28

497 51 3
                                    

28

Semakin gelap, jalanan menuju Ibukota Tonria bukannya semakin sepi, para elf kian memadati jalanan. Pasar malam yang digelar menunjukkan pendar cahaya gemerlap, membuat siapa saja yang berkunjung pasti akan berhenti sejenak untuk melihat-lihat.

Raja Arion terlihat bersemangat. Barang dagangan yang ditawarkan oleh elf bukanlah barang biasa ataupun pernak-pernik kebutuhan manusia. Mereka menjual batu sihir dan peralatan sihir yang tentu saja sangat bernilai tinggi apabila barang tersebut dimiliki oleh manusia. Mungkin bagi elf itu merupakan peralatan rumah tangga biasa, bagi kaum manusia apalagi yang sangat terbatas pengetahuannya mengenai sihir, itu benda yang teramat mahal.

Asher kewalahan. Bukannya Aisen yang membantu Raja Arion membawakan barang-barang, justru dirinyalah yang kena. Raja Arion terus menawar beragam barang sihir, ia lalu membelikan semangkuk kue dengan es serut berhiaskan topping sirup dandelion – yang entah seperti apa rasanya – untuk Asher karena bersedia membantunya.

Sementara Aisen berjalan bersama Aria di kios lain, Nick dan Grand Duke Elidio menyusul dari belakang dan berhasil mendapati Raja Arion seperti yang dimaksudkan Asher. Elidio menahan tawa menyaksikan itu.

"Yang Mulia, Anda membeli cukup banyak ya," kekeh Elidio sambil membuka portal dimensi penyimpanan, meraih tas tentengan berisi barang-barang sihir yang dibawa Asher. "Walaupun harganya murah, bukan berarti Anda harus membeli semuanya. Aku memiliki semua barang itu, sama sekali tidak langka."

"Ini akan kubagikan dengan Dane, Raiga, dan Lavia." Arion menoleh, "Kau tahu bukan? Keluarga Duke Vict, keluarga dari Earl Rayarka dan Earl Rayarna, mereka keturunannya."

"Earl Rayarka, Earl Rayarna, dua keluarga bangsawan yang tidak jauh hubungan darahnya," Elidio berusaha mengingat-ingat. "Ah, lalu Duke dengan mata setajam elang itu. Ternyata dia berhasil kabur dengan selamat dari efek penyihir gelap ya? Sampai memiliki keturunan. Apa keturunannya sudah membenahi Kota Vatia? Karena dari terakhir yang kulihat dalam perjalanan, Vatia seperti dalam pembangunan."

"Aku memaksanya mengurus wilayah, dia bersikeras menempel di istana dan tetap menjadi guru berpedang Aisen, ini satu-satunya cara agar Dane mau mempedulikan dirinya." Arion menarik napas panjang, "Sudah tujuh belas tahun berlalu, tapi aku merasa masih banyak yang harus kubenahi di Roshelle de Rosemarie."

Elidio mengedikkan bahu, "Entahlah, aku sudah lama tidak pulang saja masih terkejut dengn banyaknya perubahan bagus di Roshelle de Rosemarie. Yang Mulia sudah berusaha keras."

Seperti teringat sesuatu, Elidio menjentikkan jari. "Oh ya, Pangeran Aisen dan Putri Aria, apa itu Anda atau atas mereka sendiri?" bisik Elidio penasaran.

Arion menyaksikan Aisen putranya dua meter di depan, berjalan keasyikan dengan Aria entah membicarakan apa. Sesekali Aisen menunjuk ke kios elf, lalu meraih tangan Aria untuk mengikutinya.

"Bisa dibilang, Eva dan aku, lalu Raja Alvaro dan Ratu Renata, sebenarnya berniat membuat mereka berdua bertunangan secepat mungkin. Namun, kami mencoba melihat bagaimana Aisen dan Aria berinteraksi dan sepertinya Aisen tidak terlalu tertarik dengan Aria. Bagaimana menjelaskannya, mereka tumbuh bersama-sama sejak kecil," gumam Arion. mengalihkan pandangan kembali ke Elidio, kini ia tersenyum menatap kejauhan, "tapi sepertinya kami salah. Saat ini, aku pribadi hanya akan menyerahkannya pada Aisen. Aisen sendiri yang memutuskan bagaimana dia memilih takdirnya."

"Bijaksana, seperti biasa, Yang Mulia." Elidio membuka jam saku yang ia kantongi. Gangguannya mudah ditebak. Jika yang terburuk muncul, itu pastilah dari tempat ini.

Tinggal menunggu kapan bidak catur digerakkan sang raja elf.

***

"Aria, bagaimana menurutmu?"

The Next King - White || BlancTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang