14

1.7K 262 19
                                    

14

Malam itu usai dengan ketegangan yang tak kunjung berakhir. Menyisakan sebuah tanda tanya besar pada setiap tamu yang hadir. Rupanya malam perjamuan di hari kedua tak juga lancar.

Setelah hilangnya dua orang asing dari hadapan raja, pesta berlanjut dengan kaku. Aisen sendiri tidak tahu harus bagaimana. Ia berusaha mendekati ayah dan ibunya untuk bertanya, tapi raja dan ratu itu langsung kembali membuka pertemuan kerajaan di lantai atas istana. Tak ada kesempatan bagi Aisen selain menunggu mereka selesai. Ia sendiri juga harus tetap berada di istana. Penjagaan kembali diperketat. Aisen tak bisa untuk sekadar melihat keluar istana sebentar saja.

Ia berdiri di balkon istana. Dengan lesu, Aisen melihat perginya para tamu bangsawan, satu demi satu keluar setelah penjaga istana mempersilakan. Menghela napas, Aisen beralih melihat ke atas langit malam. Bintang-bintang memanglah terang malam ini. Observatorium istana mengatakan hal yang tepat.

Aisen tak pernah bertemu mereka, para pengamat bintang dan langit. Orang-orang yang bekerja untuk sang raja terbilang cukup bervariasi. Ada yang secara terang-terangan Aisen mengetahui setiap orang dan setiap nama dari mereka, ada juga yang hanya muncul ketika raja meminta. Perihal peramal kerajaan yang baru, orang yang menggantikan Viiji, seorang kakek tua yang dikenal baik ayahnya, Aisen juga tak tahu. Mungkin peramal baru itu adalah salah satu dari orang di observatorium. Hanya Raja Arion dan Ratu Eva yang mengetahui.

"Informasinya tertutup. Orang tuaku membatasi apa yang seharusnya kuketahui," gumam Aisen lirih pada dirinya sendiri. Lavia dan Raiga berdiri di belakang, begitu juga Dane. Hanya saja jarak mereka bertiga terlalu jauh untuk bisa mendengar suara Aisen.

Aisen bersedekap, membiarkan kedua tangannya berpangku pada balkon istana. "Yang kulakukan hanya berlatih pedang dan melanjutkan studi literatur. Bagaimana kondisi kerajaan ini saja, aku tidak tahu banyak."

"Aku memang harus pergi, itu jalan satu-satunya untuk mengerti keadaan yang terjadi di sekelilingku."

Menyibakkan jubah merah yang ia pakai, Aisen berbalik. "Aku mau kembali ke kamar."

"Tapi Pangeran Aisen, Putri Aria menunggu," kata Dane memberitahu.

"Katakan padanya untuk bertemu denganku di kamar," perintah Aisen, "dia juga harus datang bersama dengan Nick. Aku akan ke sana lebih dulu. Ada sesuatu yang mengganggu pikiranku."

Sebelum Aisen pergi, Nick sudah menghampirinya. "Aisen!"

Aisen menoleh dengan wajah datar.

"Aku sudah tahu, aku mendengar percakapanmu dengan Dane," ujar Nick. "Kita perlu memikirkan buku itu lagi. Tapi, Asher, Bryan, dan Charlotte ingin bergabung. Kau akan menjelaskan pada mereka juga mengenai penemuan ini?"

"Terserah pada mereka jika ingin bergabung," jawab Aisen tak peduli. Ia menaiki anak tangga tanpa kembali menoleh lagi. Membiarkan Nick memanggil yang lain sebelum menyusul.

Ingatan Aisen kembali berputar pada kejadian beberapa waktu lalu. Putri Enra dalam balutan gaun merah yang sama seperti dalam ingatannya terlihat begitu menyedihkan.

Aku harusnya mendengar lebih banyak. Lebih banyak lagi! Tapi semua gagal karena pria berambut merah itu datang.

Siapa mereka, apa sebenarnya yang disembunyikan Kerajaan Elfian? Lalu, Roshelle.. apakah leluhur kami pernah berhubungan dengan mereka?

Bunga itu..

"Sial."

Sebuah kata penuh amarah keluar dari mulut Aisen. Tentu mereka yang tak sengaja mendengarnya ikut memikirkan seberapa kesal dirinya saat ini. Terlebih lagi, kejadian aneh itu berlangsung dua kali berturut-turut. Pertanyaan demi pertanyaan belum terjawab. Sikap raja juga mengambil bagian besar terhadap kejadian besar malam ini. Tak ada yang berani berkomentar adalah efek lain dari pertunjukkan kekuatan terpendam sang raja yang telah mereka lihat.

The Next King - White || BlancTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang