~Happy Reading~
Entah, berapa rintik air yang sudah berjatuhan. Mengalir deras membasahi buminya. Di antara puluhan juta air yang menetes. Mungkin salah satu di antaranya. Ada bulir rindu yang menetes. Ah, tidak. Ia menetes bukan dari langit gelap yang mendung.Melainkan dari pelupuk mataku. Tidakkah kau ingin mengecap sekali lagi pada masa itu? Aku hanya ingin rinduku pupus dengan hadirmu.
Harapan kau kembali memang sangatlah tipis. Kau dan aku sudah jauh, bak garis khatulistiwa yang membentang, menjadi pemisah antara dua belahan bumi.
Begitupun denganmu sikapmu, yang memicu perpisahan ini.Kumohon kembalilah. Jangan biarkan air mataku terus membasahi kedua pipiku. Layaknya, Hujan di februari yang terus-menerus membasahi buminya.
***
Keringat mulai bercucuran, terik matahari begitu menyengat. Namun, panasnya matahari tak meruntuhkan niatku sedikit pun. Aku masih bersikeras untuk meminta pertanggung jawaban, berharap pria itu mau bertanggung jawab atas kehamilan ini.
"Nona, untuk apa kau datang ke sini, lagi?" tanya seorang satpam seraya menghampiriku, yang tengah berdiri tepat di gerbang rumah Leo. Sepertinya satpam itu masih ingat jelas, bahwa akulah perempuan yang datang beberapa hari lalu.
"Em ... begini, Pak. Bisakah saya bertemu dengan Leo?" Aku bersuara dengan sedikit gugup. Sungguh diri ini takut jika satpam di rumahnya tidak merespons dengan baik.
"Maaf, Nona. Tepat malam itu tuan menegaskan agar tidak menerima Nona bertamu ke sini lagi," ucapnya.
"Tapi kenapa, Pak?" tanyaku keheranan. Ah, mungkin malam itu Leo sangat risi dengan kedatanganku yang tiba-tiba. Lantas bagaimana dengan kehamilan ini? Jika harus menikah dengan Ryzan, jelas itu tidak mungkin.
"Kali ini saja, Pak. Saya mohon," lirihku. Aku memutuskan untuk tidak pulang, sebelum Leo menyetujuinya. Meski aku sadar, harapan itu sangatlah tipis.
"Maaf, Nona. Tidak bisa." Satpam itu menekankan kalimat terakhirnya.
"Pak, saya mohon, untuk kali ini saja."
Tidak ada cara lain, aku harus benar-benar bertemu dengannya. Namun, sepertinya satpam itu masih teguh dengan pendiriannya. Ah, Tuhan. Tolong bantu aku sekali lagi, setidaknya bukakanlah hati laki-laki itu, jika saja ini bukan salahnya. Mana mungkin aku mengemis seperti ini.
"Sudah saya katakan, kami tidak bisa. Tolong hargai keputusan Tuan kami, Nona."
"Tapi, Pak ...."
"Ada apa ini?"
Derap langkah kaki mendekat ke arah kami. Suara berat itu seakan penuh selidik, aku tahu itu adalah Leo. Ya, dia benar-benar Leo. Kini, pria dengan wajah tampan itu berdiri tepat di depanku, menatap dengan tatapan yang tak bisa diartikan. Saat ini Leo mengenakan pakaian formal. Sepertinya aku datang di waktu yang pas.
"Leo, kumohon." Aku menatapnya dengan penuh harap, air mataku mulai berlinang. Sakit sekali rasanya harus memohon seperti ini. Mungkin, kalian bisa berkata jika aku adalah seorang pengemis yang selalu meminta belas kasih. Namun, apakah ini salah?
"Sudah aku tegaskan berapa kali! Aku tidak sudi! Sudahlah, berhenti mengemis!" tegasnya. Namun, aku tidak akan menyerah sama sekali, Leo harus bertanggung jawab! Ya, harus.
"Leo, masa depanku hancur karena perbuatanmu. Aku tengah mengandung anakmu. Jika kau tidak percaya, kau bisa mengetesnya saat lahir nanti," lirihku.
"Baik!"
"Ikut denganku!"
Aku mengikuti langkah Leo, dengan perasaan gugup sekaligus senang. Benar-benar tidak bisa dikatakan sama sekali. Leo membawaku ke sebuah ruangan, tampaknya ini adalah ruangan pribadi milik Leo. Laki-laki dengan piyama berwarna gelap itu duduk di kursi, seraya menatapku lamat-lamat.
"Jelaskan!" imbuhnya.
"A ... aku, i ... i ... ingin ...." Ah, sial. Kenapa mulutku terasa kelu.
"Bicara yang benar!" sentaknya.
Berada di ruangan berdua dengan Leo, nyaliku menciut total. Benar-benar tak bisa berkata apa pun. Tetapi, aku harus melakukannya. "Wa ... waktu itu, aku tidak ingat apa pun, tapi sumpah aku bukanlah ...."
"Cukup! Jika aku menikahimu, apa yang akan kau lakukan untukku?" tanyanya, seraya tersenyum sinis.
"Tidak banyak yang bisa aku lakukan. Mungkin aku bisa menjadi istri yang baik."
Lagi-lagi dia tersenyum sinis menatapku, ada apa? Apakah ada yang salah dari ucapannku. "Aku tidak butuh itu semua! Bahkan, aku tidak butuh seorang istri. Namun, akhir-akhir ini kau selalu mengganggu ketenanganku."
"Lalu apa maumu?" tanyaku dengan pelan. Gugup dan takut membuat badanku terus bergetar. Sialan!
"Kau wanita yang paling menyedihkan, yang pernah aku temui. Baiklah! Aku akan menikahimu. Tapi, dengan beberapa syarat."
"Sya-syarat? Apa itu?"
"Pernikahan ini hanya di atas kertas. Aku tidak ingin publik tahu, jika aku menikahi seorang pelacur, dan kau tidak berhak menuntutku, atas dasar apa pun!"
"Ta-tapi, Leo. Aku bu——"
"Jika tidak terima dengan keputusanku, silahkan keluar."
"Baiklah. Aku setuju." Detik ini juga air mataku kembali lolos. Entah, harus senang atau sedih mendengarnya. Disatu sisi Leo bersedia menikahiku. Tetapi, ketika mendengar semua syarat darinya. Hatiku sakit sekali bak dihujam beribu-ribu pisau.
Apakah arti seorang istri baginya? Mengapa aku harus bertemu dengan laki-laki seperti dia, untuk apa aku hidup jika harus menelan segala kesakitan ini. Dunia memang kejam!
"Jika tidak ada yang ingin dibicarakan lagi, pergilah! Kau sudah mengganggu waktu istirahatku, dan jangan lupa besok pagi kau datang ke rumahku."
Aku hanya mengangguk sebagai jawaban, selepas itu aku berlalu pergi dari ruangan tersebut dengan perasaan yang begitu sakit. Ingin rasanya aku mencabik-cabik wajahnya tampannya, membuatnya merasakan sakit sama halnya seperti yang aku alami saat ini.
'Tidak apa Tara. Setidaknya dia bersedia menikahimu!' batinku bersuara. Jika, bukan diri sendiri siapa yang akan menguatkan.
[Tara, bagaimana. Apakah Leo setuju?]
[Kau baik-baik saja, 'kan?]
Dua pesan yang Isma kirimkan. Aku sama sekali tidak berniat membalasnya, nanti juga aku akan menceritakan semuanya. Pikirku. Untuk sebuah kenyataan, terima kasih berkatmu aku tahu hidup tak selalu berjalan dengan mulus. Aku sadar hidup tak hanya tentang mengeluh, jika dalam keadaan terpuruk harusnya aku bangkit. Meski tidak ada sosok orang tua yang menyemangati.
Miris!
"Ah, sudahlah. Tara. Semua sudah memudar dari waktu kewaktu. Hidup ini masih berjalan di saat napas masih menghela. Mulai hari ini aku akan merubah caraku berpijak. Sebab, tidak mungkin jika harus bersedih dalam waktu yang berkepanjangan. Meski kenyataan pahit selalu kutemui." Aku bermonolog.
Setibanya di rumah, aku merebahkan tubuhku. Fisik dan hati terasa begitu lelah, aku kembali menangis dalam diam. Betapa menyedihkannya hidup ini, tidak ada orang tua di sampingku. Bahkan, aku tidak punya siapa-siapa lagi selain mereka—Isma dan Ryzan.
"Jika takdirku memang seperti ini, tolong kuatkan lagi untuk menerima semua cobaan darimu, Tuhan."
Tak terasa aku mulai terlelap dalam tidurku. Semua rasa sakit dan lelah tidak lagi aku rasakan, dengab tidur mungkin akan membuatku sedikit lega dan nyaman. Meski jika terbangun nanti air mata ini akan kembali membasahi pipi mulusku.
Continue.
KAMU SEDANG MEMBACA
Love Me, Please! [Sudah Terbit]
Fiksi UmumPernikahan itu adalah bencana. Menikah dengan seseorang yang memiliki harta berlimpah, ternyata tak menjamin sebuah kebahagiaan. Dia bertahan meski dikecam luka sekali pun. "Jika pun memang hamil, kenapa kau tidak menggugurkannya saja? Apa tarif ya...