~Happy Reading~
Sebab, tidak selamanya kehidupan itu selalu berdampingan dengan kebahagiaan. Ada kalanya kamu terpuruk, dan disaat itu juga kesabaranmu diuji.
Sudah hampir dua minggu berlalu. Namun, kondisi Tara semakin parah, ia tak mau mengkonsumsi obat juga tidak mau makan. Isma maupun Leo semakin kesusahan untuk kembali menenangkan Tara jika penyakitnya sudah kumat.
Sudah beberapa kali Leo merujuk Tara untuk berobat. Namun, perempuan itu selalu mengamuk tidak jelas. Bukan hal mudah untuk menyembuhkan Tara saat ini. Apalagi Tara dianjurkan untuk dirawat di rumah sakit jiwa saja.
Miris!
Leo benar-benar tidak tahu apa yang harus dirinya lakukan, jika ia memaksakan untuk merawat Tara di rumah, yang ada kondisi Tara semakin jauh lebih buruk. Lebih buruk dari sekarang.
Terlihat di pojokan kamar seorang perempuan tengah memilin ujung bajunya, sesekali ia tertawa, lalu sepersekian detik ia kembali menangis histeris. Meminta agar anaknya dihidupkan kembali. Jelas itu tidak mungkin.
"Kembalikan anakku!" Tara kembali meracau tidak jelas. Jangan tanya penampilannya saat ini. Buruk sangat buruk, jangankan untuk meminum obat mandi pun Tara enggan. Jika ada orang yang mendekatinya, ia selalu tiba-tiba marah.
"Lihatkan ini semua ulahmu, Leo!" pekik Ryzan. Ya, setelah ayahnya sembuh total. Kini, Ryzan lebih sering mampir ke rumah Tara untuk menjenguknya.
"Aku? Ini juga kesalahanmu karena teledor menjaga Tara!" hardik Leo. Laki-laki itu jelas tidak terima jika ia terus disalahkan.
"Sudah! Sudah! Tidak ada gunanya kalian saling menyalahkan, ini semua sudah takdir Tara. Bersikaplah dewasa, jangan semakin memperkeruh suasana." Isma akhirnya bersuara. Betapa kesalnya ia melihat dua manusia itu yang hampir setiap hari saling menyalahkan.
Muak!
"Aku sudah tidak sanggup untuk merawat Tara, kasian jika ia harus seperti ini terus," lirih Isma.
"Tapi, apa boleh buat? Aku tidak bisa merujuk Tara ke rumah sakit jiwa, Tara tidak gila!" ucap Leo. Ya, ia sangat tidak menginginkan jika Tara harus dirawat di rumah sakit jiwa. Bagaimana mungkin wanita yang ia sayang dan cintai harus menetap di tempat seperti itu. Tidak!
"Tapi apakah kau tidak ingin melihat Tara sembuh? Jika terus dibiarkan, kondisi Tara akan semakin memburuk, dan kau orang yang paling bodoh karena menolaknya untuk dirujuk," tutur Ryzan.
Haruskah Leo pasrah? Haruskah rasa cintanya berakhir di sini? Rasanya sangat sakit melihat kondisi Tara saat ini. Namun, mungkin ini sudah jalan takdirnya. Jika dulu ia tak pernah memberikan kasih sayang, mulai detik ini juga ia akan memberikan sepenuh hatinya meski kepada seorang wanita yang sudah tak memiliki akal sehat—gila.
"Jika ini jalan terbaik, baiklah aku akan merujuk Tara untuk ke rumah sakit jiwa," ucap Leo dengan berat hati.
Mengapa Isma dan Ryzan harus mendapatkan izin dari Leo? Bukankah Leo bukan siapa-siapa Tara saat ini. Ya, memang tapi nyatanya perasaan Leo sangat besar untuk Tara, ditambah sikap Leo yang begitu keras. Bukan hal yang ia hindari ketika harus mencintai wanita gila, sejujurnya bagaimanapun keadaan Tara, Leo akan tetap mencintainya.
Lalu, bagaimana dengan Ryzan? Mau tidak mau Ryzan harus menerima bahwasannya takdir telah mengatakan jika Tara bukan untuk dirinya. Ryzan sangat menyesali kejadian hari itu, hari yang di mana Tara terjatuh dari lantai dua.
Jika ada yang bertanya, mengapa hanya mengambil sebuah ponsel bisa selama itu? Ryzan memang sangat sakit hati karena Tara terus-menerus menolak perasaan tulusnya hanya demi laki-laki yang tak bisa membalas perasaannya. Namun, apa boleh buat?

KAMU SEDANG MEMBACA
Love Me, Please! [Sudah Terbit]
Ficción GeneralPernikahan itu adalah bencana. Menikah dengan seseorang yang memiliki harta berlimpah, ternyata tak menjamin sebuah kebahagiaan. Dia bertahan meski dikecam luka sekali pun. "Jika pun memang hamil, kenapa kau tidak menggugurkannya saja? Apa tarif ya...