~Happy Reading~
"Kenapa kau menangis?" tanya Leo.
"Bukan urusanmu, biarkan aku sendiri, tolong."
"Ada apa?" ucap Leo pelan.
"Tidak ada apa-apa, Leo," balas Tara, seraya menyeka air matanya. Lalu, membenarkan posisinya menjadi duduk, dan menghadap kepada Leo.
"Selain hobi menangis, kau juga hobi berbohong." Leo berlalu pergi tanpa kejelasan. Tara yang merasa aneh dengan sikap Leo hanya mendengus kesal.
"Kau marah padaku?" Suara Tara mampu menghentikan langkahnya. Leo menatap sekilas wajah Tara. Lalu, pergi dengan sepatah kalimat. "Bukan urusanmu!" tukasnya.
Tara menarik napasnya dalam-dalam. Sungguh berat menjalani kehidupan pahit seorang diri. Bahkan suami sendiri tak mampu menenangkannya. "Tidak usah berharap berlebihan, Tara!" pekiknya kepada diri sendiri.
Tangannya mengelus perutnya yang mulai terlihat membesar. Namun, air mata lagi-lagi lolos dari pelupuknya, Tara tak mampu lagi untuk membendung semua luka itu. Ingin rasanya ia merasakan kehangatan yang telah lama sirna dari hidupnya.
"Kuat, ya, Nak. Kita berjuang sama-sama." Tara bermonolog.
"Kenapa begitu susah!" pekik Leo di balik pintu, ia mendengar semua ucapan Tara, perempuan yang ia renggut kesuciannya itu. Kini, harus tersiksa oleh sikap dan perlakuannya.
Leo yang sedikit kesal itu menjauh dari pintu kamarnya. Kakinya berjalan menuju dapur. Entah, mau apa, sudah beberapa hari ini dia tidak memasuki kantor dengan alasan ingin cuti sejenak.
Terlihat Bi Inah yang masih sibuk dengan cucian piring. Namun, kegiatannya terhenti ketika ia melihat Leo menghampirinya. "Em ... Tuan, ada yang bisa saya bantu?" tanya Bi Inah.
"Tolong pergi ke kamar Tara, dan bawakan segelas susu ibu hamil. Lalu, tanya kenapa dia menangis," titah Leo. Bi Inah yang mendengarnya pun dengan gesit menyiapkan permintaan majikannya tersebut.
***
"Nak, ini Bibi." Bi Inah bersuara di balik pintunya.
"Masuk, Bi." Tara berteriak.
"Ada apa, Bi? Tumben," ucap Tara. Setelah Bi Inah memasuki kamarnya tersebut.
Sebelum Bi Inah menjawab, ia meletakan segelas susu di atas meja. Tara yang melihatnya pun sedikit mengernyitkan dahinya, pasalnya selalu dirinya yang membuat segelas susu itu bukan orang lain. Meskipun itu asisten rumah tangganya sekali pun.
"Tuan yang minta," jawab Bi Inah. "Diminum dulu, Nak."
'Leo? Apakah dia sedang memperhatikanku lewat Bi Inah?' batinnya bersuara.
"Ayo, diminum. Kenapa melamun?"
"Eh, ng ... nggak kok, Bi. Hanya aneh saja," ucap Tara seraya tersenyum kaku.
"Tidak ada yang aneh, harusnya kamu senang, 'kan?"
'Senang?'
Tara menangkap kalimat itu, ia mencerna baik-baik. Apakah ia senang atau malah biasa saja, akhir-akhir ini sikap Leo sedikit ada perubahan. Apa mungkin dia mulai mencintainya?
'Tidak, dia tidak akan pernah mencintaiku! Jangan berkhayal kejauhan, Tara!'
"Kamu ini melamun terus," ucap Bi Inah sontak membuat lamunannya buyar. Sedangkan Tara hanya terkekeh malu.
"Kamu habis menangis, Nduk?" tanya Bi Inah, ia mulai bertanya sesuai yang diperintahkan majikannya.
"Ah, tidak. Bi, Tara hanya kelilipan saja," sangkalnya.
"Tidak usah berbohong. Ceritalah, anggap saja Bibi ini Ibumu."
Dengan senyum yang merekah, Tara tiba-tiba memeluk Bi Inah. Sebuah pelukan yang hangat, meski pelukan ini bukanlah pelukan dari sang ibu. Namun, Tara merasakan kenyamanan yang tak biasanya.
"Apakah salah, jika aku hamil di luar nikah? Bahkan semua ini hanya sebuah kesalahan yang tak pernah Tara inginkan, Bi." Tara berucap lirih.
"Ada yang mencelamu?" Tara pun mengangguk. "Nduk, ini semua sudah takdir-Nya. Meskipun kamu tidak menginginkannya, tapi kehendak Allah tak bisa dibantah."
"Saat Tara tengah berjalan-jalan di sekitar taman, Tara tak sengaja berpapasan dengan teman kuliah Tara. Mereka berbisik menyebut nama Tara," ucapnya.
"Tidak usah diambil hati, Nduk. Anggap saja angin lalu."
"Tapi yang bikin hati Tara sakit bukan caciannya, Bi. Entah kenapa ... ketika mereka berbicara seperti itu, Tara malah mengingat semua perlakuan Leo. Apa tidak sakit mengalami kejadian yang seperti ini. Lalu, menikah dengan orang yang jelas tidak memiliki rasa cinta?" tangis Tara pecah.
"Tara selalu berharap agar Leo berubah, Tara hanya ingin dicintai, Bi."
"Sssttt .... perlahan sikap suamimu pasti berubah."
"Tapi sampai kapan? Tara capek, Bi. Ingin rasanya Tara bercerai saja."
"Allah membenci hal itu, Nduk. Pertahankanlah rumah tanggamu. Semua pasti ada hikmahnya," ucap tenang Bi Inah.
"Sudah, jangan menangis lagi."
Tara mengangguk meski air matanya belum sepenuhnya berhenti. Setidaknya semua rasa sedihnya sudah terluapkan. Kini, Bi Inah pamit untuk melanjutkan pekerjaannya.
Tanpa mereka sadari Leo mendengar semua ucapan mereka, di balik pintu kamarnya. Lagi-lagi tangisan Tara membuat hatinya tersentuh. Seperti ada rasa penyesalan yang menyerang dirinya.
Setelah Bi Inah keluar dari kamar Tara. Kini, gantian Leo yang memasuki kamar Tara sekaligus kamar miliknya. Tara yang tengah minum itu pun menyadari kehadiran Leo. Lirih. Alunan desah kesedihan itu bermunculan, ketika ia menatap paras laki-laki yang notabenenya adalah suaminya. Bermata hitam temaram itu menatap sayu kepada dirinya.
"Menangislah semaumu." Suara lembut itu terdengar dari bibir tajam Leo. Laki-laki itu pun memeluk tubuh Tara jatuh di dada bidang miliknya.
"Mengapa?" Tara sedikit mengangkat kepalanya.
"Mengapa?" tanya balik Leo, seraya mengernyitkan dahinya.
"Kau bersikap seperti ini?"
"Ini kesalahanku, tak seharusnya kau menanggung beban seberat ini," ucap Leo. Pelukannya semakin mengerat, membuat Tara yang tengah hamil besar itu kesulitan untuk bernapas.
"Kenapa?" tanya Leo, ketika Tara meminta agar Leo melepaskan pelukannya.
"Aku tidak bisa bernapas," ucap Tara, seraya mengelus perutnya. Leo yang melihatnya pun ikut mengelus perut sang istri. Tentu saja, dengan secuil senyuman.
'Hangat, nyaman, meski ini hanya bersifat sementara. Setidaknya aku bisa merasakan kehangatan dari suamiku sendiri.'
Ya, Tara kini berharap agar Leo berubah dengan sungguh-sungguh. Tidak hanya untuk saat ini tapi untuk selamanya, ituah harapan besar dari Tara. Sebelum ia benar-benar meminta untuk bercerai.
Continue.
KAMU SEDANG MEMBACA
Love Me, Please! [Sudah Terbit]
General FictionPernikahan itu adalah bencana. Menikah dengan seseorang yang memiliki harta berlimpah, ternyata tak menjamin sebuah kebahagiaan. Dia bertahan meski dikecam luka sekali pun. "Jika pun memang hamil, kenapa kau tidak menggugurkannya saja? Apa tarif ya...