10
Aisen melihat kamarnya lebih sepi dari sebelumnya. Dia tidak tahu apa yang terjadi, tapi penjaga telah berkurang. Tidak sebanyak waktu itu.
Bahkan Lavia dan Raiga juga tidak ada.
Langkah Aisen terhenti. Ia teringat satu hal yang terlupakan oleh dirinya. Dan dalam hati, ia sangat menyesal telah melupakan hal tersebut.
Dane!
"Aisen! Kenapa berlari?!"
Aria yang terkejut melihat tingkah Aisen berseru kencang di belakang hingga penjaga melihat ke arah putri Iridis itu. Aisen sendiri tak menoleh sedikit pun. Ia menerobos setiap penjaga istana yang berusaha mencegah pergerakannya. Fokus pangeran itu hanya satu.
Aku harus menysul Dane!
"Yang Mulia! Anda dilarang meninggalkan istana!" seru salah satu penjaga istana yang mencegah Aisen. Aisen menyikutnya, berkali-kali ia meronta sampai bisa lepas dan berlari lagi.
"Aku hanya ingin melihat Dane sebelum ia meninggalkan istana ini!" pekik Aisen menggila. Ia mengambil pedang pendek di pinggang. Tanpa ia keluarkan dari sarungnya, Aisen menghantamkan pedang pendek itu pada setiap penjaga yang berusaha menghalangi. Tak peduli dengan rintihan kesakitan mereka, Aisen terus melaju. Pandangannya tak goyah.
Begitu Aisen sampai di tangga, dengan napas terengah-engah Aisen memutuskan untuk meluncur melalui railing tangga istana. Ketika dia di aula, nampaklah sekumpulan pasukan tengah berjejeran di depan singgasana. Tepat di tengah-tengah mereka, Dane tengah berlutut di depan sang raja.
"Dane!" Aisen memanggil mantan kepala pasukan sekaligus pengawal pribadi raja itu. sosok Dane yang akan segera bertugas sebagai Duke di perbatasan barat akan membuat Dane sulit untuk kembali. Ia masih tak percaya dengan kenyataan bahwa Dane benar-benar pergi.
Penjaga mulai berdatangan lagi untuk menghalangi Aisen dan meminta Aien kembali ke kamar. Akan tetapi, Raja Arion kemudian mengangkat sebelah tangannya. Penjaga-penjaga langsung mundur dan membiarkan Aisen terus melangkah ke depan.
Tepat di sisi Dane, Aisen menatap ayahnya. Tatapan itu bukanlah tatapan seorang anak pada sang ayah, tapi seorang pangeran pada sang raja, menuntut apa yang ia rasa benar. "Yang Mulia, tolong biarkan Dane tetap menjadi pengawal saya." Aisen mulai angkat bicara dengan bahasa formal. Dalam hal ini menandakan bahwa Aisen benar-benar serius menuturkan tiap permintaannya. "Jika ia dikirim bertugas karena kesalahan di hari yang sudah berlalu, berikan ia kesempatan lagi. Saya berhak untuk meminta kembali pengawalan darinya, Yang Mulia."
Raja Arion tersenyum kecil. Melihat raut serius Aisen, ia sadar betapa dewasa putranya sekarang. Arion menghela napas, ia memejamkan mata sesaat sebelum akhirnya menjawab putranya itu. "Sepertinya, ada kesalahpahaman antara apa yang kau pikirkan terhadap keputusanku, Aisen."
Dane yang semula berlutut kini berdiri ketika sang raja menyuruhnya berdiri.
"Yang Mulia Pangeran, saya memang harus menjalankan tugas sekaligus misi yang diberikan oleh Raja Arion," kata Dane menenangkan Aisen.
"Misi apa?" Aisen mengerutkan dahi.
"Kota Vatia yang menjadi daerah kekuasaan adminitrasi keturunan Duke Vict tempat saya adalah kota yang menyimpan arsip kuno Kerajaan Roshelle de Rosemarie," Dane menunduk hormat, "Raja Arion meminta saya untuk menemukan beberapa arsip kuno dan membawanya ke istana. Itu adalah bagian dari tugas seorang Duke seperti saya. Bukan berarti saya disingkirkan dari istana ini, Pangeran."
Pangeran muda itu mengerjapkan mata beberapa kali. "Eh? Jadi, ayah bukan menyuruhmu menjadi Duke secepat ini karena tidak puas dengan kejadian kemarin?"
KAMU SEDANG MEMBACA
The Next King - White || Blanc
Fantasy[Sequel The Abandoned Kingdom] Sudah tujuh belas tahun lamanya semenjak pertempuran dengan penyihir gelap terjadi. Sudah tujuh belas tahun lamanya pula Roshelle de Rosemarie bangkit setelah seratus tahun terikat dalam kutukan dan ditelantarkan dunia...