seperti ini, bukankah itu hal yang sulit untuk mendapatkan hatinya? Sudah tidak ada harapan lagi, sepertinya bercerai jauh lebih baik.
Kini, perasaan Tara bak layang-layang, terus-menerus ditarik ulur tiada henti. Jika, selalu seperti ini, mengapa laki-laki itu tak memilih memutuskan talinya saja, biarkan ia terbang kemana angin membawanya. Itu akan jauh lebih baik, bukan?
"Mungkin dugaanku benar, kau memang bersekongkol dengan kakakku, dengan tujuan untuk menghancurkanku!" pekik Tara, emosi dan rasa sedihnya, tak mampu lagi ia bendung. Ingin rasanya ia meluapkan semua emosinya. Namun, itu semua hanya akan memperburuk janinnya.
"Jika kau mau anak ini bertahan, mengapa perkataanmu selalu menusuk hatiku, kenapa Leo, kenapa?!" Tangisnya pecah. Tanpa menoleh sedikit pun Leo masih berjalan santai menuju ruang kerjanya.
"Tidak bisakah kau merasa empati, hidupku sudah terlalu menyedihkan, dijual bak pelacur, hidup sebatang kara, disaat aku ingin fokus menata masa depan. Kau malah merenggut kesucianku, Leo. Hati nuranimu di mana?" Suara Tara kian melirih, tubuhnya ambruk dilantai dingin.
"CUKUP!" teriak Leo dengan lantang.
"Tidak perlu bersikap menyedihkan seperti itu, bukankah kau yang bersekongkol dengan kakakmu? Agar kau bisa memasuki keluarga Joanne? Bukankah begitu?!"
Tara menggeleng lemas. "Demi Tuhan, aku tidak mempunyai pikiran seperti itu, untuk apa aku memasuki keluarga yang tak mempunyai hati sama sekali," ucapnya.
'Tara, kau benar-benar membuatku murka!' batin Leo.
"Pergi dari hadapanku!" usir Leo.
"Maaf, Tuan. Kasian, Non Tara. Jika seperti ini kandungannya akan semakin melemah," lerai Bi Inah yang baru saja datang.
"Biarkan, Bi. Mungkin laki-laki itu yang ingin membunuh anaknya sendiri. Bukan hal yang menyedihkan jika aku kehilangan anak ini, melainkan ini adalah celah agar aku terbebas dari cengkraman manusia tak berhati, seperti dia!" ucap Tara dengan sengit.
Ucapan tersakit yang keluar dari mulutnya, mana mungkin ia tidak bersedih ketika kehilangan anaknya sendiri. Namun, sikap Leo harus benar-benar diberi pelajaran.
"Argggh! Bawa dia ke kamarnya," putus Leo kepada Bi Inah. Meskipun Leo belum mencintai sepenuhnya. Namun, ia tidak bisa membunuh anaknya sendiri. Ya, meski terkadang Leo masih meragukan anak siapa yang Tara kandung.
***
Senja itu Tara terisak di pangkuan Bi Inah, lagi-lagi ia mengeluh tentang sikap Leo. Sakit. Benar kata orang, luka hati memang lebih perih dari luka tubuh di luar. Kini, ia tumpahkah segala sesak di dada, kecewa dan marah kini beradu menjadi satu. Tangan yang sedikit kasar membelai lembut rambutnya. "Sabar, Nduk. Bibi tahu perasaamu," ucap Bi Inah bermaksud menenangkannya.
Tara menatap Bi Inah dengan sembap. Namun, wanita paruh baya itu membalas tersenyum menenangkan. "Tidak bisakah dia bersikap lembut, Bi? Aku dirundung sedih, tanpa ada secuil rasa iba darinya. Apakah Tara seburuk itu?" lirihnya.
Tragis!
Padahal perempuan itu selalu bersikap layaknya seorang istri. Namun, sekali saja Tara berbuat salah, perkataan mau pun sikapnya akan lebih menusuk hatinya, tanpa berintropeksi siapa yang salah sebenarnya.
"Rumah tangga Tara penuh dengan segala kesalahpahaman. Kalau tidak diluruskan semua tidak akan membaik dengan sendirinya. Tara terlalu capek, Bi. Tara kira Leo sudah mencintai Tara, tetapi kenyataannya tidak begitu."
"Nduk, belajarlah lebih sabar lagi, jadilah wanita yang lebih kuat lagi, Bibi percaya kamu bisa, Nak," tutur Bi Inah seraya menepuk pelan puncak kepalanya. Tara membalasnya hanya dengan secuil senyuman.
'Aku tidak bisa sekuat itu, Bi. Aku terlalu lemah menghadapi kerasnya sikap Leo,' batin Tara.
Continue.
KAMU SEDANG MEMBACA
Love Me, Please! [Sudah Terbit]
Ficção GeralPernikahan itu adalah bencana. Menikah dengan seseorang yang memiliki harta berlimpah, ternyata tak menjamin sebuah kebahagiaan. Dia bertahan meski dikecam luka sekali pun. "Jika pun memang hamil, kenapa kau tidak menggugurkannya saja? Apa tarif ya...