Deofano :: Tujuh

3.6K 243 4
                                        

Sepi dan hening. Dua kata itu pantas menggambarkan keadaan rumah Fano kali ini. Entah di mana keberadaan Darel kini. Tak biasanya sang Ayah meninggalkan rumah dalam keadaan sepi tanpa meminta izinnya.

Namun Fano memutuskan untuk tidak tahu-menahu. Mungkin saja sang ayah sedang keluar, mencari kudapan atau bertemu rekan seprofesi-nya. Kendati hanya berprofesi sebagai pengajar PNS, Darel cukup dibilang sibuk. Selain sebagai pengajar, ia juga memegang peranan penting dalam struktur organisasi sekolah, sebagai bendahara sekolah. Oleh sebab itu, Fano tak heran jika sang ayah seringkali pulang terlambat, atau sering keluar di saat weekend seperti ini. Fano tak masalah akan hal itu, ia tidak akan protes asal Darel punya cukup waktu untuk mengurusnya.

Fano melangkah perlahan menuju sofa. Kakinya pegal-pegal, pertanda minta diistirahatkan. Weekend seperti ini memang waktunya untuk bersantai. Setelah pagi hari ia habiskan waktunya untuk berolahraga, kendati ringan. Tenaganya seakan cepat sekali menurun, Fano merasa kelelahan sekarang. Yang ia lakukan saat ini hanyalah meluruskan kaki sembari memejamkan mata. Tidur sejenak mungkin dapat membantunya melepas lelah.

Belum sempurna terpejam, seseorang mengusiknya. Siapa lagi kalau bukan Darel, sang ayah. Pria itu sepertinya sedang menelpon seseorang namun dengan suara yang cukup keras. Entah menelepon dengan siapa, Fano tak peduli. Mungkin saja itu rekan kerjanya yang sering kali sang ayah sebut. Fano memutus untuk berusaha terlihat tidak terusik dengan tetap memejamkan mata.

Perlahan, suara ayahnya terdengar semakin kecil. Pertanda bahwa pria itu menjauh. Fano tersenyum kecil sembari tetap memejamkan mata. Mungkin, Darel melihatnya tertidur di sofa, lalu menjauh demi menjaga kenyamanannya. Sungguh ayah yang sangat pengertian.

Fano hampir saja benar-benar terlelap saat suara nge-bass Darel kembali terdengar di dekatnya. Suaranya cukup keras sampai-sampai Fano merasa seolah terkejut dalam pejamnya.

"No, kamu tidur?" tanya Darel.

Fano menggeleng, kemudian menegakkan badan. "Enggak, Yah. Kenapa?"

"Ayah mau ke sekolah sebentar, ngecek renovasi perpustakaan. Kamu sendiri nggak pa-pa?"

"Iya, berangkat aja."

"Jangan ke mana-mana sebelum Ayah pulang, pintunya jangan lupa dikunci. Kalau mau tidur, mandi sama makan dulu, terus pindah ke kamar. Jangan tidur di sofa."

"Iya, Yah. Iya."

"Inget, ya. Jangan ke mana-mana. Ayah berangkat dulu."

Darel berjalan dengan kesan terburu-buru. Fano menggelengkan kepala berkali-kali saat kemeja yang Darel kenakan tersangkut di daun pintu. Kalau saja Fano tak ingat bahwa pria itu adalah ayahnya, ia sudah tertawa terbahak-bahak sedari tadi.

"Ayah yang kunci pintunya, ya," pinta Fano setengah berteriak.

Fano tersenyum kecil saat mendengar sautan dari luar sana. Kemudian kembali merebahkan badan, mencoba benar-benar terlelap.

Namun sepertinya Dewi Fortuna tidak berpihak padanya hari ini. Fano hampir terlelap sekali lagi, saat handphonenya berdering nyaring. Fano mencoba mengabaikan, namun suaranya seolah meminta Fano untuk segera mengangkatnya.

Akhirnya Fano memilih bangkit, melangkah sedikit terhuyung ke lemari TV di depannya, mengambil ponsel. Segera mengangkatnya saat ternyata nama Arkha lah yang terpampang di layar ponselnya.

"Ke mana aja, sih?" semprot Arkha satu detik setelah Fano mengangkat telfonnya.

"Tidur."

"Kebo banget, lo! Baru jam segini juga. Adzan dzuhur aja belum."

"Hmmm," balas Fano seraya menguap.

Deofano (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang