~Happy Reading~
Sinar mentari perlahan mulai menyeruak ke sela-sela ventilasi kamar. Langkahku mengayun untuk pergi membersihkan seluruh tubuh, pagi ini seluruh badanku terasa sakit. Namun, aku harus mengabaikannya. Sebab, pagi ini aku mempunyai janji dengan Leo.
Entalah. Kenapa Leo menyuruh untuk datang sepagi ini. Pria itu penuh dengan teka-teki, dikap dingin yang menusuk sampai tulang belulang itu membuatku tak berani untuk bertanya, kenapa aku harus datang sepagi ini, dan meninggalkan mata kuliahku.
"Pagi, Pak." Aku menyapa satpam yang tengah sigap di depan rumah mewah Leo.
"Pagi. Silahkan masuk. Tuan sudah menunggu anda di dalam, silahkan." Satpam itu membawaku masuk ke rumah tersebut.
Saat aku mulai memasuki rumah itu. Di ruangan utama terlihat seorang laki-laki paruh baya yang sudah rapi mengenakan jas berwarna hitam. Aku tidak bisa menebak siapa laki-laki tua itu. Namun, dia terlihat seperti seorang penghulu, apalagi dengan beberapa kertas dan catatan, yang terletak di atas meja. Tetapi, aku tidak melihat ada Leo di sana.
"Acaranya bisa dimulai sekarang, Pak." Suara Leo terdengar jelas, laki-laki itu baru saja keluar dari kamarnya. Dengan memakai kemeja berwarna putih laki-laki itu pun menghampiri kami.
Ada apa ini? Apa mungkin ini adalah hari pernikahanku? Sesederhana inikah? Bahkan, yang hadir hanya orang-orang yang bekerja di rumah Leo. Sepertinya Leo tidak main-main dengan syaratnya. Sungguh kejam!
"Kau cepat duduk!" tukas Leo. Aku pun mengiakannya.
Jujur, ini adalah sebuah pernikahan paling buruk. Sebelumnya aku tidak pernah membayangkan pernikahan yang aku idamkan indah dan mewah, malah seperti ini. Aku kecewa. Namun, di satu sisi anak yang tengah dikandung membutuhkan seorang ayah.
"Bisa saya mulai?" tanya penghulu tersebut, dan Leo pun mengangguk mengiakan.
Air mata lolos ketika para saksi mengatakan kata SAH. Kini, aku sudah sah menjadi istri seorang pengusaha yang sukses. Namun, dipernikahan yang hanya di atas kertas ini membuatku sangat sakit. Jika saja, Leo tidak sekejam itu mungkin ini adalah hari yang paling membahagiakan, tapi kenyataannya pernikahan ini awal dari penderitaanku.
Sebenarnya, aku sama sekali tidak menginginkan pernikahan ini. Apalagi dengan semua persyaratan yang tidak adil sama sekali untukku. Tidak didasari cinta sedikit pun, semua ini terjadi atas dasar keterpaksaan dari dua belah pihak.
Meskipun Leo kaya akan harta, orang yang begitu disegani, tetapi mereka tidak tahu sifat buruknya, yang membuat aku membencinya. Sakit sekali, jika sekarang saja sudah seperti ini, bagaimana rumah tangga yang akan kita bangun kedepannya. Apakah pernikahan ini bisa dipertahankan?
Aku hanya berharap suatu saat nanti, Leo akan berubah. Aku akan berusaha merubahnya meski aku tahu itu semua tidaklah mudah. "Leo, aku akan membuatmu mencintaiku."
Semua orang yang menyasikan acara ini, mulai berhamburan. Mereka kembali bekerja. Kini, hanya ada aku dan Leo. Tubuhku masih berdiri, masih tidak menyangka jika saat ini statusku sudah menikah. Menikah tanpa dasar cinta.
"Bagaimana senang?" cibir Leo.
"Tidak!" Aku menjawabnya dengan jujur. Bahkan, netraku sama sekali tak melihat ke arahnya.
"Sebenarnya apa maumu, Tara!" Leo mencekal lenganku dengan kasar.
"Lepas. Sakit!"
"Diberi uang tidak mau! Kau meminta agar aku menikahimu, sekarang aku turuti keinginanmu, tapi kau malah menjawab dengan kata yang tak ingin aku dengar!" pekik Leo, cekalannya semakin kasar, membuatku meringis kesakitan.
"Lepas, Leo. Ini sakit sekali," lirihku.
"Ck! Ini hanya awalan, siapa suruh kau memintaku untuk menikahimu, lihat saja. Berapa lama kau akan bertahan di rumah ini!" Leo melepaskan cekalannya dengan kasar membuat tubuhku sedikit terhuyung, lalu ia pun berlalu pergi.
"Seperti inikah, perlakuan suami terhadap istrinya? Benar apa kata Isma, menikah dengan Leo hanya akan menjerumuskanku ke dalam lembah penderitaan." Lagi-lagi aku berucap lirih.
"Bi Inah, Bi Ratih, dan Bi Retno! Kembali menghadapku!" teriak Leo menggelegar di seluruh sudut ruangan. Sepertinya Leo tidak cukup puas membuatku menderita. Jadi, apa yang akan dilakukannya sekarang?
Tak butuh waktu lama mereka bertiga pun datang. Aku melihat para pembantu itu berjalan menghampiri Leo, yang tengah berada di ruang televisi—tak jauh dari posisiku saat ini.
"Kalian berdua terpaksa saya pecat! Kecuali, Bi Inah," ucap Leo membuat kedua pembantu itu terkejut.
"Emm, a-anu ... Tuan, memangnya kami salah apa?" tanya salah satu dari mereka.
"Kalian tidak salah, hanya saja saya tidak ingin melihat wanita itu hidup enak di rumah ini dan bermalas-malasan. Maka dari itu dia yang akan menggantikan kalian berdua." Leo menjelaskan dengan sangat rinci, membuat hatiku kembali sakit.
"Ta-tapi, Nona itu istri, Tuan." Salah satu di antara ketiganya itu berucap. Ah, sepertinya itu Bi Inah, pikirku.
"Aku tidak peduli, di mataku dia tidak pantas menjadi seorang istri!" Leo meninggalkan ruangan itu dan memasuki kamarnya. Sedangkan Bi Retno, dan Bi Ratih mereka langsung mengemaskan barang-barangnya.
"Kami tidak apa-apa jika harus berhenti. Neng, yang sabar, ya." Itulah kata pertama dan terakhir yang mereka ucapkan kepadaku.
"Tara pasti kuat, makasih, ya, Bi. Tara minta maaf." Mereka berdua mengangguk seraya tersenyum, lalu mereka pun berlalu pergi.
Air mataku berhasil lolos kembali. Aku cengeng? Ya. Sebab, ucapan Leo begitu menyakitkan, aku hanya menatap sayu Bi Inah yang berjalan menghampiriku. Di matanya mungkin aku gadis yang malang. Lihatlah betapa menyedihkannya diriku.
"Nyonya, tidak apa-apa?" tanyanya dengan lembut.
"Aku tidak apa-apa, Bi. Mari ada pekerjaan apa yang bisa Tara bantu?" alibiku. Air mata yang hampir lolos berhasil aku tahan.
Bukannya menjawab pertanyaanku, Bi Inah malah mengelus puncak kepalaku. "Sabar, Nak. Tuan memang keras. Kamu harus lebih sabar menghadapinya, ya." Bi inah terus menenangkan. Seulas senyum pun mulai merekah dari bibir tipisku.
"Iya, Bi. Mungkin Tara belum terbiasa saja," ucapku.
"Oh, ya, Bi. Panggil Tara aja, nggak usah nyonya."
Bi Inah tersenyum. "Baiklah, yasudah, Bibi kebelakang dulu ya," ujar Bi Inah dengan lembut.
"Kalo gitu Tara ikut, ya, siapa tau ada yang bisa Tara bantu gitu."
"Pekerjaan rumah jam segini udah beres, Nak."
"Em ... anu, Bi. Kalo gitu Tara izin keluar sebentar ada yang harus Tara urus, boleh?"
Bi Inah hanya tersenyum sebagai jawaban, untung saja di rumah ini masih ada orang yang berbaik hati kepadaku. Tidak seperti Leo. Kejam dan sangat menyebalkan. Ck!
"Pulanglah tepat waktu. Jangan sampai tuan marah lagi." Bi Inah kembali mengingatkanku.
"Iya, Bi." Aku berlalu pergi meninggalkan rumah. Meskipun di dalam rumah tidak ada sepercik kebahagiaan. Setidaknya aku bisa menemukannya di luar.
Continue.
KAMU SEDANG MEMBACA
Love Me, Please! [Sudah Terbit]
Fiksi UmumPernikahan itu adalah bencana. Menikah dengan seseorang yang memiliki harta berlimpah, ternyata tak menjamin sebuah kebahagiaan. Dia bertahan meski dikecam luka sekali pun. "Jika pun memang hamil, kenapa kau tidak menggugurkannya saja? Apa tarif ya...