Fano belum pernah merasakan hebatnya kehilangan, sebelumnya. Hidupnya terasa sempurna beberapa tahun yang lalu. Ayah yang hangat, ibu yang perhatian, saudara kembar menyebalkan namun ia sayang. Semuanya terasa sempurna.
Sebelum badai itu datang. Me...
Berkali-kali Arkha membongkar lemarinya. Membawa satu pakaian keluar, kemudian memasukkannya lagi. Arkha benar-benar bingung akan membawa baju apa saja untuknya di sana nanti. Maklum, ini kali pertama ia akan bepergian jauh dan lama. Arkha harus menyiapkan segala sesuatunya sedetail mungkin. Tak ingin liburannya kali ini menjadi momen yang mudah dilupakan begitu saja. Arkha harus ingat setiap detailnya. Meskipun harus mengingat drama dengan bunda kemarin.
Mengingatnya, Arkha merasa bersalah. Namun rasa kesal tetap mendominasi. Melihat berapa bersikerasnya bunda melarangnya pergi dengan berbagai alasan. Mulai dari alasan yang masuk akal sampai alasan yang kurang rasional.
Tidak tahukah bunda kalau ia sangat menantikan momen ini? Momen di mana pada akhirnya ia bertemu dan berkumpul lagi bersama ayah dan saudara kembarnya. Arkha sangat ingin merasakan bagaimana rasanya memiliki saudara. Pasti menyenangkan berada di tengah-tengah mereka. Arkha tak perlu lagi merasa sendiri atau merasa asing di antara keluarganya.
Jujur saja, sampai saat ini Arkha tak mengerti mengapa bunda begitu bersikeras melarangnya pergi. Mengapa juga wanita itu membawanya pergi jauh dari mereka. Arkha tak mengerti. Apakah kesalahan sang ayah begitu fatal hingga menyebut namanya saja membuat bunda begitu marah?
Ah, orang dewasa memang benar-benar merepotkan.
Arkha masih memilih baju terbaik yang akan ia bawa. Entah apa reaksi bunda saat melihatnya begini yang jelas tanpa atau dengan persetujuan bunda, ia tetap akan berangkat. Janji seorang lelaki pantang ia ingkari. Arkha sudah berjanji pada saudaranya dan bagaimanapun caranya ia harus menepatinya. Kendati sebenarnya bukan hanya karena janji itu alasannya untuk tetap pergi.
"Kamu ngapain, Nak?" Arkha mematung sesaat sebelum akhirnya menatap wanita yang melahirkannya itu dengan tatapan malas.
Sungguh demi apa pun, Arkha tidak ingin ada drama lagi. Sudah cukup yang semalam.
"Seperti yang Bunda lihat," balasnya dengan nada malas.
"Kamu beneran mau pergi?"
"Harusnya Bunda tahu apa jawabannya saat lihat aku udah siap-siap begini."
Dera melangkah mendekati sang putra. Mengelus pelan surai hitamnya. "Bunda masih berharap kamu mendengarkan Bunda kali ini."
Arkha menepis pelan tangan Dera yang sedang mengelus rambutnya.
"Dengan atau tanpa persetujuan Bunda, aku tetap akan pergi. Maaf Bunda, malam ini aku nggak mau berdebat."
Arkha memutuskan untuk ke luar dari kamar, menghindari perdebatan. Bundanya tidak akan langsung mengijinkan begitu saja. Mengingat betapa keras kepalanya wanita itu. Mencari udara segar adalah pilihan yang tepat sebelum lusa ia benar-benar pergi.
"Arkha mau ke mana?" Di ujung tangga sana, sang ayah tiri bertanya saat melihat Arkha tergesa-gesa menuruni tangga.
"Mau keluar."
☘☘☘
"Saya nggak nyangka lho, Om, kalau masakan Om seenak ini." Oji berkomentar sesaat setelah mencicipi makan malam yang dihidangkan oleh Darel.
Darel tertawa pelan menanggapi komentar sahabat anaknya ini.
"Pantes aja Fano jarang banget keluar rumah. Diajakin makan di luar jarang banget mau. Orang masakan Ayahnya aja seenak ini. No, lo mau tukeran Ayah sama gue, nggak?" Ucapan Ori yang terdengar sembarangan itu mendapat jitakan dari Fano.
"Rugi banget gue kalau sampai itu terjadi." Seisi meja makan tertawa kecuali Fano yang terlihat masam.
Sahabat-sahabatnya terlihat nyaman sekali makan bersama. Kesempatan yang bisa dibilang langka karena mereka kebanyakan bersama hanya saat berada di sekolah. Ini kali pertama mereka main ke rumahnya sampai semalam ini. Untungnya masing-masing dari mereka telah mendapatkan ijin pulang telat.
Mendapati sahabatnya terlihat nyaman berada di sini, membuat Fano kembali memikirkan saudara kembarnya. Akan seperti apa ramainya suasana rumah saat ia tiba? Akan senyaman apa ia saat berada di sekeliling mereka berdua. Fano sangat berharap hari itu datang segera. Hampir 10 tahun lamanya berpisah, tentu rasa rindu yang ia punya tak bisa dideskripsikan dengan kata-kata. Kendati ia merupakan pribadi yang lebih banyak diam, bukan berarti Fano tak memiliki rasa.
Di suatu waktu, terkadang Fano memikirkan semua. Mengapa hidupnya menjadi seperti ini? Siapa yang salah hingga membuatnya berpisah dengan saudara sendiri? Mengapa wanita yang melahirkannya itu malah tak pernah menanyakan kabarnya sama sekali? Kejahatan apa yang ayahnya perbuat sehingga semuanya menjadi rumit seperti sekarang? Sesalah itu kah mereka di mata bunda sampai-sampai wanita itu melarang mereka untuk menemui Arkha?
Pernah berkali-kali Fano mencoba untuk bertanya, namun berkali-kali pula ia urungkan niatnya. Saat ini mereka baik-baik saja, tak pantas rasanya jika Fano kembali membuat luka hanya karena penasaran dengan fakta sebenarnya. Yang Fano yakini saat ini hanyalah, waktu yang akan memberi semua jawaban atas pertanyaan-pertanyaannya. Fano percaya, Tuhan pasti memberikan waktu terbaik untuknya mengetahui alasan di balik semua yang terjadi hingga saat ini.
Suatu hari nanti, Fano yakin semua jawaban akan terkuak satu demi satu.
"No, lo kalau nggak mau makan, makanannya buat gue aja. Sayang, lo anggurin gitu aja." Ori yang sedari tadi melihat Fano hanya mengaduk-aduk makanannya, segera menegur. Membuat Oji dan Darel yang saat itu tengah asik mengobrol tentang berbagai topik itu menoleh, menatap Fano dengan tatapan penuh tanya.
"Kamu sakit? Akhir-akhir ini Ayah sering lihat kamu melamun." Fano menggeleng, memberi jawaban.
"Kalau gitu, abisin makanannya. Masa kalah sama Ori yang udah habis dua piring."
"Iya, Yah."
Terlalu banyak yang Fano pikirkan hingga ia merasa otaknya full. Mungkin karena hal itu juga yang membuat nafsu makannya naik-turun. Kali ini ia coba untuk makan dengan normal, tak ingin kedua sahabatnya serta sang Ayah bertanya-tanya. Sejenak melupakan kegelisahannya.
☘☘☘
Fano menyimpan ponselnya saat pesannya pada Affra hanya terbalaskan centang satu. Pertanda bahwa gadis itu telah terlelap dalam alam tidurnya. Fano menggeliat perlahan, sebelum akhirnya beranjak keluar. Mungkin membantu sang ayah lembur membuat rasa kantuk cepat menghampirinya.
Rumah Fano kembali sepi sejak dua jam yang lalu, Ori dan Oji meninggalkan rumah. Hanya ada suara ketikan di ruang keluarga, yang tentunya berasal dari sang ayah. Pria itu mengatakan bahwa dua atau tiga hari ke depan, ia lembur mengumpulkan nilai-nilai anak didiknya. Berprofesi sebagai pengajar, membuatnya selalu bekerja keras saat akhir semester tiba.
"Ada yang bisa Fano bantu, Yah?" Kalimat pertama yang keluar dari bibir Fano saat tiba di samping Darel. Pria itu mungkin tidak menyadarinya karena sesaat setelah Fano mengatakan kalimatnya, ia seperti terkejut.
"Kamu kok belum tidur?" Alih-alih menjawab, Darel malah balik bertanya.
"Nggak bisa tidur."
"Tidur aja sana. Ayah bisa sendiri," serunya dengan tetap fokus pada layar kotak di depannya.
Fano menggeleng sebagai jawaban. Tidak seperti biasanya, ketika Fano menawarkan diri untuk membantu Darel, biasanya pria itu dengan senang hati menerima. Apa Darel menyadari jika akhir-akhir ini Fano mudah merasa kelelahan? Atau karena ada alasan lain? Fano mencoba untuk tidak berpikir negatif. Mungkin saja sang ayah ingin ia tetap beristirahat. Tapi tetap saja rasanya ada yang berbeda.
Seperti ayahnya sedang menyembunyikan sesuatu yang tidak boleh ia tahu.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.