~ Happy Reading~
Dengan tidak sabarnya Leo mengendarai mobil dengan kecepatan di atas rata-rata. Bagaimana tidak? Leo ingin segera mendapatkan persetujuan dari Yvone agar Tara bisa segera didiagnosa. Ya, laki-laki itu begitu mengkhawatirkan sosok perempuan yang akhir-akhir ini psikisnya tergganggu.
Leo membanting stirnya dengan kasar. Ah, shit! Ia terjebak dalam keramaian jalanan-macet. Sepertinya untuk kembali tiba setengah jam di tempat Fano itu tidaklah mungkin.
Hari sudah mulai gelap, pasalnya Leo, Isma, dan Tara pergi ke rumah Fano itu pada sore hari. Sebab, jika akan menemui seorang psikiater harus membuat janji terlebih dahulu. Maka dari itu, sore ini mereka baru bisa bertemu.
Lima belas menit dirinya terjebak macet, untung saja kini jalanan sudah kembali normal. Tanpa basa-basi Leo pun kembali menancapkan mesin mobilnya agar segera sampai di tempat tujuan.
Hanya butuh waktu sepuluh menit. Kini, mobil Leo sudah terpakir di pekarangan rumah Yvone. Rumahnya tampak gelap dan juga sepi. Apakah Yvone sedang tidak ada di rumah? Entahlah.
Leo mulai mengetuk pintu utama rumah minimalis tersebut. Sudah beberapa kali ia mengetuk pintu. Namun, tidak ada jawaban sama sekali. Sial! Kemana perginya gadis itu. Leo menjambak rambutnya dengan frustrasi. Ia tidak suka membuang waktunya seperti ini. Tapi, jika bukan demi Tara, mana mungkin ia mau melakukan hal konyol seperti ini.
"Ada apa kau datang ke rumahku?" Suara seorang perempuan itu menarik perhatian Leo, wajah yang tadinya tampak kusut kini berubah seketika.
"Aku butuh bantuanmu."
"Ck! Bantuan apa? Jika berhubungan dengan Tara aku tidak sudi," ucapnya. Yvone cenayang?
"Bisa ikut denganku?"
"Tidak!" Belum saja Leo menjelaskan kemana ia akan membawanya pergi. Yvone sudah menolak mentah-mentah.
"Baik. Kalau begitu bisakah kau menandatangani ini?" Leo mengeluarkan secarik kertas yang Fano berikan sebelum dia pergi. Kertas itu bertuliskan persetujuan pihak keluarga.
"Ck! Tara gila?" Yvone tersenyum sinis. Wanita itu masih enggan membantunya. Jujur, emosi Leo ingin membludak saat ini juga. Namun, semua ia tahan, daripada makin memperkeruh suasana.
"Tidak usah basa-basi!" seru Leo.
"Aku tidak mau." Yvone menepis kertas tersebut. Lalu, melangkah pergi dari hadapan Leo begitu saja. Bolehkah Leo membunuh wanita itu sekarang juga? Ia benar-benar muak.
"Butuh berapa?"
Yvone membalikan tubuhnya menatap Leo. Gadis itu tersenyum menggoda. Ck! Sungguh ia sangat suka jika sudah berurusan tawar-menawar soal uang. Ya, tidak dapat dielakkan Yvone adalah seorang matrealistis, hidupnya selalu bergantung pada uang.
"Aku tidak butuh uangmu. Aku menginginkanmu, bagaimana?" Yvone mencolek dagu Leo dengan manja. Membuat emosinya semakin menggebu.
"Aku tidak suka membuang waktu." Leo menepis tangan Yvone dengan kasar, membuat gadis itu berdecak tidak suka.
"Berapa yang akan kau berikan?"
"Berapa pun!"
"Baiklah. Aku menyetujuinya."
Tidak peduli seberapa banyak nominal yang ia keluarkan. Jika, itu semua bisa membuat Tara sembuh. Ah, ayolah untuk meminta tanda tangan saja ia harus mengeluarkan uang dengan jumlah yang tidak sedikit. Dasar matre!
***
"Apakah ia pernah mengalami pelecehan seksual atau kecelakaan?"
"Pelecehan seksual. Iya, dan untuk kecelakaan. Beberapa hari yang lalu Tara jatuh dari lantai dua sampai dia kehilangan anaknya," jelas Isma. Leo hanya diam. Memang semua yang dikatakan Isma itu benar.
"Bisa saya lihat, psikisnya sangat ternganggu. Dia mengalami Depresi Mayor. Gejala utama dari depresi mayor termasuk perasaan sedih, nelangsa, atau putus asa yang terus menerus; kehilangan minat dan gairah untuk melakukan hal yang dulu dianggap menyenangkan; kehilangan nafsu makan dan penurunan berat badan; dan sulit tidur. Tidak sedikit orang dengan depresi mayor yang juga memiliki pemikiran bunuh diri atau kecenderungan ingin bunuh diri."
"Yang kedua Tara mengalami PTSD (post-traumatic stress disorder) atau gangguan stres pascatrauma. Penyakit ini adalah gangguan mental yang muncul setelah seseorang mengalami atau menyaksikan peristiwa yang tidak menyenangkan. Ptsd merupakan gangguan kecemasan yang membuat penderitanya teringat pada kejadian traumatis."
"Sewaktu-waktu ia bisa saja berhalusinasi yang berujung membahayakan nyawanya sendiri."
"Apa mungkin pas Tara jatuh dari lantai dua itu, efek halusinasi juga?" Leo bersuara.
"Bisa kalian perhatikan dengan baik, Tara selalu mengibaskan tangannya seolah ia tengah mengusir seseorang. Padahal tidak ada siapa-siapa, bukan? Kemungkinan besar itu dia sedang berhalusinasi."
"Leo, haruskah kita melakukan penyelidikan? Apakah Tara didorong apa ia hanya berhalusinasi saja."
"Nanti kita bicarakan," bisik Leo pada Isma.
"Lalu, apakah Tara bisa sembuh seperti sediakala?" Leo kembali memfokuskan obrolannya dengan Fano.
"Bisa. Asalkan Tara rutin mengonsumsi obat, saya sarankan juga untuk melakukan psikoterapi. Untuk gangguan PTSD, Tara cukup mengonsumsi setraline dosis awal yaitu 25 mg per hari. Namun, dalam penggunaannya harus dikonsultasikan ke dokter terlebih dahulu. Agar tidak salah dosis dan malah menimbulkan efek samping tinggi," jelas Fano.
"Lalu, untuk obat gangguan depresi mayor, saya menyarankan untuk mengonsumsi anti depresan obat oral jenis Amitriptyline. Untuk penggunaannya dimulai dengan dosis 50-75 mg sehari sekali sebelum tidur, atau dibagi menjadi beberapa kali minum. Dosis dapat ditingkatkan secara bertahap, bila nanti tidak ada perubahan pada Tara. Kedua obat ini bisa ditebus di apotek terdekat. Dengan menunjukkan resepnya."
"Baik, Pak. Ah, ya. Bagaimana cara menjaganya? Tidak mungkin jika ia terus berada di rumah sakit," ucap Leo.
"Pastikan emosinya selalu terkontrol, lebih banyak memberinya perhatian, dan yang paling penting jauhkan dari barang-barang yang bisa membahayakan nyawanya. Sebab, penyakitnya bisa kambuh kapan saja."
Leo dan Isma sangat paham apa yang sudah dijelaskan oleh Fano. Ya, ternyata Tara terkena Depresi Mayor dan juga PTSD. Pantas saja, akhir-akhir ini ia selalu berhalusinasi tidak jelas. Keadaan Tara sekarang jelas membuat Leo sangat terpuruk.
Leo melirik ke arah kursi belakang. Terlihat wajah Tara yang begitu pucat, bibir yang selalu terlihat cerah, kini berubah pasi. Tatapannya selalu kosong, entah apa yang tengah ia pikirkan. Tekanan mau pun makian dari Leo mampu membuat gadis itu mengalami depresi. Tara terlalu pandai menyimpan segala kesakitannya. Ah, ralat. Namun, Leo-lah yang tak pernah memperlakukannya dengan baik.
"Ini semua salahku," ucap Leo. Kini, mereka sudah berada di dalam mobil dan memutuskan untuk segera pulang.
"Baguslah, jika kau sudah menyadarinya," ujar Isma. Gadis itu masih setia memeluk tubuh mungil Tara, sedari tadi Tara hanya diam tak bersuara sedikit pun.
"Maaf," lirih Leo.
"Terlambat."
Leo menarik napasnya lalu membuangnya dengan pelan. Jawaban dari Isma sungguh menohok, perkataannya memang benar. Lalu, apa yang harus Leo lakukan? Menyesali? Tentu saja. Andai waktu bisa berputar, ketika Tara memohon agar ia bisa mencintai dirinya dan memperlakukannya dengan baik. Detik itu juga Leo akan mengatakan YA.
Terlambat, Leo!
'Sembuhlah, Tara. Aku merindukanmu, maaf atas kesalahan hari lalu, jika ada kesempatan kedua. Aku akan mencintaimu sepenuh hati!' batin Leo.
Continue.
KAMU SEDANG MEMBACA
Love Me, Please! [Sudah Terbit]
General FictionPernikahan itu adalah bencana. Menikah dengan seseorang yang memiliki harta berlimpah, ternyata tak menjamin sebuah kebahagiaan. Dia bertahan meski dikecam luka sekali pun. "Jika pun memang hamil, kenapa kau tidak menggugurkannya saja? Apa tarif ya...