Love Me, Please! - 11

17.2K 764 9
                                    

~Happy Reading~


Tidak terasa kini usia kehamilannya sudah menginjak empat bulan, begitu pun dengan pernikahannya yang selisih satu bulan dengan usia kehamilan dirinya. Sudah lumayan lama. Namun, sikap Leo masih sama—tidak berubah, meski sekarang sedikit perhatian kepadanya.

Ditambah lagi semenjak ia menikah dengannya. Ia sudah tidak lagi berkomunikasi dengan kedua sahabatnya, Isma dan Ryzan. Handphone-nya dirampas oleh sang suami—Leo. Entah, apa yang akan Leo lakukan dengan ponsel tersebut. Sekarang ia hanya berdiam diri di rumah. Tidak ada aktivitas yang membuatnya senang, semua tampak membosankan.

Entah kenapa, meski ia selalu mendapatkan perlakuan buruk sang suami. Tetap saja, ia tidak bisa menghindari perasaan yang kian menumbuh untuk Leo. Mungkin, tidak seharusnya ia memiliki perasaan ini. Namun, terkadang perhatian dari Leo mampu menggetarkan perasaann Tara. Perempuan itu goyah! Meski itu perhatian kecil tapi mampu bersarang.

Sudah seminggu ini Leo tidak ada di rumah, beberapa bulan terakhir ini laki-laki itu memang disibukkan sekali. Tidak ada Leo di rumah membuatnya bisa bernapas sedikit lega, setidaknya tidak ada yang menindasnya untuk beberapa hari ke depan.

Namun, selain perasaan lega. Ia sedikit merindukan sosok Leo. Entah, apa yang terjadi dengan perasaan Tara akhir-akhir ini, yang jelas ia selalu merasa cemas dan khawatir. Apalagi ketika Leo sedang berada di luar.

Apa dirinya jatuh cinta?

Bagaimana mungkin ia mencintai laki-laki yang sudah menindasnya selama empat bulan terakhir ini. Apa ia bodoh? Tentu saja tidak. Mungkin, perasaan ini muncul ketika Leo perlahan mulai memperhatikannya meski perhatian itu selalu diakhiri dengan kalimat yang menyakitkan.

"Aku diam, hatiku terluka. Bahkan, sekalipun aku berbicara, hatiku tetap terluka."

***

"Apakah sikapmu tidak terlalu keras untuknya? Semakin hari sikapmu tidak bisa ditebak." Seorang laki-laki yang mengenakan kemeja putih dengan jas yang ia gantungkan dibahunya tersebut membuka suaranya.

"Biasa saja. Memangnya kenapa?" Laki-laki yang duduk bersampingan dengannya menjawab dengan datar.

"Istrimu tengah mengandung anakmu, Leo," ucap Galih, yang tak lain adalah teman dekat Leo. Kini, keduanya tengah berbincang di sebuah caffe untuk merayakan proyek yang ia menangkan saat meeting berlangsung.

"Bahkan, wanita itu tidak pantas disebut seorang istri!" ketusnya.

"Ada saatnya kau menyesali perbuatan ini."

"Kurasa tidak akan pernah!" ucap Leo seraya bangkit dan meninggalkan Galih begitu saja. Apa katanya menyesal? Tidak mungkin.

"Hei! Kau akan pergi kemana?" teriak Galih. Namun, sang empu tak menggubrisnya.

'Ck! Menyesal! Tidak mungkin!' batin Leo.

Ia bergegas mengemudikan mobilnya, sedangkan Galih ditinggal begitu saja. Leo mengemudikan mobilnya dengan kecepatan di atas rata-rata. Dengan pikiran yang kacau seperti saat ini, biasanya Leo akan pergi menemui seseorang.

"Aku membencinya. Mana mungkin aku bisa merasakan sebuah penyesalan. Ck! Bercanda!" hardiknya seraya memukul stir mobil.

Kenapa Leo begitu membencinya, padahal yang dilakukan perempuan itu memang benar, ia tidak pernah meminta apa pun. Jika memang Tara menginginkan hartanya, mana mungkin ia bertahan sampai selama ini? Padahal Leo sendiri tahu, perempuan itu hanya meminta sebuah pertanggung jawaban, apa itu salah?

"Apa yang sebenarnya aku pikirkan! Mengapa emosiku semakin ingin meledak ketika menyebut namanya! Perasaan apa ini sebenarnya. Arghhhh ...!"

"Tara, kehadiranmu sungguh berpengaruh besar dalam hidupku! Hingga temanku saja berada dipihakmu. Apa tujuanmu sebenarnya! Apakah memang benar kau hanya ingin aku bertanggung jawab, atau ada tujuan lain yang kau maksud."

"Bisa-bisanya aku tertipu dengan wajah polosmu itu, sialan!"

Leo pun meringis, kala bagian pelipisnya terasa sakit. Alasan Leo tidak pulang, karena ia berusaha menghindari Tara. Setiap kali Leo melihat perempuan itu, maka perasaannya akan berubah. Ah, sepertinya Leo bukan menghindari Tara, melainkan ia menghindari perasaannya.

Beberapa kali Leo berniat untuk menceraikan Tara, tetapi setiap kali Leo berpikiran seperti itu, ada saja yang mengganggu pikirannya. Tara perempuan baik, dia tidak berbuat hal yang aneh. Bahkan, pernikahannya pun aman, tidak diketahui siapa pun, kecuali orang terdekatnya. Namun, lambat laun semua akan terkuak.

Dulu, Leo sangat mementingkan reputasinya, tapi setelah ia menikahi perempuan yang kini telah sah menjadi istrinya, reputasi itu sudah tak terlalu penting menurutnya. Sebelumnya Leo tak pernah memikirkan seorang perempuan, datang pergi sesuka hati itu bukanlah masalah yang besar. Akan tetapi, semenjak ia mengenal Tara, kehidupannya seperti ada yang berubah.

"Sial! Otakku tak bisa berhenti memikirkannya. Siapa sebenarnya kamu Tara! Apa benar kau hanya korban di sini? Argh!" Lagi-lagi Leo berucap dengan frustasi. Gadis kecil itu mampu menerobos dinding empatinya.

'Salah satu cara untuk mengetahui jawabannya, aku harus menemukan wanita yang berstransaksi pada malam itu.' batinnya. Leo mengambil handphonenya yang berada di saku kemejanya, dengan lincah jarinya mengetikan sesuatu disana.

"Hallo ... Bima? Kau masih ingat wanita yang bertransaksi denganmu malam itu? Sekitaran empat bulan yang lalu, sebelum aku menikah dengan  Tara?" Suara Leo terdengar tampak serius, Bima adalah asisten yang sudah Leo percaya, bisa dibilang Bima adalah tangan kanan dari Leo sekarang.

"....."

"Cari dia, lalu bawa kehadapanku!" tegas Leo, lalu ia menutup teleponnya secara sepihak.

Leo perlu mengetahui kebenarannya, apakah Tara itu hanya berpura-pura. Apa memang ia dikendalikan atau dijebak oleh seseorang. "Tapi mana mungkin, seorang kakak tega menjual adiknya sendiri?" gumamnya.

"Mungkin, jika Bima dapat menemukannya rasa penasaranku bisa terjawab, apakah gadis itu dijebak atau memang sebaliknya!"

Butuh beberapa hari atau minggu untuk menjawab semua kejanggalannya, dan Leo harus bersabar. Ada rasa khawatir, dirinya sudah tidak pulang beberapa hari ini, padahal semua kesibukannya sudah selesai. Tetapi Leo tetap mempertahankan sikapnya, dan selalu menepis perasaanya.

Kini, mobil mewah yang dikendarai Leo itu sudah terparkir jelas tepat di halaman rumah yang bernuansa putih, tidak terlalu mewah. Namun, terlihat elegan. Leo pun turun dari mobilnya dengan santai ia berjalan menuju pintu utama itu, apa mungkin itu villa? Atau rumah temannya. Entahlah, hanya Leo yang tau.

Leo mengetuk pintu tersebut, lalu seorang wanita yang terlihat masih muda nan cantik itu membuka pintunya, dengan senyuman yang lebar. Seperti orang yang sangat merindukan kekasihnya.

"Leon, sudah lama kau tidak menemuiku!" ucap wanita dengan manja, lalu tangannya bergelayut manja di leher Leo.

Leon? Sapaan yang terdengar akrab, sepertinya wanita itu sudah lama mengenalnya, apa mungkin itu adalah kekasih dari Leo?

"Gabriell, kebiasaan sekali, setiap aku berkunjung kau selalu saja bersikap manja, kau tau tidak?" ucap Leo. Membuat wanita itu menggeleng pelan.

"Kau selalu tampil menggoda," lanjutnya, seraya mencolek dagu wanita itu.

"Kamu ini," ucap gadis itu tersipu malu.

"Malam ini, aku menginap di sini." Leo pun memasuki rumah tersebut tanpa izin. Ya! Bisa kalian tebak mereka mempunyai hubungan khusus.

"Dengan senang hati." Gabriell pun ikut mengekori langkah Leo.

"Leon?" panggilnya, ketika mereka berdua sudah duduk di ruang tamu, Leo hanya menatapnya dengan datar dan tanpa bersuara.

"Dulu, kau pernah bilang. Jika kau akan menikahiku?"

Deg!

Menikahinya? Bagaimana mungkin! Ia sudah memiliki istri, tidaklah mungkin jika dirinya harus menikah lagi. Meski Leo tidak mempunyai rasa untuk Tara.

"Em, soal itu, ya, aku harus memikirkannya kembali, akhir-akhir ini aku sibuk, aku belum berpikiran untuk menikah secepat ini, apa kau mau menunggu?" ucapnya, Leo pun mengelus rambut Gabriell dengan lembut.

Ada apa dengan mereka? Sejauh apa Gabriell mengenal Leo, jika Tara mengetahui hal ini, mungkin hatinya akan patah berkali-kali lipat. Leo memang tidak punya hati!

Continue.

Love Me, Please! [Sudah Terbit] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang