~Happy Reading~
Aku tahu, semua akan berubah seiring berjalannya waktu.
Dua hari berlalu, semenjak kejadian itu tak ada tegur sapa di antara keduanya. Tidak Leo, tidak Tara, keduanya tidak ada yang memulai pembicaraan. Entah, apa yang dua sejoli ini inginkan, mereka begitu mengutamakan keegoisan. Terlihat sangat canggung, bukan?
Hati Tara sempat tersentuh, ketika ia melihat tangan suaminya dibungkus perban. Mungkin itu akibat ulahnya sendiri yang memukul tembok kamarnya, seemosi apa dirinya waktu itu? Bahkan Tara sendiri tak melihat seulas senyuman dari Leo waktu itu, padahal seharusnya bisa membuatnya senang.
Kini, hanya suara dentuman sendok dan garpu yang terdengar, mereka masih diam tanpa suara. Apalagi Leo, dia terlihat sangat dingin. Aura darinya itu yang membuat Tara enggan membuka suaranya. Namun, harus sampai kapan mereka seperti ini.
Tara masih teguh dengan pendiriannya, ia tetap ingin berpisah dengan Leo, tetapi entah untuk laki-laki itu. Puing-puing cinta memang sudah tersusun untuk Leo. Namun, Tara tidak begitu kuat untuk menghadapi sikap Leo yang bisa saja setiap hari menyakitinya.
Tara menatap wajah Leo dengan hati-hati, jaga-jaga takut dia tahu jika dirinya tengah memperhatikan suaminya itu. "Kenapa? Kau masih kukuh ingin bercerai denganku?" Leo bersuara, Tara yang tengah fokus menatapnya itu tersentak kaget.
"Tidak tahu. Ah, mungkin iya."
"Bicara yang benar, Tara!"
"Iyaa. Aku ingin cerai."
Pranggg!
Suara sendok dan garpu itu lagi-lagi membuat Tara tersentak kaget. Pasalnya Leo menaruhnya dengan emosi yang kembali menggebu. "Apakah tidak ada kalimat yang terdengar indah di telingaku?" Leo menatap tajam kepada sang istri yang masih setia menundukan kepalanya.
"TATAP AKU, TARA!" sentaknya.
"Kau bertanya, ya, aku jawab. Kau tidak perlu semarah itu."
Suara Leo terdengar nyaring di sudut ruangan, beberapa pekerjanya pun sebagian mendengarnya. Tubuh jangkung Leo kini beranjak dari kursinya, ia berdiri dengan netra yang masih menatap istrinya.
"Haissh, kau membuatku darah tinggi!"
"Dari kecil aku tidak pernah dikasari mau pun dibentak. Tapi setelah menikah denganmu aku dapat merasakan itu semua. Laki-laki yang seharusnya menjagaku malah membuatku ketakutan. Aku tidak pernah menginginkan posisi seperti ini, aku merasa tertekan tinggal bersamamu. Bahkan, untuk bernapas juga terasa sesak. Ini adalah kesalahanku mengapa dulu aku meminta kau untuk menikahiku, jika tau akan seperti ini, lebih baik aku gugurkan saja anak ini. Seperti yang kamu ucapkan dulu!" Air mata Tara lolos lagi dan lagi.
"Bagaimana kau senang, bukan?"
"CUKUP!"
"Lalu, untuk yang terakhir kalinya aku memohon padamu, jika kamu tidak bisa mencintaiku. Tolong, ceraikan aku!"
"AKU BILANG CUKUP! JANGAN BICARA LAGI!"
"Selama ini aku selalu bungkam dan tidak banyak bicara ketika kau menindasku, menghinaku. Aku hanya diam, karena percuma saja kau bukan lawanku."
"Aku selalu sabar, menyikapi semua perlakuan burukmu. Tapi, aku hanya manusia biasa yang bisa merasa lelah, Leo. Aku perempuan yang punya hati, kau tau bagaimana rasanya mengkhawatirkan seseorang? Namun, orang yang kau khawatirkan sama sekali tak peduli akan hal itu, apakah kau tahu?"
"Bahkan tidak sama sekali. Kau tidak akan pernah merasakannya, hatimu terlalu beku. Seharusnya aku tidak jatuh cinta kepada laki-laki sepertimu!"
Tara terus-terusan menyerang Leo dengan semua kata-katanya. Hingga Leo tak mampu bersuara. Semua perkataan Tara begitu menohok hatinya. Leo hanya berdiri tegak dengan pandangan yang masih tertuju kepada Tara, sedangkan Tara masih setia duduk di kursinya.
Tara pun mulai beranjak, hatinya cukup puas karena sudah mengeluarkan semua keluh kesahnya. "Kau akan merasakan itu semua, ketika hatimu mulai merasakan cinta. Brengsek!" Tara memelankan kalimat terakhirnya. Dia berlalu pergi meninggalkan Leo tanpa pamit.
"Terima kasih sudah mendengarkanku." Leo memijit pelipisnya. Ia tidak busa melepaskan Tara begitu saja.
***
Entah, ke mana langkahnya berjalan, setelah ia berhasil keluar dari rumah tersebut. Niatnya hanya ingin menenangkan pikiran saja. Ditambah suasana masih pagi ia bisa sekalian olahraga, untuk menyegarkan tubuh, pikiran, dan juga hatinya.
"Maaf, mungkin aku istri durhaka yang berani melawan suaminya," ucap Tara di sepanjang jalan. Ia terus mengayunkan kakinya menuju arah taman yang tak jauh dari rumah Leo. Dengan perut yang kini sudah terlihat membesar Tara pun duduk di kursi taman itu.
'Itu bukannya Tara? Pantas dia tak pernah masuk kuliah, ternyata dia hamil.'
'Gak nyangka, ya, padahal Tara terlihat polos banget. Tiba-tiba sekarang udah hamil gede aja.'
'Pasti hamil duluan, secara kalo dia nikah pasti nyebar undangan.'
'Ssst! Kalian ini jangan soudzon. Ah!'
Niat ingin menenangkan pikiran sirna sudah. Ketika ada beberapa orang yang memekik menyebut namanya, celotehan itu mampu membuat Tara kesal bukan main. Ya, ucapan mereka memang benar, apakah perlu mereka berbisik tepat di depan orangnya?
Namun, haruskah ia berkata jika ini semua bukan kesalahannya? Percuma. Itu semua tidak akan membuat semua orang percaya. Loloslah sudah air matanya. Tara benci dirinya yang seperti ini. Lemah dan mudah menangis. Sungguh ia membenci kehidupan yang tak adil ini.
Tara pun memutuskan untuk pulang, bukan ketenangan yang ia dapat. Namun, hinaan yang menyayat hatinya. "Semua orang memang kejam! Punya mulut hanya digunakan untuk mencemoohi orang lain," gerutu Tara.
"Tidak seharusnya aku keluar rumah jika akan seperti ini," ucap Tara seraya menyeka air matanya.
Tara memutuskan untuk pulang saja. Berolahraga dengan suasana hati yang buruk itu tidak baik. Ketika ia memasuki rumahnya, Tara tak sengaja menabrak pelan tubuh Leo. "Bodoh! Jalan saja tidak bisa," ucap Leo yang baru saja akan berangkat kerja.
"Suruh siapa, kau muncul dengan tiba-tiba."
"Hobimu menangis, Tara?"
"Berisik!" balas Tara singkat. Tanpa ia sadari Leo tengah berusaha menghiburnya. Namun, Tara hanya fokus melangkah menuju kamarnya. Tak peduli akan hal itu.
Leo sempat mengernyitkan dahinya heran, kenapa wanita itu kembali menangis, padahal sebelum pergi ia tak berkata sepatah pun. Rasa khawatir pun melanda hatinya, dengan segera Leo menyusul sang istri dan memutuskan untuk tidak jadi berangkat ke kantornya.
"Kau menangis lagi?" tanya Leo lembut.
"Bukan urusanmu!"
Ingin rasanya Leo marah. Namun, itu hanya akan memperkeruh suasana, ia berjalan mendekati Tara. Lalu, duduk di sampingnya "Tara?" ucap Leo lembut. Dia berhasil mengontrol emosi dan rasa tak pedulinya.
"Bicaralah." Lagi-lagi Leo berucap lembut.
Continue.
KAMU SEDANG MEMBACA
Love Me, Please! [Sudah Terbit]
Ficción GeneralPernikahan itu adalah bencana. Menikah dengan seseorang yang memiliki harta berlimpah, ternyata tak menjamin sebuah kebahagiaan. Dia bertahan meski dikecam luka sekali pun. "Jika pun memang hamil, kenapa kau tidak menggugurkannya saja? Apa tarif ya...