Love Me, Please! - 30

18.3K 546 16
                                    

~Happy Reading~

Lirih alunan desah terpancar jelas dari sorotan mata seorang perempuan yang tengah menatap kosong ke arah jendela. Sepanjang waktu ia habiskan hanya untuk melamun, tubuhnya semakin kurus. Sebab, sudah dua hari ia tak mau mengisi perutnya.

Hari berjalan begitu buruk, derai air mata selalu membanjiri kedua pipi mulusnya. Kenyataan apalagi yang harus ia terima? Ketika sudah sabar menjadi bahan gunjingan para tetangga. Mengapa kini ia harus kehilangan anaknya.

Dunia ini memang tidak adil!

Di ruangan ini hanya ada dirinya seorang diri, setiap ada orang yang masuk ia selalu berteriak menyuruh mereka pergi. Entah, itu suster atau pun Isma-sahabatnya. Sesekali gadis itu meracau tidak jelas. Mengelus perutnya seakan ia masih dalam keadaan hamil seperti hari-hari sebelumnya.

Miris!

Seulas senyum merekah. Namun, sepersekian detik ia kembali menangis. Keadaannya masih kurang stabil, hal yang wajar jika seseorang kehilangan bagian dari hidupnya. Bukankah begitu?

Jangankan untuk mengisi perut, mengkonsumsi obat saja ia tidak mau. Keadaan Tara tampak menyedihkan. Ada bercak darah di bajunya, tepat dibagian perutnya. Sepertinya bekas operasi itu kembali terbuka. Ah, Tara. Ayolah sadar.

"Setelah aku kehilangan anakku. Apa yang akan terjadi setelah ini? Mungkinkah aku akan kehilangan nyawaku sendiri?" lirihnya, ia menyeka air matanya. Berusaha menerima dan menegarkan hatinya. Namun, percuma. Itu terlalu sulit untuk dilakukan.

Isma berusaha masuk ke ruangannya, seraya membawa nampan yang berisi bubur dan segelas air putih. Untuk yang kesekian kalinya Isma berusaha menyuruh Tara untuk makan, dan semoga kali ini berhasil.

Isma gadis yang baik, ia rela izin cuti hanya untuk menemani Tara. Gadis itu terus berusaha membuat Tara sadar, bahwa semuanya sudah kehendak Allah SWT.

"Tara. Makan, ya?" Isma mendekati Tara yang masih setia melemparkan pandangannya ke arah jendela. Mata sembap, bibir yang kering itu terpatri jelas. Terkadang Isma merasa gagal menjadi seorang sahabat.

"Tidak ada yang menyuruhmu masuk, keluarlah, Isma." Sudah bisa ditebak sebelumnya, jika gadis itu akan berkata sedemikian.

Isma terus-menerus membujuknya, agar gadis itu mau membuka mulutnya, guna mengisi perutnya yang kosong. Sayang, ia masih enggan untuk makan. Lalu, apa yang harus Isma lakukan? Semenjak hari di mana Tara selesai operasi Leo mau pun Ryzan tak ada yang menjenguk Tara.

Ada apa dengan Ryzan? Mengapa laki-laki itu hilang begitu saja? Tapi, jika Leo ... Isma sangat memahami laki-laki itu, tidak mungkin pria itu datang ke rumah sakit apalagi dirinya sudah tidak mempunyai status apa pun dengan Tara.

"Ra? Sampai kapan kamu seperti ini? Makanlah walau hanya sedikit," ucap Isma dengan lembut.

Tara menatap tajam ke arah Isma. Lalu, ia menyeringai. Isma melangkah mundur, ia tidak bisa memahami apa maksudnya tatapan itu. Untuk yang pertama kalinya Isma ditatap seperti ini. Ini seperti bukan Tara, melainkan orang lain.

"Keluar! Aku tidak butuh itu semua." Seketika tangis Tara menggelegar memenuhi seisi ruangan. Ia melempar barang-barang yang ada di dekatnya. Kini, Tara melempar vas bunga tepat di pelipis Isma. Darah segar tiba-tiba mengalir dari pelipisnya-Isma merintih.

"Isma!" pekik seorang laki-laki yang baru saja masuk ke ruangan Tara.

"Ry ... Ryzan?"

"Panggil suster, Zan."

"Obati lukamu saja dulu."

"Lukaku tidak seberapa. Panggil saja dokter sekarang. Akhir-akhir ini emosi Tara sering tidak terkontrol," ucap Isma. Setelah itu Ryzan segera memanggil dokter dan juga perawat yang beberapa hari ini menjadi perawat khusus untuk Tara.

Tidak perlu menunggu lama. Kini, dokter dan juga perawat itu memasuki kamar di mana Tara dirawat. Terlihat seorang suster yang tengah menyiapkan sebuah alat suntik dan juga cairannya.

Ryzan menatap aneh, untuk apa suster tersebut menyiapkan suntikan? Harusnya obat bukan? Setelah dokter selesai memeriksa keadaan Tara, kini giliran suster tersebut menyuntikkan suntikan tersebut pada bagian paha Tara.

Tubuh Tara melemas seketika, yang awalnya berteriak dan menangis tidak jelas kini tubuh Tara jatuh lemas begitu saja. Seakan ia kehilangan semua tenaganya.

"Biarkan dia istirahat. Jangan sampai kalian memancing emosinya. Karena itu semua bisa menganggu psikisnya." Setelah berucap dokter itu kembali memeriksa pasien lainnya.

"Akhir-akhir ini suster sering memberi suntikan penenang ke Tara," ucap Isma.

"Oh, ya, kau ke mana saja? Menghilang tanpa kabar."

Ryzan terkekeh pelan. "Waktu kejadian itu, mama telepon. Papa kecelakaan pas perjalanan pulang," ucap Ryzan.

"Kenapa pergi begitu saja? Setidaknya kau bisa memberiku kabar, Zan."

"Aku tidak memegang ponsel sama sekali ketika papa masuk rumah sakit, tadinya aku ingin meminta izin langsung sebelum aku pergi, Tapi, kau terlalu panik ketika dokter baru saja keluar dari ruang operasi. Di waktu yang bersamaan mama telepon. Jadinya, aku pergi begitu saja."

"Lalu, bagaimana keadaan papamu, sekarang?"

"Dia baru saja sadar tadi pagi, dan aku baru bisa ke sini sekarang. Dua hari sebelumnya aku menemani mama. Sekarang keadaannya sudah membaik."

"Ah, syukurlah." Isma bernapas lega, lalu ia tersenyum.

"Aku minta maaf."

"Tidak apa, Zan. Lagi pula itu bukan kemauanmu. Sekarang kau bisa melihat keadaan Tara sekarang, 'kan?"

Menyedihkan. Ya, itulah kata yang ada dipikiran Ryzan setelah ia melihat Tara yang tertidur pulas di atas brankarnya. Hati Ryzan terenyuh, bagaimana mungkin Tara bisa jatuh dari lantai dua? Mungkinkah, Tara merasa pusing atau lain halnya? Entahlah.

Semenjak kejadian itu rumah sakit dihebohkan dengan berita jika ada wanita hamil yang jatuh dari lantai dua. Hingga kabar itu sampai kepada Leo. Maka dari itu kenapa Leo tiba-tiba datang ke rumah sakit.

Sampai sekarang belum diketahui apa penyebab jatuhnya Tara. Pihak rumah sakit dan polisi pun kesulitan untuk menemukan bukti yang kuat. Apalagi cctv di tempat itu tengah rusak.

"Leo, mengetahui akan hal ini?" tanya Ryzan.

"Dia tahu. Kemarin sempat datang. Tapi, Tara menuduhnya, jika Tara didorong dari lantai dua itu ada hubungannya dengan Leo. Makanya Tara kemarin teriak-teriak kalo Leo itu pembunuh."

"Ini semua tidak masuk akal, Zan. Nggak mungkin Tara jatuh gitu aja. Aku yakin ada orang yang berniat jahat pada Tara, tapi siapa?"

Ryzan hanya diam. Laki-laki itu tidak bersuara kembali. Akhir-akhir ini banyak sekali perubahan pada Ryzan. Apa yang sebenarnya terjadi? Apakah Ryzan terlibat dalam kejadian itu. Rasanya tidak mungkin. Bukan?

"Zan? Kok diam?" tanya Isma. Suara Isma mampu membuyarkan lamunan Ryzan. Laki-laki itu menatap Isma lalu tersenyum kikuk.

Dasar aneh!

"Ah, ya. Kenapa?"

Isma menggeleng pelan. Gadis itu menatap Ryzan dalam-dalam. "Kau baik-baik saja, 'kan?" tanya Isma menyelidik.

"Tentu."

Continue.

Love Me, Please! [Sudah Terbit] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang