Love Me, Please! - 9

16.3K 737 11
                                    

~Happy Reading~


Mungkin, aku hanya benalu di sini. Tapi, jujur ini semua posisi yang paling tidak kuinginkan. Aku belajar mengerti keadaan tapi kenapa keadaan tidak pernah mengerti akan posisiku?

Mengeluh hanya amarah yang kudapat, cara bijak mana yang harus aku ambil? Pergi, dan meninggalkannya sama saja melakukan hal bodoh. Dilema? Tentu! Sampai sekarang aku masih belum bisa mengambil keputusan antara bertahan atau berpisah.

Diusia muda seperti ini aku harus menanggung beban pikiran yang tidak pernah bisa kalian rasakan. Rasanya aku berada di dua posisi yang menyulitkan diri ini. Menikah dengan orang yang sama sekali tidak mencintaiku itu terlalu menyakitkan.

"Leo, harus dengan cara apa aku meluluhkanmu."

"Sudah satu bulan aku menjadi istrimu, tapi kau masih saja memperlakukanku bak pembantu, apakah sikapmu tidak bisa dirubah."

Hari ini langit tampak begitu cerah, langit yang biru dipadukan dengan awan yang begitu putih, sangat indah dan cantik. Sudah satu bulan penuh aku tinggal bersama Leo, tidak ada kata-kata manis yang bisa menenangkan hati, atau pelukan hangat yang menemani tidurku. Teman dikala duka, teman dikala bahagia, aku tak bisa mendapatkan itu semua dari Leo.

Sepanjang hari jarak antara kami berdua semakin jauh, semakin hari Leo disibukkan dengan segala pekerjaannya, bahkan ia sampai lupa untuk pulang. Leo memang gila kerja, gila perempuan, gila akan semua hal.

"Nak, tuan Leo menyuruhmu ke kamarnya." Suara Bi Inah yang datang tiba-tiba itu sedikit mengagetkanku. Dengan cepat aku bangkit dan membenarkan posisiku menjadi duduk.

"Muka Leo tadi sangar atau tidak saat menyuruh Bibi mencariku?" tanyaku seraya berdiri. Entahlah, aku terlalu takut jika harus berhadapan dengan manusia kejam itu, meskipun dia adalah suamiku sendiri.

"Tidak seperti biasanya. Hari ini suasana hati Tuan terlihat sedang baik. Cepat temui dia," suruh Bi Inah yang sedikit menarik lenganku dengan pelan.

***

Aku gugup seribu bahasa ketika aku sudah mengahadap dengan Leo seperti ini. Namun, entah kenapa aku merasa ingin memeluknya. Sepertinya ini bawaan bayi yang ada diperutku. Eh, apa mengidam itu bisa seperti ini? Bahkan, aku ingin Leo terus berada di sampingku. Meski dia sangatlah kejam.

"Tentu saja tidak! Aku akan habis diterkam olehnya. Tahanlah!"

"Ada apa?" ucapku berusaha menghilangkan rasa gugup. Meski tubuh Leo membelakangiku. Namun, tetap saja aura dinginnya begitu menusuk.

"Aku akan pergi keluar kota, kau mau kubawakan apa?" tanyanya, seraya membalikan tubuhnya dan menghadap ke arahku.

"Apa kau sedang dalam suasana hati yang baik?" 

"Maksudmu?" ujarnya seraya menatap wajahku yang kikuk.

"Tidak apa-apa. Hari ini kau menawariku, tetapi aku tidak mau apa pun. Hanya saja aku menginginkan sesuatu yang sepertinya kau akan menolaknya." 

Karena suasana hatinya kemungkinan sedang membaik, tidak ada salahnya aku mengajukan permintaanku yang sempat terabaikan. Lagi pula, aku tak meminta barang mahal.

"Apa?"

"Aku ingin sekali dipeluk olehmu, sekali ini saja, Leo. Akan kupastikan tidak ada kata lain kali."  Setelah mengatakannya aku menutup telingaku rapat-rapat, tak kuasa jika harus mendengar sebuah penolakan darinya.

Tanpa aku sadari Leo pun berjalan menghampiri. Lalu, ia memeluk tubuh mungilku dengan lembut. "Tentu saja, kau boleh memelukku sesukamu," ucapnya, lalu Leo mengecup keningku dengan lembut.

Seperti inikah rasanya menjadi seorang istri yang dicintai? Begitu nyaman sekali berada di pelukan seorang suami. Entah, apa yang membuat Leo berubah begitu cepat. Tapi, aku merasa sangat bahagia atas perubahan sikapnya.

"Leo, apa tidak salah?" tanyaku, yang masih bingung dibuatnya.

"Kenapa?"

"Hari ini kau begitu lembut padaku, tidak seperti biasanya yang selalu kejam dan tidak berperasaan."

"Salah, ya? Apa kau sudah terlanjur suka dengan sikap tak peduliku?"

Aku menggeleng dengan cepat. "Tentu saja tidak, mana ada orang yang tahan akan sikap seperti itu." Aku berucap seraya memonyongkan bibirku yang imut ini.

"Aku baru sadar, kau memang wanita yang baik, Tara." Leo mengeratkan pelukannya, senyumku mulai terukir, tidak ada kata yang mampu aku jelaskan, rasanya ini seperti mimpi.

"Mari makan bersama," ajaknya. Lalu, ia menggenggam erat tanganku.

Ah, nikmat mana lagi yang aku dustakan!

"Kau mau kumasakan apa?"

"Tidak perlu, biar Bi Inah saja yang masak, kau cukup temani aku saja." Leo tersenyum. Jantungku mulai berdetak tidak karuan.

'Ya, Tuhan. Jantungku serasa akan lepas!'

"Kenapa?"

"Leo tahu tidak? Sebelumnya aku tidak pernah sebahagia ini semenjak menikah denganmu."

"Bukankah sudah seharusnya kau bahagia denganku? Kau istriku, dan aku berhak membahagiakanmu, dan juga calon anak kita." Tangan Leo mengelus perutku, ukiran senyum membuat hati ini menjadi nyaman dan begitu damai.

Deg!

Jantungku berdetak secara abnormal. Mendengar kalimat itu membuatku merasa sangat bahagia, inikah sebuah keajaiban darimu, Tuhan? Tidak kusangka bahkan Leo mengakui janin yang ada diperutku. Saat ini aku merasa dibawa ke sebuah tempat yang tinggi dengan pemandangan yang begitu indah, seindah kalimat Leo yang baru saja terucap.

Tangis yang selalu berderai, kini mereda. Mungkin ini adalah satu keadilan untukku, aku bisa memiliki Leo dan menjalani kehidupanku dengan baik, tidak peduli seburuk apa aku di masalalu dan sekarang. Tapi, untuk masa depan selalu kuperjuangkan demi Leo dan calon bayiku. Meski benih-benih cinta baru tumbuh. Namun, rasa benci kini mulai hilang seiring berjalannya waktu.

"Kapan kau akan berangkat?" tanyaku.

"Sore ini, kenapa?"

"Tidak." Aku menggeleng dengan cepat, rasanya masih canggung untuk berbicara dengannya. Bagaimana tidak sebulan terakhir ini Leo jarang sekali menyapaku kecuali marah-marah.

Mulai sekarang aku harus membiasakan diri untuk beradaptasi dengan sikap Leo yang lembut, semoga saja ini bukan mimpi, dan aku berharap Leo benar-benar berubah. Ya Tuhan senangnya.

"Aku siapkan pakaiannya, ya." Aku beranjak dari meja. Namun, tangan Leo berhasik menahanku.

"Tidak perlu, kau sedang hamil muda, Tara. Aku tidak ingin kandunganmu lemah, kau tidur saja di kamar," sergahnya.

"Tapi, Leo. A-aku tidak apa-apa kok," sangkalku. Ini adalah hari terbaik sepanjang masa, di mana aku diperlakukan layaknya seorang istri. Mana mungkin aku hanya bermalas-malasan bisa-bisa Leo berubah lagi.

"Tara, menurutlah." Leo tersenyum manis.

Senyum yang selama ini tak pernah aku lihat, kini dengan begitu mudahnya aku dapatkan. Hati pun terasa sejuk ketika Leo tersenyum, auranya semakin kuat, dan begitu menarik perhatian bagi siapa pun yang melihatnya.

Continue.

Love Me, Please! [Sudah Terbit] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang