Deofano :: Satu

11.7K 468 18
                                        

"Akhir-akhir ini Ayah perhatikan, nafsu makanmu berkurang. Makanannya nggak enak, atau lagi nggak enak badan?" Fano menghentikan gerakan tangannya yang semula menyendok nasi beserta lauk, saat mendengar suara sang Ayah.

"Kenapa, hm?" Merasa tak mendapat jawaban dari si bungsu, Darel--ayah Fano-- kembali bertanya.

"Kenyang, Yah."

"Beneran?" Fano hanya mengangguk. "Usahakan makan yang banyak, biar di sekolah jadi punya tenaga menyerap pelajaran-pelajaran. Biar nggak sering sakit juga. Ayah nggak tega liat kamu sakit."

Menghabiskan banyak waktu berdua, membuat hubungan keduanya terjalin sangat erat. Fano pun mengakui. Walaupun ia sering diam, jarang menceritakan kegiatannya selama ini, sang ayah pasti tahu apa saja yang ia lakukan. Memerhatikan bagaimana makannya, kesehatannya, bahkan jika ada satu jerawat baru tumbuh di wajah Fano pun sang ayah pasti mengetahuinya. Bagi Fano, ayahnya adalah segalanya. Tanpa bicara pun semua orang tahu kalau Fano menyayangi ayahnya.

Begitu pun Darel. Sejak peristiwa kelam itu, fokusnya berubah. Jika semula ia harus memikirkan pekerjaan, istri, dan anak-anaknya. Kini fokusnya lebih banyak bekerja dan mengurus Fano. Apa pun untuk Fano. Bukan berarti ia tak menyayangi anaknya yang lain, Darel rasa anak sulungnya akan selalu baik-baik saja bersama ibunya. Beda dengan Fano. Sejak hari itu, Fano berubah. Tak lagi banyak bicara. Tak lagi bersemangat melakukan apa yang ia suka. Darel bahkan sudah jarang mendengar tawa renyahnya, apalagi cerocosan si bungsu ketika sedang kesal. Darel hanya merasa sedikit kehilangan.

Ia sudah tak tahu lagi bagaimana caranya membuat watak anak itu kembali seperti dulu. Melihat Fano tersenyum padanya saja rasanya sudah cukup. Darel tak lagi ingin memaksa kehendaknya. Jika memang si bungsu nyaman dengan dirinya yang sekarang, Darel akan berusaha baik-baik saja.

Tak bisa dipungkiri kejadian itu banyak membawa luka. Terlebih pada si bungsu kesayangannya. Jika waktu bisa diputar, Darel sangat ingin kembali ke waktu itu. Mencoba memperbaiki semua. Walaupun hati taruhannya. Ia tak masalah jika hatinya terus saja terasa sakit asal anak-anaknya bahagia. Tak apa merasa luka itu terus menganga, asalkan sang anak baik-baik saja. Tetap seperti mereka yang sama. Sayangnya, Darel tak bisa. Sudah terlalu banyak pihak yang terluka, termasuk dirinya.

Melihat sang ayah yang hanya diam saja setelah nasihat singkatnya, Fano jadi merasa bersalah. Dengan senyum yang sebenarnya sedikit ia paksa, Fano meraih telapak tangan Darel. Sang ayah terkesiap, sedikit terkejut.

"Fano nggak pa-pa dan selalu baik-baik saja asal itu sama Ayah. Jadi, nggak usah khawatir." Darel tersenyum begitu melihat senyum juga suara si bungsu.

"Maafin Ayah, ya."

"Ayah nggak perlu minta maaf." Karena ayah yang paling terluka di sini.

Tentu saja Fano tak meneruskan ucapannya. Ia tak ingin ayahnya kembali mengingat luka itu. Cukup ia menyimpannya, maka semua akan baik-baik saja.

"Kalau begitu, ayo berangkat!" Darel lebih dulu bangkit.

"Sarapan Ayah belum habis," Fano menyahut.

"Kenyang liat senyum kamu." Sesaat setelahnya, Darel tertawa. Kemudian membawa piring-piring bekas makanan mereka ke dapur. Menyimpan sisa makanan di lemari, lalu menaruh piring kotor milik Fano di tempat cuci. Giliran Fano melaksanakan tugasnya, mencuci piring.

"Habis cuci piring, langsung ke depan, ya. Kita berangkat sama-sama. Ayah panasin mesin motor kamu dulu. Jangan lupa dikunci rumahnya, air matikan, cek kompor juga," ucap Darel sebelum berlalu.

Fano hanya bisa menggelengkan kepala. Ayahnya memang begitu. Cerewet. Ngalahin ibu-ibu ngerumpi. Walaupun begitu, Ayah orang pertama yang paling ia sayangi di dunia. Nomor duanya siapa lagi kalau bukan saudara kembar menyebalkannya itu. Eh, bukan. Nomor duanya tentu Affra, pujaan hatinya. Mengingatnya saja sudah bisa membuat Fano senyum-senyum sendiri.

Deofano (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang