Pagi-pagi sekali Fano susah siap dengan seragam olahraga sekolahnya. Semalam ia bertanya banyak hal pada dua sahabatnya itu. Salah satunya tentang seragam sekolah. Minggu terakhir sebelum libur kenaikan kelas, sekolah mereka memang selalu menggunakan seragam olahraga. Pertanda tak lagi ada kegiatan aktif seperti biasa. Fano bertanya hanya untuk memastikan saja.
Melihat pagi-pagi Fano sudah siap, menimbulkan banyak pertanyaan di benak Arkha.
"Lo yakin mau sekolah hari ini?" Fano hanya mengangguk.
"Beneran yakin?"
"Iya, Arkha. Iya. Gue udah sehat." Merasa gemas karena Arkha bertanya hal yang sama sampai dua kali, Fano akhirnya menjawab.
Ia tak berbohong saat mengatakan bahwa ia sudah sehat. Fano merasa jauh lebih baik dari kemarin sekarang. Ia tidak menjadikan kesehatannya sebagai bentuk penolakan terhadap keputusan sang ayah kemarin. Fano benar-benar merasa sehat, bukan karena ia ingin kabur atau menghindari ayahnya. Itu kekanakan sekali. Fano bukan tipe orang yang suka kabur-kaburan seperti itu. Ya, meski semalam Ia malas sekali berbicara dengan Darel. Kecewanya masih ada dan jangan harap lekas membaik.
Arkha juga sebenarnya ingin menanyakan satu hal. Takut Fano berbohong karena ingin menghindari ayahnya. Mengingat semalam saat makan Fano tidak mengeluarkan suara satu patah kata pun. Saat ditanya jawabannya hanya dua. Mengangguk atau menggeleng. Tentu saja pagi ini adiknya itu membuat Arkha heran.
"Lo bukan mau menghindar dari Ayah, kan?"
Fano yang semula tengah menyiapkan isi tasnya, tiba-tiba berhenti. Lalu berbalik menghadap Arkha.
"Gue beneran merasa sehat. Lo nggak liat?"
Arkha menggaruk kepalanya yang tak terasa gatal. Dilihat dari penampilannya, Fano memang terlihat cukup segar. Kendati masih ada rona pucat di sana, tetap saja wajahnya terlihat bugar. Fano benar, ia tak berbohong.
"Baguslah kalau gitu."
"Gue bukan anak kecil lagi. Gue emang merasa kecewa, tapi bukan berarti harus menghindar apalagi musuhan."
Arkha mengangguk. Paham dengan apa yang Fano bicarakan. Syukurlah kalau memang itu benar. Arkha tidak harus menjadi pihak penengah sekarang. Tapi mungkin, sikap Fano pada ayahnya masihlah sama seperti semalam. Ia terlihat tidak ingin membicarakan apa pun tentang kemarin. Fano butuh waktu.
Fano menenteng tasnya, kemudian melangkah keluar. Meninggalkan Arkha yang masih tetap di tempat. Sebelum akhirnya mengikuti langkah sang adik.
☘☘☘
Darel yang melihat Fano sudah rapi dengan seragam olahraganya, terdiam. Takut kalau ternyata anak itu belum sehat tapi memaksakan diri masuk sekolah hanya karena ingin menghindarinya. Rasa bersalah kembali menyelimuti Darel. Seharusnya sejak awal Ia berterus terang pada sang anak. Tak perlu bersembunyi seperti ini. Harusnya Ia tahu dampaknya akan menjadi serumit ini.
"Kamu sudah sehat, No?" Fano mengangguk. Lalu menggantungkan tasnya di sandaran kursi.
Pada akhirnya, mereka bertiga sarapan dalam diam. Hal yang sebenarnya cukup jarang terjadi. Biasanya Darel akan membuka obrolan terlebih dahulu. Menanyakan kabar Fano, atau menanyakan apakah tidurnya lelap atau tidak dan Fano yang hanya menjawab seadanya. Namun kini, semuanya terdiam. Termasuk Arkha yang baru saja bergabung.
Suasana canggung tentu saja terasa. Baik Darel maupun Arkha sama-sama enggan memulai obrolan. Takut-takut Fano malah memilih pergi ketika mereka berusaha membuat obrolan kecil.
Dan benar saja, Fano bangkit setelah menyelesaikan sarapannya. Tanpa menunggu ayah dan kakaknya selesai sarapan, Fano membawa piring bekasnya ke dapur. Hendak mencucinya. Namun suara Arkha menghentikan niatnya.
"Biar gue aja yang cuci piring." Fano mengangguk lalu menyimpan piring itu di tempat cucian.
Tanpa kata, ia menyalami tangan Darel sebelum akhirnya melangkah keluar. Berangkat sekolah tanpa mengucapkan apa-apa. Membuat Darel menghela napasnya panjang. Tak tahu harus bagaimana. Jujur, hatinya terasa tak nyaman diperlakukan demikian oleh Fano. Bukan, bukan berarti ia sakit hati. Darel hanya merasa bersalah.
Arkha yang melihat Darel hanya diam, memandang lurus tempat Fano terakhir kali terlihat, meraih tangan itu. Tersenyum kemudian. Ia tahu ini tak mudah bagi Darel yang menghabiskan hampir seluruh waktunya bersama Fano. Tak mudah juga bagi Fano yang menganggap hanya ada dia di hidup Darel tapi ternyata tidak. Ada orang lain yang juga perlu perhatian dan kasih sayang dari pria paruh baya itu.
"Fano cuma butuh waktu. Ayah tenang aja."
Darel tersenyum dan mengangguk di saat yang sama. Ia harus menguatkan hatinya. Percaya bahwa ini hanya sementara. Pada akhirnya Fano akan menerima hubungan mereka juga nantinya.
Semoga saja segera. Darel tak bisa lama-lama diam-diaman dengan Fano seperti ini. Terlalu sulit baginya.
☘☘☘
Lama. Fano menunggu Affra keluar dari rumahnya. Ini hari pertama ia kembali menjemput Affra setelah dua hari absen karena sakitnya. Bukan salah Affra membuatnya menunggu lama. Salahkan Fano yang datang tanpa memberitahu terlebih dahulu sekaligus datang terlalu pagi. Lima belas menit lebih awal dari waktu biasanya. Saat menghubungi gadis itu, Fano bisa mendengar Affra terkejut di dalam sana. Mungkin tak menyangka Fano kembali menjemputnya atau justru karena belum siap berangkat.
Tapi tak apa. Fano betah saja menunggu di luar. Padahal Affra menawarkannya untuk menunggu di dalam. Sekaligus bertemu kedua orang tuanya. Fano tak mau. Ia merasa terlihat tak nyaman jika bertamu di saat suasana hatinya kurang baik. Jadilah Fano menunggu agak jauh dari rumah Affra berada.
Lima menit kemudian, Affra muncul dengan kedua tangan yang sibuk mengikat rambutnya. Fano tersenyum, inilah raut wajah Affra yang paling Ia sukai. Saat gadis itu tengah sibuk membenarkan ikatan rambutnya. Terlihat cantik sekaligus imut di saat yang sama. Sesaat, Fano mencoba menghilangkan masalah itu dalam pikirannya.
"Kok udah masuk aja, sih?"
"Emang nggak boleh? Nggak baik lama-lama absen."
"Bukan gitu, takutnya kan masih sakit. Bahaya bawa motor pas lagi sakit."
Fano tersenyum. "Aku sehat dan akan berusaha sampai di sekolah dengan selamat."
Affra tertawa kecil sembari memukul pelan lengan atas Fano. Kemudian naik ke atas motor. "Awas aja kalau nggak."
Ah, menyenangkan rasanya kembali mendengar suara tawa kecil itu. Fano sudah lama tidak mendengar suara tawanya. Padahal kalau diingat-ingat kembali, baru kemarin Affra mengeluarkan tawanya. Meskipun hanya terdengar di telfon. Tapi menurut Fano, lebih enak saat mendengarnya secara langsung seperti tadi.
Fano melajukan motornya perlahan. Membuat Affra yang sebenarnya kurang siap, refleks memegang pinggangnya. Fano tertawa kecil, ia tak sengaja melakukannya. Mengira Affra sudah siap, tapi ternyata tidak.
Gadis itu bahkan memukul pelan punggung Fano. "Rese, ih."
"Nggak sengaja."
Seperti ini saja rasanya menyenangkan. Ia seakan lupa masalah di rumah. Lupa bahwa keadaan hatinya tak begitu baik. Sedetik kemudian ia kembali memikirkan bahwa sang ayah sebenarnya juga perlu diperhatikan. Tapi tetap saja Fano butuh waktu yang tak sebentar. Semuanya terlalu mendadak. Ia tidak siap menerima orang baru dalam hidupnya.
A/N
Nanti malam lagi, ya.
14*05*20
KAMU SEDANG MEMBACA
Deofano (END)
JugendliteraturFano belum pernah merasakan hebatnya kehilangan, sebelumnya. Hidupnya terasa sempurna beberapa tahun yang lalu. Ayah yang hangat, ibu yang perhatian, saudara kembar menyebalkan namun ia sayang. Semuanya terasa sempurna. Sebelum badai itu datang. Me...