~Happy Reading~
Kini, Tara dan Ryzan tengah berada di rumah Isma. Melepas rindu antara ketiganya. Wajar saja, mereka sudah hampir tiga bulan tak bertemu. Semenjak Tara menikah dengan Leo untuk bertemu pun sangat sulit. Seisi ruangan pun terdengar gelak tawa di antara mereka. Apalagi Ryzan yang terus-menerus bertingkah konyol, membuat Tara semakin terhibur. Suasana yang sudah jarang ia nikmati ini, kini kembali ia rasakan.
Rindu masa kuliah, rindu jalan bersama, rindu akan semua hal yang pernah dilakukan bertiga. Tara memandang mereka secara bergantian, Isma yang masih larut dalam tawanya, sedangkan Ryzan terus berbicara seperti ibu-ibu yang tengah berghibah. Lucu sekali!
Seulas senyum terlihat dari bibir tipis Tara, tanpa ia sadari Isma menyadarinya, begitu pun dengan Ryzan. Mereka pun mendekat ke arah Tara, mengelus pundak Tara dengan lembut. Seakan ia tahu jelas bagaimana perasaan sahabatnya itu. Tara memang terlihat sangat senang. Namumn, di balik senyumannya itu terdapat luka yang ia simpan.
"Ada masalah apa, Ra?" tanya Isma lembut.
Tara menggeleng pelan, lalu ia pun tersenyum. "Tidak, aku hanya rindu suasana seperti ini," ujar Tara meyakinkan.
"Jika rindu kau bisa menemui kami," timpal Ryzan.
"Tidak mudah." Suara Tara melirih.
"Apa sikap Leo sama sekali tak berubah?" tanya Isma.
"Terkadang dia bisa bersikap manis. Namun, setelah itu kembali seperti biasanya," ucap Tara.
"Kenapa masih bertahan, Raa?" tanya Ryzan.
Tara menunduk. "Jika bukan karena anak ini mana mungkin aku akan bertahan, Zan."
"Aku sudah rela kau menikah dengan laki-laki itu. Tapi, aku sungguh tidak rela kau disakiti seperti ini."
"Benar kata Ryzan, Raa. Andai ... dulu kamu tidak memilih menikah dengan Leo."
"Kalian menyalahkanku?"
Mereka pun menggeleng dengan cepat. Bukan, bukan seperti itu yang mereka maksud. Isma dan Ryzan sama sekali tak menyalahkan pilihan Tara. Namun, mereka begitu iba dengan posisi Tara saat ini.
"Tidak, Raa. Hanya saja, aku khawatir akan pikiranmu. Kau tahu, Ra? Jika seorang ibu hamil mengalami banyak pikiran, tentu akan berpengaruh besar untuk bayinya," ujar Ryzan. Wajar jika Ryzan sedikit mengetahuinya, karena ia mengambil fakultas kedokteran.
"Iya, aku tahu. Aku sudah berusaha keras untuk baik-baik saja. Aku juga sedang berusaha untuk membiasakannya, apalagi usia pernikahanku sudah lumayan lama, aku pasti mudah memposisikan diriku."
"Harusnya Leo beruntung, dia bisa menikahi perempuan cantik dan baik seperti kamu."
"Harusnya, sih, begitu. Tapi mana kriteria setiap laki-laki itu berbeda, Zan. Apalagi yang dihadapi Tara adalah Leonard Joanne, sulit." Isma menimpali.
"Sudahlah, tidak ada bahasan lain, kah? Selain Leo. Mendengar namanya saja aku malas!" imbuh Tara.
"Ah, iya. Pihak kampus belum tahu, ya? Kalau kamu berhenti?" tanya Ryzan, yang berusaha mengalihkan pembicaraannya.
"Belum, aku bilangnya cuti. Tapi sepertinya cuti bukanlah alasan yang tepat. Aku harus berkata jujur, jika aku berhenti kuliah."
"Tapi, Raa. Kau tidak mungkin datang ke kampus dengan keadaan seperti ini, ada baiknya kau mengirimkan surat atau apa gitu?"
"Surat, ya? Sepertinya itu kurang sopan. Nanti akan kupikirkan lagi." Pernyataan itu mendapat anggukan dari Isma dan juga Ryzan.
"Ah, iya. Aku rindu rumah," ucap Tara di sela-sela obrolannya.
"Rumah?" tanya Isma.
Tara mengangguk mengiyakan. "Iya, sudah lama aku tidak pergi ke sana."
"Jika kamu mau, mari aku antar?" tawar Ryzan.
"Apakah tidak merepotkan?"
"Tidak. Apa sih yang nggak buat bumil kami, iya kan, Zaa?"
"Yoi!" Ryzan mulai beranjak. Lalu, diambilkannya kunci mobil yang ia simpan di atas lemari kaca milik Isma. "Tunggu apa lagi," ucapnya.
Dengan senang hati Tara pun menerimanya. Kini, mobil Ryzan pun sudah melaju menjauhi pekarangan kost-an Isma. Untung saja Ryzan membawa mobil, Tara sempat mengira jika Ryzan tak membawa mobil. Sebab, ketika di halte Tara tidak melihat mobil Ryzan terpakir. Rupanya ia memarkirkan mobilnya agak jauh dari halte. Dengan alasan ia akan membeli sesuatu. Namun, sayang. Hujan malah mengguyur deras, dan akhirnya Ryzan tak sengaja bertemu Tara.
Hanya perlu menempuh tiga puluh menit saja untuk sampai di rumah Tara. Namun, kini lebih cepat dari biasanya. Karena saat di perjalanan mereka tidak terkena macet sama sekali. Jadi, hanya memakan waktu lima belas menit saja.
Tara menatap seisi rumah yang sudah tampak kumuh, lama tak terisi membuat rumah menjadi tidak terurus. Netra terfokus kepada sebuah foto yang berukuran cukup besar. Foto yang di mana ada dirinya dan juga kedua orang tuanya, termasuk Yvone.
Setelah menatap dengan puas, langkah Tara kini menuju ke kamar miliknya. Sedangkan Isma dan Ryzan hanya menunggu di kursi ruang utama. Rindu? Ya, tentu saja. Kamar yang sudah lama tak diisi ini begitu Tara rindukan. Kasur mau pun bantal masih tertata rapi, meski sedikit terbalut debu.
Jari-jari lentiknya meraih sebuah figura yang berukuran sedang, tampak seorang wanita yang tengah menggendongnya, siapa lagi jika bukan ibu dan dirinya sewaktu bayi. Air mata mulai berlinang di kedua pelupuk matanya. Sudah lama wanita itu meninggalkan dirinya.
"Tara, rindu ibu."
Suaranya bergetar. Lalu, dipeluknya foto itu, tak lupa ia pun mengambil foto tersebut dan memasukan ke dalam tas miliknya. Selang beberapa menit Tara pun keluar dari kamarnya. Ia melihat Isma yang tengah memejamkan matanya, sedangkan Ryzan masih sibuk dengan gamenya.
"Sudah, mari pulang?" ajak Tara. Suaranya membangunkan Isma, begitu pun dengan Ryzan yang langsung mematikan ponselnya.
"Pulang sekarang?" tanya Isma.
"Iya, sudah jam 15.04. Em ... takutnya kesorean nanti," ucapnya.
"Kami antar?" tawar Ryzan. Tara pun mengangguk mengiyakan.
Ryzan menepikan mobilnya tepat di depan gerbang rumah Leo. Lalu, ia membukakan pintu Tara. Layaknya seorang supir terhadap majikannya. Ah, atau mungkin layaknya sang kekasih. Tanpa mereka sadari tatapan tajam tertuju kepada mobil hitam milik Ryzan. Tepat di arah Tara dan Ryzan. Sedangkan Isma hanya menunggu di dalam mobil.
Leo, yang tengah duduk di balkon lantai dua itu pun tak sengaja melihat dua sejoli yang tengah berbincang. Lagi-lagi pemandangan di depannya ini sungguh membuat dirinya menatap tidak suka.
"Terima kasih, Zan. Oh, iya, Isma sampai ketemu lain kali, ya. Hari ini aku senang," ucapnya dengan senyum manis.
"Kuat, ya. Kalo gitu kami pulang," ucap Isma menyemangati. Mobil pun melaju menjauhi gerbang, sesekali Tara melambaikan tangannya.
"Dari mana saja, Nduk? Tadi siapa?" tanya Bi Inah, ketika ia melihat Tara memasuki rumahnya. Tak biasanya anak itu pulang sampai sesore ini, padahal ia sangat jarang keluar rumah. Apalagi ini pulang diantar pria.
"Dari rumah temen, Bi. Dia teman Tara, kenapa?" Tara berbalik nanya.
"Jika Tuan tahu, dia akan marah," ucap Bi Inah. Tara hanya bergeming. Jika pun laki-laki itu marah, itu sudah hal yang biasa baginya.
"Tara masuk kamar dulu," pamitnya.
Ketika langkahnya akan memasuki kamar, tak sengaja ia berpapasan dengan Leo. Tatapan tajam menyorot pada dirinya, begitu pun dengan aura dingin dari Leo yang tak biasanya. Namun, sepersekian detik Leo pun melanjutkan langkahnya tanpa mengucapkan sepatah kata pun, begitu pun dengan Tara, ia acuh dan memasuki kamarnya dengan cepat.
Continue.
KAMU SEDANG MEMBACA
Love Me, Please! [Sudah Terbit]
General FictionPernikahan itu adalah bencana. Menikah dengan seseorang yang memiliki harta berlimpah, ternyata tak menjamin sebuah kebahagiaan. Dia bertahan meski dikecam luka sekali pun. "Jika pun memang hamil, kenapa kau tidak menggugurkannya saja? Apa tarif ya...