Deofano :: Empatbelas

3.7K 302 11
                                        

Tanpa terasa, waktu bergulir begitu cepat. Saking asiknya mengobrol, mereka bertiga sampai lupa waktu. Untung saja segala kewajiban telah mereka kerjakan.

Sekarang saatnya makan malam. Darel ditemani Arkha memasak makanan kesukaan masing-masing dari mereka. Sedangkan Fano hanya diam memandangi kegiatan ayah dan anak itu. Kendati sebenarnya ingin ikut membantu, tapi baik ayah maupun Arkha melarang Fano melakukan sesuatu. Mereka mengerti kondisi tubuh Fano sedang tidak baik hari ini.

Tak butuh waktu lama, hidangan segera siap. Fano membantu membereskan meja makan sedikit. Kali ini, suasana lebih ramai karena celotehan-celotehan Arkha yang random. Cowok itu berbicara apa saja selagi mereka makan. Mulai dari membicarakan enaknya masakan sang ayah, sampai merek-merek mobil pun mereka bahas. Karena Arkha pula, Fano jadi mengetahui keinginan sang ayah selama ini. Pria itu menginginkan sebuah mobil. Meski rasanya sedikit aneh karena Darel baru mengungkapkan keinginannya, Fano tetap merasa senang. Setidaknya hari ini, kebahagiaan melingkupi mereka.

"Arkha sudah nambah dua kali lho, No. Makanan kamu belum habis aja," komentar Darel begitu melihat nasi di piring Fani masih banyak.

Fano sendiri merasa tak kuat menghabiskan makan malam kali ini. Perutnya mendadak terasa tak nyaman, mual. Namun tetap berusaha Fano telan. Ia tak ingin mengecewakan sang ayah dan membuat Arkha kerepotan bahkan di hari pertama cowok itu datang.

"Mau gue suapin nggak? Kali aja lo pengen gue suapin makanya ngode makanannya nggak habis-habis."

Mendengar Arkha menggodanya, Fano membalas dengan suara ketus. "Ogah!"

Keduanya tertawa kemudian melanjutkan makan. Dan Fano masih berusaha menandaskan makanannya.

☘☘☘

Malam semakin larut. Arkha memutuskan untuk tidur bersama Fano setelah Darel menawarinya untuk tidur bertiga atau bersama Fano. Bukan bermaksud menolak ajakan sang ayah. Tidur bertiga di ranjang besar milik pria itu tetap saja terasa sempit. Arkha susah tidur saat berada di tempat sempit juga merasa kasihan pada Fano karena setelah makan malam selesai, ia semakin diam. Arkha mengerti. Mungkin dilanda demam dua hari berturut-turut membuat badan Fano terasa tak nyaman. Oleh karenanya, Arkha memutuskan menemani Fano tidur di kamarnya. Untung ranjang cowok itu sama besarnya dengan ranjang sang ayah sehingga Arkha tak merasa kesulitan tidur.

Cowok itu saat ini tengah berhadapan bersama saudara kembarnya. Wajahnya terlihat cukup pucat. Arkha sudah menyuruhnya untuk tidur lebih dulu, namun Fano menolak. Cowok itu mengatakan bahwa mereka butuh waktu yang banyak untuk mengisi kebersamaan mereka setelah begitu lama terpisah.

"Udah lama sejak terakhir kali kita tidur kayak gini ya, No." Fano mengangguk.

Pikirannya menerawang ke masa di mana mereka masih bersama. Menghabiskan waktu sepanjang hari bersama. Mulai dari bangun tidur sampai tidur lagi.

"Gue seneng ternyata kita sama-sama tumbuh dengan baik. Gue seneng ternyata Ayah memperlakukan lo sebaik Bunda memperlakukan gue."

"Gue jauh lebih seneng."

Fano tersenyum saat mengingat masa-masa itu. Sambil tetap menatap Arkha dari samping. Melihat betapa miripnya ia dengan Arkha. Benar-benar seperti pinang dibelah dua. Bedanya, Arkha lebih tinggi dan lebih berisi darinya. Rambut mereka pun sama warnanya. Hitam agak kecoklatan. Warna yang mereka dapatkan dari bunda.

"Bunda apa kabar?" Fano bertanya tiba-tiba.

Arkha terdiam mendengar pertanyaan dari saudara kembarnya itu. Kembali teringat akan perdebatan-perdebatan panjang antara ia dan Bunda sebelum benar-benar berangkat. Masih tak mengerti mengapa Bunda mencoba menghalangi niatnya bertemu mereka sedemikian keras. Juga tak paham apa yang salah di antara mereka.

"Bunda baik. Nanti gue ceritakan semuanya. Tidur dulu. Kalau besok lo udah segeran, gue mau ajak lo keluar. Sekalian olahraga. Udah lama kita nggak olahraga bareng."

Fano mengangguk. Kemudian memejamkan mata. Tubuhnya benar-benar terasa lelah sekarang. Ia butuh istirahat. Berharap semoga besok tubuhnya bisa diajak kerja sama. Ia juga menginginkan hal yang sama seperti yang Arkha inginkan.

Melihat Fano yang sudah mulai terlelap, Arkha tersenyum. Baru kali ini ia tak tega melihat adiknya sakit. Seolah ada bagian dalam dirinya yang ikut merasakan sakit.

Bunda, Fano di sini lagi sakit. Arkha harap beku di hati Bunda segera mencair. Nggak cuma aku yang membutuhkan Bunda di sini.

Setelahnya Arkha terlelap. Mengikuti langkah sang adik yang sudah lebih dulu tertidur.

☘☘☘

Rencana semalam ternyata gagal total. Bukannya mendapat Fano membaik, cowok itu malah terlihat lebih buruk. Begitu bangun, demam kembali menyerang. Tak lupa darah yang keluar dari hidungnya turut memperparah suasana. Membuat Arkha maupun Darel panik melihatnya.

Arkha mencoba menghentikan mimisan yang adiknya alami menggunakan tisu. Tak ada perempuan di rumah ini yang mengerti bagaimana cara merawat orang sakit dengan baik. Alhasil baik Darel maupun Arkha sama-sama menangani Fano dengan panik. Bahkan tak sekali mereka menyenggol suatu benda hingga terjatuh. Untung saja itu tidak berlangsung lama. Mimisan yang Fano alami mereda setelah sekian lembar tisu mereka habiskan untuk menyeka darah yang keluar. Mungkin sekitar 15 menit lamanya.

Pagi yang kacau. Mereka sudah mencoba membujuk Fano pergi ke dokter saat mimisannya berhenti, namun cowok itu tetap menolak dengan dalih tubuhnya terasa lemas bahkan hanya untuk bergerak. Jadi yang mereka lakukan kini adalah membiarkan Fano kembali tidur sejenak. Arkha bertugas menjaga serta mengompres demam adiknya sedangkan Darel berkutat di dapur membuat bubur.

Sakit Fano kali ini membuatnya sangat khawatir. Mengingat ini kali pertama Fano demam sampai tiga hari berturut-turut, kemudian mimisan selama 15 menit. Darel benar-benar khawatir dibuatnya. Jadi hari ini pria itu memutuskan untuk izin tetapi tetap mengerjakan nilai-nilai muridnya di rumah. Untungnya ada Arkha yang bisa ia mintai bantuan untuk menjaga Fano sebentar.

Setelah bubur yang ia masak, Darel membawa tubuhnya menuju kamar sang anak. Arkha membantunya membangunkan Fano dengan suara pelan. Hingga beberapa saat kemudian, akhirnya Fano bersedia membuka mata dan menerima suapan darinya. Sepertinya sakit ini membuat Fano terlihat benar-benar tak berdaya. Yang cowok itu lakukan sedari tadi hanyalah diam sambil tetap berusaha memakan buburnya hingga tandas.

Arkha yang melihat saudara kembarnya sakit seperti ini merasa kasihan. Arkha pernah sakit tapi tak pernah seperti ini. Seolah ia turut merasakan apa yang saudaranya rasakan. Arkha berusaha menemaninya hingga kembali jatuh tertidur. Mengusap-usap lembut punggung Fano. Badannya panas. Mungkin saat lebih baik nanti, ia dan sang ayah mencoba membujuk Fano sekali lagi. Kali ini mungkin dengan sedikit ancaman agar Fano mau menurut. Bagaimanapun juga, ia butuh bantuan dokter untuk membuatnya segera pulih.

Tak seru rasanya jika kepulangannya kali ini hanya diisi kejadian seperti ini. Arkha mau adiknya sehat. Sehingga ia bisa menghabiskan banyak waktu untuk menebus waktu mereka yang hilang. Juga tak ingin melihat Fano menderita karena sakitnya. Cukup sudah rindu yang menyiksa, jangan ada sakit yang jauh membuat adiknya menderita.

A/N

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

A/N

Woah, udah 3k viewers aja. Nggak nyangka. Padahal saya menulis ini dengan modal ilmu dikit dan nekat. Makasih banyak-banyak. Semoga saya bisa terus up sampai kisah ini tamat.

08*05*20

Deofano (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang