11

2K 296 22
                                    

11

"Aisen, apa yang terjadi?" Nick berteriak ketika Aisen kembali ke kamar. Sebenarnya Nick dan Aria melihat kepergian Asen menuju aula untuk bertemu Dane dan Raja Arion. Mereka ingin menyusul, tapi karena suatu alasan, Nick memilih untuk menunggu Aisen kembali ke kamarnya dan menjelaskan sendiri pada mereka. Ia juga mencegah Aria untuk ikut terlibat dalam percakapan Aisen dengan ayahnya.

Aien menggaruk kepala. "Yah.. kami bicara panjang. Intinya, selama ini aku, juga kalian berdua, salah paham terhadap semua keputusan ayahku."

Nick meraih pundak Aisen. "Apa ini soal pengawalmu Dane?"

Aisen mengiakan dengan anggukan kecil.

"Bodoh," sembur Nick tiba-tiba. Ia menepuk pundak Aisen ia berulang kali, melampiaskan kekesalannya. "Aku dan Kak Aria tahu kalau Raja Arion sedang memberi perintah khusus pada Duke Dane. Meskipun ayahmu tak menjelaskan kepada kami, tapi kami mengerti situasinya dan menerima permintaan ibu kami untuk membantu raja menjagamu sementara waktu."

"Kau saja yang terlalu lambat berpikir, Aisen. Tidak, kau tidak berpikir sama sekali! Kau bertindak berdasarkan hatimu."

Aisen tertawa datar. Ia melempar buku Elkiador ke atas tempat tidur. Berikutnya ia tidur tengkurap. "Memang iya. Walaupun berusaha keras berpikir hal baik, walaupun aku selalu yakin ayahku pasti punya rencana, hatiku selalu mempertanyakan pemikiranku. Sebelum kusadari, aku sudah terlanjur bertindak sesuai hatiku."

"Mungkin itu juga alasan kenapa aku sering gagal ketika bermain catur denganmu."

Nick melipat tangan. "Apa? Karena kau mengalah padaku?"

Aisen menjawab dengan bergumam. Kepalanya tenggelam dalam bantal, apapun itu jawabannya, hanya bergetar 'hm' yang tak begitu jelas.

Memutar bola mata, Nick mendengus. "Aku tahu kau mengalah, makanya aku selalu memintamu untuk bermain lebih serius lagi."

"Kalau aku serius, nanti kau bisa mati," jawab Aisen asal-asalan. "Kalah tidak ada dalam kamusmu bukan? Bersyukurlah karena aku berusaha mempertahankan harga dirimu."

Aria tertawa mendengar percakapan kedua laki-laki itu. "Sepertinya kalian sudah kembali seperti biasa. Aku sedikit khawatir kalau adikku akan macam-macam lagi, tapi kurasa sudah tidak perlu. Jadi, Aisen, aku akan keluar sebentar karena persiapan untuk hadir di perjamuan malam ini masih harus dilakukan. Tidak apa-apa?"

Aisen langsung mengubah posisi. Ia menegakkan punggung dan berdiri ketika mendengar Aria hendak pergi. "Iya, Aria! Tidak apa-apa!"

Aria tersenyum kecil dan memberi hormat. Ia kemudian berjalan menuju pintu kamar Aisen.

"Jangan lupa nanti malam, Aria!" seru Aisen sebelum Aria benar-benar keluar dari kamar.

Aria menoleh ke belakang. Berikutnya Aisen mengedipkan sebelah mata dan tersenyum lebar. Melihat itu, pipi Aria kembali bersemu. Ia melambaikan tangan pada Aisen.

Setelah Aria keluar, Nick mengernyit pada Aisen. "Apa-apaan tadi itu? Kakakku akan kau apakan hah?"

Aisen terkekeh. "Rahasia."

Nick melempar bantal ke arah Aisen yang masih berdiri di tengah ruangan kamar. "Jangan macam-macam pada kakakku!"

Dalam sekejap, tentu saja bantal yang dilemparkan Nick ia tangkap. Tak mungkin Aisen membiarkan bantal itu mengenai wajah tampannya. "Kau akan tahu sendiri di perjamuan nanti."

Teirngat sesuatu, Aisen bertanya, "Kau sendiri, sebaiknya pergi menemui Putri Charlotte. Sebelum orang lain mengajaknya berdansa di perjamuan nanti."

"Tak punya pasangan dansa di malam kedua perjamuan itu hal yang memalukan, Nick," desah Aisen dibuat-buat. "Pergilah sekarang."

The Next King - White || BlancTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang