4

3K 344 11
                                    

4

"Baginda Raja Mabariel, Putri Enra telah pergi ke Roshelle de Rosemarie menghadiri perjamuan terbuka di istana!"

Terdengar suara langkah kaki yang cukup keras menggema dalam ruangan terbuka itu. Seorang bertubuh tinggi tegap dengan rambut bagaikan bara api datang dari arah hutan. Secepat kilat dia masuk dalam ruangan penuh ukiran kayu tersebut.

Di depan, terdapat pemandangan yang luar biasa megah. Balutan permata dengan kilau biru dan hijau mengitari sebuah kursi besar yang menjadi titik utama ruangan itu. Kursi itu juga dihiasi dengan beragam tanaman rambat yang senada dengan warna permata di sekelilingnya. Di sanalah pula, seorang pria dengan mata sehijau daun dan surai rambut keperakan duduk dengan pandangan kosong.

Mabariel Norvadel menoleh sesaat. Tangannya masih menopang dagu, tak yakin apa yang sedang ia pikirkan. Banyak masalah sejak pagi tadi yang membuat pikirannya tak tenang. Namun akhirnya, Mabariel tersentak begitu hebat setelah mencerna kembali kabar itu dengan benar.

"Dia melakukannya terlalu jauh.." gumam Mabariel. Ekspresinya sungguh pucat. Ujung telinga runcing sang raja mulai memerah seiring irama denyut nadinya menguat.

"Aku harus menyusulnya."

"Jangan, Baginda. Elfian sudah bersembunyi selama seribu tahun. Jika Baginda pergi, negeri ini akan terlihat oleh dunia luar."

Surai keperakan milik Mabariel terlihat berkilau, meskipun ruangan itu hanya diterangi oleh pendar cahaya dari kristal.

Tiba-tiba seisi ruangan disapa oleh angin malam yang lumayan kencang. Perlahan, angin menerpa seluruh wajah aristrokat milik pria itu. Sang raja mulai memejamkan mata seketika.

"Angin memberitahuku bahwa Enra akan segera pulang," kata Mabariel dengan suara setenang air tak beriak. "Sudah sepantasnya aku mempercayai pemberitahuan dari alam, tapi tetap saja aku ingin memastikan putriku benar-benar pulang dengan selamat."

Mabariel berdiri. Ia menyingsingkan jubah putihnya. Netra kehijauan sang raja mulai menangkap tajam sorot mata semerah darah milik pria yang berlutut hormat di hadapannya. Sang raja mulai meraih tongkat tinggi berhiaskan permata ungu dan mengetukkan tongkat itu pada dasar ruangan.

"Hasher Bianhar, apa kau mau menjemput Enra?"

Pria bersurai merah itu semakin menunduk teramat dalam di hadapan sang raja. Ia menunduk sampai tak ada seorang pun yang tahu bahwa dirinya tengah menyeringai dalam hormatnya.

"Saya akan melaksanakan perintah Baginda."

Mabariel mengangguk. Ia kembali duduk di kursi singgasana. "Ini di luar jangkauan pengamatanku, tapi aku berharap kau tidak macam-macam dengan Kerajaan Roshelle de Rosemarie. Mau bagaimanapun, kerajaan itu adalah peninggalan berharga kisah persatuan manusia dan elf melawan pengguna Buku Hitam. Jangan pernah mengancam mereka apalagi memaksa untuk menyerahkan keturunan pendahulu itu. kita masih belum mengetahui apapun mengenai dia."

Hasher Bianhar berdiri perlahan setelah sang raja mengangkat tangan, mengutus ia pergi.

"Baginda, tak ada satu pun ramalan di dunia yang tahu, bagai mana mungkin saya berani menyimpulkan siapa sebenarnya keturunan Matahari itu? Jika benar dia, akan ada petunjuk mengenainya. Tapi, tak ada satu pun. Bahkan ayahnya saja memiliki pembacaan, hanya dia yang tidak ada," kata Hasher mempertegas keputusan sang raja dengan fakta yang ia ketahui.

"Karena itulah putriku bertekad ke sana. Apalagi anak itu menginjak usia dewasa dan ada perjamuan terbuka yang memungkinkan siapa pun melihatnya langsung." Mabariel mulai mengeluh. "Dia dan rasa penasarannya pada manusia, aku sudah tak tahan lagi. Memangnya kenapa jika kunikahkan dengan orang pilihanku? Kenapa Enra justru memilih langkah yang buruk demi membatalkan pernikahannya? Membuatku menanggung malu di hadapan orang itu."

The Next King - White || BlancTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang