~Happy Reading~
"Tenang, Tara. Semua telah kembali, kau bebas. Tidak perlu takut untuk melakukan sesuatu lagi, semua akan membaik, jauh lebih membaik." Tara terus menerus menenangkan hati sekaligus pikirannya. Bersama tangan mungil yang menyeret koper yang berukuran sedang, menjauh semakin menjauh dari pekarangan rumah yang Tara anggap bak neraka itu.
Berat, ketika harus melangkah pergi, apalagi Bi Inah yang terus menahannya, sepertinya ia begitu menyayangkan kepergian Tara. Namun, harus bagaimana lagi? Ia harus pergi demi hidupnya. Sebab, waktu terus berjalan. Tidak mungkin ia bertahan dalam lembah penderitaan secara terus-menerus.
"Pergi sakit, bertahan jauh lebih sakit," lirihnya. Sepanjang perjalanan ia terus-menerus bergumam. Menyalahkan dirinya sendiri, karena ia merasa telah gagal menjadi seorang istri. Seharusnya ia bisa bersabar sedikit lagi. Namun, semua sudah terlanjur, dirinya tinggal menunggu surat cerai dari pengadilan.
Perceraian adalah hal yang dibenci Allah. Namun, apakah seorang istri tidak berhak bahagia? Memang benar apa kata Ryzan. Tidak akan ada seorang suami yang tega menyakiti istrinya, apalagi dia menginginkan sang istri hancur.
Tara menyeka air matanya dengan kasar, kembali meneguhkan pendiriannya. Jika, semua permasalahan ini bukan sepenuhnya salah dirinya. Namun, ada beberapa hal, termasuk takdir yang mengharuskannya seperti ini.
"Sudahlah, Tara. Kau pasti bisa melupakan pria itu," ucapnya kepada diri sendiri.
Ya, Tara yakin. Lambat-laun ia pasti bisa melupakannya. Melupakan semua yang telah menimpa kepada dirinya. Semoga setelah perceraian ini hidupnya kembali seperti dulu, meski kini ia harus menanggung kepedihan seorang diri.
Setelah menempuh perjalanan yang cukup jauh. Kini, Tara sudah berada tepat di depan rumahnya dulu, ia menatap sekeliling, tidak ada perubahan sama sekali. Tetap sepi dan kelam. Tanpa ia sadari air mata mulai menerobos dinding pertahanannya.
"Aku kembali, sama seperti dulu. Masih sendiri dan masih setia bersama kegelapan ini." Ia tersenyum kecut. Semenjak kepergian orang tuanya, hidupnya semakin sepi, kelam, dan menyedihkan. Lebih-lebih ketika kesuciannya direnggut begitu saja.
Kini, kaki jenjangnya mulai melangkah masuk ke dalam rumah. Lalu, ia menyenderkan tubuhnya di atas sofa, untung saja kemarin sempat dibersihkan, jadi, tidak terlalu kotor, pikirnya.
"Sunyi-senyap, hanya sayup-sayup angin yang terdengar, ck! Sama seperti hidupku selalu sepi dirundung kesedihan," ucapnya.
"Tapi sekarang aku punya kamu. Sehat selalu, Nak. Temani Mama nanti, agar Mama tidak merasa kesepian lagi, Sayang." Tara mengelus perutnya yang semakin membesar. Banyak tetangga yang bergunjing tentang dirinya. Tentang kehamilannya.
Mereka berbisik antara satu dengan yang lainnya. Entah, bisikan apa itu, yang jelas ia dapat mendengar obloran mereka. Mereka bilang Tara bekerja sebagai kupu-kupu malam, makanya ia bisa hamil seperti itu, apalagi semenjak ditinggal sang ayah karena bangkrut, membuat tetangganya semakin yakin.
Miris! Mereka tidak tahu yang sebenarnya, sampai tega hati mereka memfitnah dirinya. Padahal ia bermukim di kompleks yang katanya aman dan damai. Rupanya hal itu tidak menjamin kehidupan yang tenteram.
Tapi, Tara berusaha bodo amat, toh semua sudah kejadian, mungkin bualan dari mulut tetangga akan menjadi santapan setiap hari, percuma saja jika ia membuka mulut. Lalu, mengatakan yang sebenarnya, mereka tidak akan percaya. Biarkan saja sesuka hati untuk bergosip ria. Sebab, Tara hanya mempunyai dua tangan, tidak cukup untuk menyumbat mulut mereka semua, lebih baik ia gunakan saja untuk menutup kedua telinganya.
Tara berusaha memejamkan matanya, tubuhnya terasa sangat lelah, apalagi pikiran dengan hatinya yang selama ini membuat tubuhnya menjadi kurus. Sungguh lelah bergelut dengan takdir yang menurutnya tidaklah indah, beberapa menit kemudian pun Tara berhasil pergi ke alam bawah sadarnya.
***
"Sudah berapa gelas yang kau teguk, Leo?" tanya Galih cemas. Tidak seperti biasanya ia minum sebanyak ini.
Seberat apa pekerjaannya hari ini? Hingga membuat Leo kuat untuk minum. Ya, setahu Galih ... Leo akan mengajaknya pergi ke club, jika dirinya sudah suntuk dengan semua pekerjaanya. Bahkan, sebelum pergi, Leo pasti menjelaskan apa yang membuat dirinya ingin pergi ke club.
Namun, hari ini ia begitu aneh, menelpon Galih, lalu menyuruhnya untuk menyusul dirinya ke club. Saat Galih tiba, Leo sudah dalam keadaan mabuk parah. Bartender bilang Leo sudah minum hampir dua botol sekaligus.
"Ada masalah apa?" Galih bersuara kembali.
"Tidak ada," sangkalnya. Leo kembali menyodorkan gelas kosongnya, meminta untuk diisi kembali. Setelah diisi ia langsung meneguknya dengan sekali tegukan. Galih menatap lamat-lamat. Leo tampak lesu, begitu pun dengan pakaiannya yang berantakan.
Saat Leo akan melakukan hal yang serupa. Galih menepisnya dengan kasar. "Apakah kau sudah gila!" pekiknya. Sejauh ini Leo tidak akan berani meminum sebanyak itu, paling ia hanya minum beberapa gelas. Lalu, Leo akan menyuruh Galih untuk memboking satu wanita untuk menemaninya, tentu saja Galih sangat paham dan memaklumi itu semua.
Tapi, berbeda dengan sekarang, Leo malah mabuk parah untuk yang pertama kalinya. Sebab, Galih tahu, semenjak ia menikahi Tara, Leo sudah hampir jarang pergi ke club, meskipun itu hanya sekedar minum.
Aneh! Padahal Leo mempunyai kepribadian yang buruk. Tapi entah mengapa ia bisa menjaga imagenya sebagai direktur utama.
"Wanita memang sama!"
"Aku punya banyak uang! Apa yang tak bisa aku dapatkan? Iya, 'kan, Galih? Ck! Dasar perempuan tidak tau diuntung!" racau Leo tak jelas.
"Kau minum terlalu banyak, Leo. Aku antar kau pulang."
Galih memapah tubuh Leo yang sudah hampir tak sadarkan diri, ia membawa ke dalam mobilnya. Lalu, galih menancapkan mesinnya menjauh dari club tersebut. Dengan kecepatan yang di atas rata-rata.
Sesampainya di rumah Leo, Galih langsung membawa Leo ke kamarnya. Namun, Galih tak melihat sosok Tara di rumah ini, biasanya setiap ia berkunjung, dirinya selalu melihat keberadaan Tara.
Entahlah!
Galih keluar dari kamar Leo, rencananya ia akan meminta Bi Inah untuk membawakan lemon atau minuman yang hangat-hangat, untuk meredakan rasa pusing akibat terlalu banyak minum.
"Bi, tolong bawakan lemon sekaligus air yang hangat, ke kamar Leo, ya? Dia mabuk lagi," pinta Galih,
"Nggeh, Tuan," jawabnya. Bi Inah pun segera membuatkannya.
"Oh ,ya, Bi. Galih nggak lihat istrinya, Leo ke mana dia?" tanya Galih. Untung saja ia tidak lupa untuk menanyakan hal sepenting ini.
"Oh ... itu, Non Tara baju saja pergi dari rumah siang tadi," ujarnya santai.
Mulut Galih menganga tak percaya. Tidak ada hujan, tidak ada angin, mengapa begitu cepat dan mendadak sekali. "Ada masalah apa, Bi?"
"Non Tara minta cerai."
"Cerai? Kok bisa?"
"Bibi pun tidak tahu, itu sudah menjadi keputusan, Non Tara."
"Wajar sih, Leo itu kejam. Mana mungkin Tara bisa bertahan. Ck! Padahal nggak semua wanita itu sama, ya, Bi. Majikan Bibi kelewat bodoh," bisiknya, seraya terawa kecil.
"Ssstt ... kamu ini," ucap Bi Inah.
Galih dan Bi Inah sudah akrab dari dulu. Apalagi Galih orangnya sopan dan banyak bercanda, jadi ketika mereka mengobrol pun tampak santai, berbeda ketika ia berbicara dengan Leo. Meski ia sudah bekerja lama dengan Leo. Tetap saja sikap dingin Leo begitu canggung.
Continue.
KAMU SEDANG MEMBACA
Love Me, Please! [Sudah Terbit]
General FictionPernikahan itu adalah bencana. Menikah dengan seseorang yang memiliki harta berlimpah, ternyata tak menjamin sebuah kebahagiaan. Dia bertahan meski dikecam luka sekali pun. "Jika pun memang hamil, kenapa kau tidak menggugurkannya saja? Apa tarif ya...