Deofano :: Tujuhbelas

3.2K 249 1
                                    

Setelah mendapat kabar dari Arkha bahwa kekasihnya itu menelfon, Fano segera membuka kembali ponselnya.

Sial!

Mengapa Fano tak melihat notif saat melihat jam tadi?

Ia jadi merasa bersalah. Pasti Affra bertanya-tanya ke mana ia seharian kemarin dan tadi. Dua sahabatnya itu juga pasti sama. Tapi mungkin saja mereka sudah tahu keadaannya dari sang ayah. Pria itu pasti telah mengabari pihak sekolah atas absennya dua hari ini.

Tak butuh waktu lama, Fano segera mengetikkan balasan atas puluhan pesan itu. Mengatakan maaf terlebih dahulu sebelum mengutarakan keadaannya kini. Untung saja Affra tak merajuk apalagi marah. Gadis itu langsung mengerti kondisinya. Ia bahkan berencana untuk mengunjunginya. Fano tak melarang namun takut di saat bersamaan. Jika Affra datang, ia akan menjadi gadis sendiri di rumah ini. Fano tak ingin hal tersebut sampai membuat Affra menjadi bahan pembicaraan tetangga-tetangganya kendati sebenarnya tak akan.

Jadi Fano hanya bisa mengatakan bahwa keadaannya sudah jauh lebih baik. Sehingga mungkin besok sudah bisa kembali bersekolah. Jadi, Affra tak perlu repot-repot kemari. Untungnya gadis itu mengiyakan dan tak membahas lebih lanjut.

Beberapa saat asik sendiri bersama Affra, Fano akhirnya mencoba keluar. Sakit seperti ini bukan berarti Fano harus terus-terusan berada di dalam kamar. Ia harus keluar. Mencari udara segar atau setidaknya mengamati apa yang sedang saudara dan ayahnya lakukan. Itu jauh lebih baik daripada hanya bergelung di kasur.

Fano melangkah perlahan dan akhirnya menemukan keduanya sedang berkutat di dapur. Dari jauh, Fano tersenyum. Sudah lama tidak melihat keakraban ini. Senang juga karena akhirnya mereka kembali bersama. Tak apa meski tanpa bunda. Setidaknya Fano merasa ini sudah cukup untuknya. Langkah kakinya semakin mendekat ke arah mereka walaupun pelan.

"Kalian masak apa?" Dengan suara serak, Fano bertanya. Pertanyaan yang lantas membuat mereka berdua terkejut.

Rupanya baik Darel maupun Arkha tak menyadari kehadiran Fano. Saking serius sekaligus menyenangkannya mereka memasak.

"Kok lo turun, sih?"

"Bosen."

"Fano udah baikan, Nak?" Fano mengangguk.

Arkha kemudian menghampiri Fano. Segera memapah cowok itu untuk duduk di meja makan. Darel bahkan melarang Fano untuk lebih mendekat. Fano hanya bisa pasrah saja. Ia tak berbohong jika tubuhnya masih terasa lemas namun tetap memaksakan diri menemani mereka. Arkha pun menawarkan Fano untuk kembali ke kamar, tapi Fano tetap menolak.

Setelah beberapa menit berkutat dengan panci, kompor dan lain-lain, akhirnya Darel selesai memasak. Pria itu menyajikan makanan yang dimasaknya ke meja makan. Yang disambut tak sabaran oleh Arkha. Cowok itu bahkan telah menyiapkan nasi sebelum masakannya matang. Melihat Arkha semangat memakan makanannya, membuat Fano juga ikut semangat.

Darel sampai menggelengkan kepala melihat kelakuan dua anaknya yang terlihat seperti anak kecil di matanya. Senyum pria itu tetap mengembang kala mengingat kapan terakhir kali mereka makan seperti ini. Penuh semangat. Darel kemudian ikut menyibukkan diri dengan makanan seperti kedua anaknya.

☘☘☘

Makan siang selesai. Namun ketiganya masih tetap di tempat. Fano yang masih merasa sedikit lemas juga tetap diam di kursinya. Mengamati percakapan ayah dan kakaknya. Kendati merasa aneh karena sikap Darel terlihat gelisah, Fano tetap diam.

Seperti ada yang ingin pria itu katakan, namun hatinya masih ragu.

Fano hanya berusaha menebak-nebak. Keraguan yang terpancar di mata sang ayah saat mereka tengah asik membicarakan sesuatu itu mengganggunya. Fano tiba-tiba merasa ikut gelisah.

Apakah pekerjaannya menganggu? Sakit Fano terlalu mengkhawatirkan? Atau ada sesuatu yang tak ia ketahui?

Semoga saja tidak.

Fano sudah nyaman dengan hidup berdua saja. Semoga tuduhannya beberapa waktu lalu tidak benar. Semoga Darel sedang tidak menyembunyikan sesuatu darinya.

Tapi jika memang iya, mungkin ini kali pertama Fano kecewa pada ayahnya.

Fano menepis pikiran-pikiran liarnya dengan mencoba ikut mengobrol bersama mereka. Membicarakan apa pun asal gelagat gelisah sang ayah tak lagi tertangkap oleh matanya. Tapi sepertinya itu tidak akan terjadi karena Darel tiba-tiba berkata ada yang ingin ia bicarakan. Dan itu terlihat sangat serius.

Jantung Fano bekerja dua kali lipat. Detaknya bahkan seakan bisa Fano dengar. Sedangkan Arkha hanya diam di depannya. Menunggu Darel berbicara sembari bertanya-tanya hal apa yang bisa membuat Darel seserius ini.

"Ayah nggak tahu harus mulai dari mana. Tapi cepat atau lambat, kalian harus tahu apa yang selama ini Ayah sembunyikan."

Dan jantung Fano semakin gila di tempat. Seolah cenayang, Fano seakan tahu apa yang akan selanjutnya Darel bicarakan. Namun tetap berusaha untuk diam. Menunggu pria itu menyelesaikan kalimatnya.

Arkha juga mendadak diam. Ia fokus mendengarkan. Seperti satu hati dan pikiran dengan Fano, Arkha seolah bisa menebak apa yang sedang ayahnya bicarakan.

"Ayah punya pacar dan ingin segera mungkin menikahinya."

Hanya satu kalimat namun bisa membuat Fano hancur di tempat. Ia hanya diam. Tapi siapapun yang melihat matanya pasti tahu, ada luka baru yang coba ia suarakan. Ini terlalu mendadak dan cukup mengejutkan.

Mengapa baru sekarang?

Mengapa baru sekarang pria itu mengaku saat Fano sangat nyaman dengan hidupnya yang selama ini berdua saja.

Arkha pun ikut diam. Seolah kembali ke masa di mana bunda meminta ijinnya untuk menikahi lelaki lain yang belum lama ini masuk ke dalam hidupnya. Arkha ingin berkata tidak namun takut menyakiti bundanya. Dan hal itu kembali terjadi sekarang. Arkha tak tahu rasanya tapi yang bisa ia tangkap dari tatapan mata Fano barusan, ia tahu Fano kecewa. Lebih dari kecewanya saat bunda memilih lelaki lain di saat ia berharap keluarganya masih bisa seperti dulu.

"Fano ke kamar dulu."

Langkahnya yang cenderung sempoyongan karena masih lemas, membuat Arkha hanya bisa menghela napas panjang di tempat. Anak itu kecewa tapi memilih diam. Arkha tak tahu harus bagaimana sekarang. Ia juga kecewa, tapi tak bisa menyalahkan ayahnya begitu saja. Pasti ada alasan di balik tindakan ayahnya barusan. Ada alasan mengapa Darel menyembunyikan hubungannya yang entah berapa lama itu.

"Jujur aja, aku kecewa, Yah. Baru beberapa hari di sini, aku harus dikejutkan dengan berita mendadak ini. Aku susul Fano dulu, Yah."

Dan tinggallah Darel sendiri di sini. Menatap nanar kursi kosong yang baru saja mereka tinggalkan. Juga menyisakan rasa sakit di hati.

Bukan maunya menyembunyikan semua ini. Justru karena ia terlalu memikirkan anaknya. Namun desakan dari sang wanita, membuat Darel tak lagi bisa mengelak. Mereka terlalu dewasa untuk menjalin hubungan kekasih terlalu lama. Darel tahu, lambat laun Fano pasti tahu apa yang sedang ia sembunyikan.

Darel tak tahu, akan seperti ini rasanya ketika harus jujur. Penolakan jelas terlihat pada dua anaknya. Dan entah mengapa, rasanya sakit melihat penolakan yang sudah jelas ia rasakan sejak awal.

A/N

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

A/N

Hampir lupa mau update. Wkwkwk. Si Fano mau punya mak tiri tuh. Setelah bab ini kayaknya lebih berat, konflik mulai berjalan. Siap-siap aja, apa pun yang terjadi sama Fano ke depan. 😂

11*05*20

Deofano (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang