Ini seperti dejavu. Sage yang kembali mengetuk pintu apartemen sang paman, dan Reino yang membukakan pintu.
Bedanya, kali ini tak ada raut masam. Pria itu tersenyum padanya saat melebarkan pintu.
"Aku udah cerita sama mas Bima tentang kunjunganmu tadi. Aku juga bilang, kamu akan datang lagi besok." Reino memberitahunya, seakan mereka adalah teman dekat.
"Ajaib dong, dia langsung lahap makannya. Nggak banyak protes minum obat."
"Malahan ini barusan abis cukur sama ganti baju. Udah kayak manusia lah dia."
Sage hanya memandang datar tanpa mengatakan apapun. Keceriaan dan antusiasme Reino membuatnya waspada.
Kenapa pria ini begitu semangat menyambutnya? Sok ramah pula.
"Mas Bima ada di kamar. Langsung masuk aja kesana. Dia pasti seneng liat kamu." Tambahnya sembari menunjuk ke arah lorong tempat kamar tidur Bimasena berada.
Sage mengangguk singkat, kakinya melangkah ke tempat yang tadi pagi ia datangi.
Kali ini Reino membiarkan Sage berjalan sendiri, tak mengikutinya, langsung berbalik menuju sofa tempat laptop dan beberapa berkas tergeletak di meja.
Langkahan kaki Sage menjadi semakin pelan seiring dengan tujuan yang semakin dekat. Ada sedikit rasa gugup yang menjalar ketika ia menekan gagang pintu, dan masuk ke dalam.
Tatap mata langsung bertemu dengan sepasang mata yang mempunyai warna identik dengan miliknya sendiri.
Senyum sang paman seketika merekah begitu melihat siapa yang memasuki kamar, membuat Sage sedikit gelisah.
Bagaimana bisa pria ini masih bersuka cita menyambut kehadirannya, padahal dua minggu yang lalu ia sudah tahu Sage berniat membunuhnya?
"Hai Sage.. — Rei bilang kamu baru akan kesini besok." Bimasena menyapa ramah, senyum tak lepas dari wajah.
Yah.. Sage juga nggak tahu kenapa dia bisa kembali kesini lagi. Nggak ada tempat tujuan lain yang terpikirkan olehnya.
Daripada sendirian di rumah, dan overthinking tentang Rega yang sekarang lagi ketemuan sama pacarnya. Mending ia fokus menyelesaikan misi.
Kembali pada sang paman, Sage melihat pria itu sedang kesusahan mencoba turun dari ranjangnya.
"Duduklah saja disana! Aku bisa dihajar suami mas Bintang kalau kamu jatuh dari tempat tidur." Sage mencegah dengan nada yang sengaja dibuat ketus.
Bimasena menurut, tidak kelihatan marah juga dengan ketidaksopanan pria yang lebih muda..
"Aku akan ganti menghajarnya kalau dia berani melukaimu." Sang paman mendumel pelan, seolah janji itu tidak untuk didengar Sage.
"Apa kau tidak ingin duduk? — Silahkan.. Duduklah dimanapun sesukamu. Maaf kalau kamarku berantakan." Lanjutnya basa-basi, lebih ramah.
Sage hanya mengangguk. Berbeda dengan siang tadi, kali ini dia mengambil jarak cukup jauh, duduk di kursi yang berada dekat jendela.
Dipandanginya sang paman yang tampilannya sudah lebih presentable.
Infus masih ada ditangan tapi selang oksigen sudah dilepas. Meski pucat masih mendominasi, tapi jenggot dan kumis yang mengotori wajah sudah dicukur bersih.
"Aku sangat bahagia bisa melihatmu sekali lagi." Ucap Bimasena halus.
"Aku juga sudah siap jika kamu ingin membunuhku. Silahkan, lakukanlah." Tambahnya menepati janji.
Sage menatap intens sang paman yang sudah menyerahkan diri dengan sukarela untuk dibunuh.
Bimasena nampak tenang. Tak terlihat takut, atau berpura-pura.
KAMU SEDANG MEMBACA
THE WEDDING AGREEMENT (Completed)
RomanceRenaga Nathaniel Linggadinata, straight to the bone, sudah memiliki pacar cantik yang siap dipinang, namun tiba-tiba dipaksa sang mama untuk menikah. Bukan dengan seorang wanita, melainkan laki-laki. Rega yang tak kuasa untuk menolak permintaan or...