7

2.3K 311 46
                                    

7

"Nah, persiapannya sudah selesai."

Nick mengajak masuk kakaknya, Putri Aria, ke dalam kamar Aisen. Ia mencoba berbicara sepelan mungkin supaya tak terdengar para penjaga di luar kamar. Meskipun, ia tahu bahwa kamar Aisen kedap suara, sudah pasti takkan ada orang luar yang dapat mendengar pembicaraan mereka, ia tetap berbicara pelan. "Kakakku akan menjadi bagian dari rencanaku."

Aisen kebingungan. Tentu saja karena Nick masih belum menjelaskan seutuhnya mengenai cara agar Aisen bisa keluar kamar.

"Tunggu, aku belum paham," gumam Aisen. Ia menggaruk kepala. "Itu berarti putri juga akan ke perpustakaan lantai atas bersama kita?"

Putri Aria tersenyum manis. Ia mengangguk kecil. "Benar, Aisen." Wajahnya terlihat senang. "Aku dan Nick pasti bisa membuatmu keluar dari kamar ini. Jika itu keinginanmu, akan kubantu sebaik mungkin!"

Aisen baru pertama kali melihat Aria tersenyum selebar itu. Putri yang biasanya dingin mulai terlihat sangat ramah di mata Aisen. Perasaanku saja? Atau aku yang tidak tahu sama sekali?

"Kau saja yang tak tahu apa-apa." Mendadak Aisen teringat ucapan Nick. Aisen mulai berpikir bahwa dirinya memang kurang baik dalam memahami orang lain.

Netra kecoklatan milik Aisen bertemu dengan netra kebiruan milik Aria. Untuk sepersekian detik, Aisen tergerak untuk melihat Aria lebih jelas lagi. Selama ini, Aisen tak pernah menangkap sosok itu seutuhnya. Ia hanya melihat sekilas, bicara sekilas, atau sekadar melewatinya. Aisen pun terlanjur menganggap bahwa Aria bersikap dingin padanya.

Dan Aisen menyadari, pemikiran itu adalah kesalahan besar.

Wanita yang lebih tua setahun darinya itu masih tersenyum. Jemarinya menyibak anak rambut yang menutupi telinga. Rambutnya yang hitam kelam terlihat berkilau memantulkan sinar Matahari yang masuk melalui jendela. Dari ujung kepala hingga kaki, Aria sudah seperti versi perempuan dari Nick, mereka sangat mirip. Terlebih lagi, dibandingkan Putri Charlotte Orymz dari Frautzell, Putri Aria memiliki kecantikan yang unik bagi Aisen.

Ah, apa yang sudah kupikirkan, mereka memang bersaudara. Kenapa aku berpikiran aneh-aneh? Aisen sendiri terkejut dengan apa yang terlintas di benaknya. Kenapa juga, aku tak pernah memperhatikan selama ini? Aku pun selalu memanggilnya putri, putri, tak pernah namanya saja, lalu menjaga jarak dengan bodohnya. Apa yang salah denganku?

"Aisen? Ada masalah?" tanya Aria, ia memiringkan kepala sedikit. "Apa kau tak suka dengan ide adikku? Kalau begitu, aku keluar saja. Sepertinya, aku membebani kalian."

Melihat Aria yang sudah membungkuk dan berbalik, Aisen gelagapan. Ia spontan meraih pergelangan tangan Aria. "A-ah, tunggu!"

"Aku masih belum paham dengan rencana Nick," ujar Aisen setelah menata pikirannya. Ia menoleh pada Nick yang menatap kosong ke arah Aisen.

Aksi kecil yang baru saja terjadi di depan mata Nick membuatnya sedikit terbakar. Walaupun, hal itu yang diinginkan kakaknya untuk terjadi. Ia sudah tahu perangai kakaknya.

Dalam cinta pun, perlu strategi agar tak jatuh dalam kebodohan dan mengejar seorang diri.

Kakakku menyeramkan juga, pikir Nick kritis. Berkata seperti itu supaya Aisen yang tak tahu apa-apa langsung merasa bersalah, hebat. Tapi, aku juga tak mau kakakku dipegang seperti itu terus-menerus.

Nick berdehem, "Lepaskan dulu tanganmu dari kakakku, Aisen."

Aisen tersadar ia masih menggenggam erat tangan Aria. "Maafkan aku, Putri Aria."

"Tidak apa-apa, Aisen," Aria tersenyum kecil. Dalam hati, ia merasa seperti sudah mengalahkan dua ratus pasukan pribadi ibunya seorang diri. Bangga.

Nick kembali berbicara, "Jadi, aku akan mengatakan pada prajurit di luar sana bahwa kalian berdua ingin melihat buku di perpustakaan istana dan aku mengawal kalian karena aku harus memperhatikan Aisen. Itu saja. Strategi terbuka."

The Next King - White || BlancTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang