Love Me, Please! - 8

16.7K 755 13
                                    

~Happy Reading~


Bisakah kita bertukar takdir? Aku rindu menghirup udara kebahagiaan, aku ingin seperti remaja lainnya, yang menghabiskan waktunya tanpa kepedihan. Entah, berapa lama aku dirundung luka, dan entah berapa lama juga aku sabar menghadapinya.

"Sudah, Tara. Sekarang pulanglah, aku khawatir Leo akan marah padamu," tukas Isma.

Ya, aku masih berada di caffe, bersama Isma yang masih setia menenangkan. Meski tidak ada Ryzan, aku yakin Ryzan tidak benar-benar marah, jika pun ia aku sangat memakluminya. Kini, aku bergegas untuk segera pulang. Namun, ketika aku membuka pintu rumah, Leo sudah berdiri tepat di hadapanku.

"Dari mana saja, kamu?" tanyanya, suara yang khas dinginnya itu membuat seluruh tubuhku bergetar. Harusnya aku tidak perlu takut, karena memang diriku sendirilah yang salah.

"A ... ada urusan yang harus aku bereskan hari ini. Maaf."

"Apa kau tidak punya mulut?"

"Tentu saja punya."

"Gunakan mulutmu dengan benar. Aish! Baru tinggal beberapa jam sudah berani mengabaikanku. Memang tidak tahu sopan santun." Leo menggerutu, jujur aku merasa tertampar oleh semua perkataannya.

"Masuk! Bersihkan semua rumah, lalu buatkan aku makanan!" ucapnya seraya berlalu pergi. Ya, aku rela mengorbankan fisik dan perasaanku, hanya demi anak yang ada dalam perutku.

Dulu, di mataku Leo adalah orang yang paling sempurna. Namun, ternyata aku salah, ia adalah manusia yang paling menyebalkan yang pernah aku kenal, Leo memang sangat tampan, tetapi apa tampan saja cukup untuk membuatku bahagia?

Tidak!

Mungkin aku adalah wanita terbodoh. Sebab, telah menjerumuskan diri sendiri ke dalam semua permasalahan ini. Entah, ini keputusan yang baik atau sebaliknya. Aku tidak tahu.

Bahkan aku merasa seakan jiwa ini masih hidup. Namun, raga seperti mati, semua tampak membosankan dan menyakitkan, jika bunuh diri tidak dosa rasanya aku ingin mati saja. Sebab, menikah dengan pria tampan dan kaya pun tak menjamin sebuah kebahagiaan.

"Baru hari pertama, Ra. Kamu bisa, harus kuat demi anakmu," ucapku dengan pelan, lalu perlaham aku mulai membersihkan semua sudut ruangan dan memasak seperti apa yang Leo suruh.

Menikah tanpa didasari rasa cinta apakah seperti ini? Suami bebas bertindak apa yang mereka sukai, sedangkan sang istri hanya bisa menuruti semua perintahnya. Layaknya seorang babu yang mengabdi kepada majikannya.

"Kenapa, Nduk. Kamu menangis?" tanya wanita paruh baya itu, yang tak lain adalah Bi Inah.

"Ngg ... nggak kok, Bi," ucapku, dengan cepat aku menyaka air mataku. Meski Bi Inah suah terlanjur melihatnya, tapi aku tak seharusnya secengeng ini.

"Em, tadi Tara dengar ada suara bel. Ada tamu, ya?" tanyaku.

Bi Inah hanya diam, sepertinya ia sedang membunyikan sesuatu. Tapi, apa itu? "Bi?" panggilku lagi.

"Oh, itu rekan kerja tuan, Nduk."

Aku hanya mengangguk sebagai jawaban, setelah pekerjaan rumah selesai. Ya, meskipun Bi Inah ikut serta membantuku memasak. Dalam keadaan hamil muda begini, bekerja meski tidak terlalu berat itu sangat melelahkan, apalagi aku masih sering merasakan mual dan pusing.

"Kalo nanti Tara panggilkan Leo untuk makan, apakah tidak megganggu, Bi?"

"Nanti biar Bibi saja, selesai memasak kamu harus beristirahat. Kerja terlalu capek nggak baik buat kesehatan bayimu."

"Tapi, kalo Tara nggak ngapa-ngapain, Leo pasti marahin Tara, Bi. Jujur aja baru hari pertama saja sudah seperti ini, apalagi kedepannya," lirihku.

"Bertahanlah, Nduk. Ini semua demi anakmu." Bi Inah berusaha menenangkanku.

"Entah, sampai kapan Tara kuat menghadapi perlakuan Leo, yang jelas Tara tidak akan menyerah. Semangat kyaaa!"

"Bibi salut sama kamu, di usia yang terbilang masih muda, kamu sudah menanggung beban seberat ini."

"Karena hidup ini masih terus berjalan di saat napas masih menghela. Semua akan Tara pertanggung jawabkan, Bi."

"Ada Bibi di sini, jangan sungkan untuk bercerita."

Aku hanya tersenyum. "Terima kasih, Bi."

"Em ... oh ya, Bi? Leo suka makanan apa, ya?" tanyaku seraya mengambil beberapa bahan masakan.

"Tuan suka sekali dengan masakan yang serba memakai kecap, asal jangan pedes aja. Tuan tidak suka."

"Iyalah, Bi. Orang perkataannya juga udah pedes kok! Jadi, jangan dikasih makanan yang pedas juga," ucapku asal. "Kamu ini bisa aja, cepet masak. Nanti suamimu marah lagi," ujarnya.

"Siap, Bos." Aku sedikit terhibur, tidak terlaru larut dalam kesedihan lagi. Kini, tanganku mulai telaten memotong sayuran dan bahan lainnya.

'Mungkin jika aku bisa menjadi istri yang baik, Leo tidak akan marah-marah lagi padaku, jadi tidak ada salahnya, jika aku mencobanya!' batinku bersuara.

Aku begitu jeli dalam memasak apalagi aku pernah bekerja disebuah restoran membuat pengetahuan memasakku menjadi luas, dan sekarang aku harus membuktikan jika aku pantas untuk dianggap seorang istri, aku tidak akan mudah menangis dan mengeluh. Aku harus kuat. Demi masa depanku.

Aku sudah menghabiskan waktu cukup lama untuk memasak semua makanan ini, dan sekarang sudah selesai tinggal disajikan di meja makan. Dengan senyum yang merekah aku mulai menata semua masakanku, semoga Leo akan menyukainya.

"Huh, akhirnya selesai." Aku tersenyum lebar kala semua masakan itu sudah tertata rapi di sana, sekarang tinggal menyuruh Leo untuk makan.

Aku melangkah menuju ruangan Leo, memberanikannya untuk masuk. Kata Bi Inah Leo baru saja pulang setelah tadi keluar bersama rekan kerjanya. Ya, Leo memang tampak sibuk, untung saja aku siap tepat waktu menyelesaikan semu masakannya.

Beberapa kali aku mencoba mengetuk pintu ruangan Leo. Namun, sama sekali tidak ada suara yang menyuruhku untuk masuk. Apakah Leo tertidur? "Em, Leo aku sudah selesai masak, kamu mau makan sekarang?" ucapku dari balik pintu.

"Aku sudah tidak mood, kau makan saja sendiri," ucapnya, setelah ia membukakan pintu untukku.

"Tapi, aku sudah masak makanan kesukaanmu."

"Sudah kubilang aku tidak mood. Jangan biarkan aku mengulang kata-kataku, paham?" bentaknya.

Sialan! Apa yang sebenarnya laki-laki ini inginkan. Bukan seperti ini caranya jika ingin mengusirku dari rumah. Ingin rasanya melawan. Namun, sudahlah aku sadar siapa aku. Kini, aku hanya menunduk, sudah capek-capek memasak tapi tidak dihargai sama sekali. "Ta--"

"KELUAR! AKU TIDAK SUKA MELIHAT WAJAHMU."

Brak!

Leo menutup pintunya dengan begitu keras, membuatku sedikit terkejut. Hatiku menangis menghadapi semua perlakuan Leo, ingin rasanya aku mencabik-cabik seluruh tubuhnya.

"Sabar, Tara. Semua butuh proses, nikmati saja," gumamku.

Continue.

Love Me, Please! [Sudah Terbit] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang