Fano belum pernah merasakan hebatnya kehilangan, sebelumnya. Hidupnya terasa sempurna beberapa tahun yang lalu. Ayah yang hangat, ibu yang perhatian, saudara kembar menyebalkan namun ia sayang. Semuanya terasa sempurna.
Sebelum badai itu datang. Me...
Fano hanya diam saja saat dalam perjalanan. Ia mengambil alih motornya. Memaksa Arkha untuk berhenti di tengah jalan tadi. Fano terlalu khawatir jika Arkha membawa motor dalam keadaan tidak baik. Arkha pasrah saja saat Fano memaksanya berhenti tadi. Benar kata adiknya, terlalu berbahaya jika ia memaksakan kehendaknya.
Fano pun hanya diam saja saat Arkha memilih menyandarkan kepalanya pada bahu Fano sepanjang perjalanan. Fano paham, sulit sekali menjadi Arkha. Bertahun-tahun ia percaya bahwa sangat ayahlah yang salah, namun ternyata Arkha salah besar. Fano mencoba memahami keputusan Dera untuk menyembunyikan ini semua.
Tapi bukan berarti Fano membenarkan tindakan wanita itu. Jelas apa yang Dera lakukan adalah kesalahan besar. Wajar jika Arkha sampai semarah itu padanya. Fano sendiri juga merasakan apa yang Arkha rasa. Hatinya sakit mengingat selama itu mereka hidup dalam kepura-puraan atau ayahnya saja yang tak menyadari kepura-puraan yang selalu Dera tunjukkan.
Ternyata benar kata orang-orang, cinta itu membutakan mata dan hati. Fano yakin sekali jika Dera selalu menunjukkan tingkah yang aneh namun Darel percaya begitu saja. Fano paham kini mengapa sang ayah memilih menyembunyikan hubungannya dengan Nada. Tak mudah pasti bagi Darel untuk melupakan apa yang telah Dera lakukan.
Malam ini, perasaannya campur aduk. Benar-benar seperti dipermainkan. Saat awal bertemu wanita itu sampai memeluknya erat, Fano merasa seperti orang yang paling bahagia di dunia. Karena ternyata Dera juga menyayanginya, Dera tidak membencinya dan wanita itu tetap memikirkannya. Itu saja sudah cukup membuat Fano sangat bahagia. Bahkan rasa itu tetap bertahan sampai beberapa detik sebelum Dera mengatakan semuanya.
Detik-detik yang terasa berjalan di atas duri. Sakit sekali rasanya mengetahui Darel dikhianati sedemikian rupa padahal selama ini Fano beranggapan Darel lah yang menyakiti Dera hingga wanita itu memutuskan untuk pergi. Tapi ternyata, sama sekali salah.
Fano paham betapa kecewanya Arkha sekarang. Saudara kembarnya itu sedang tidak baik-baik saja. Oleh karenanya Fano membawa Arkha menepi sejenak. Ia memutuskan berhenti di sebuah cafe tak jauh dari rumahnya. Arkha perlu menenangkan diri sebelum pulang ke rumah dengan keadaan kacau.
Ia hanya tersenyum saat Arkha menatapnya dengan wajah datar. Cowok itu kemudian membuka helmnya, juga meminta Arkha untuk membuka helm yang dipakainya.
"Tenangin diri dulu. Nggak baik pulang dalam keadaan emosi kayak gini." Fano melangkah terlebih dahulu. Disusul Arkha beberapa detik kemudian.
Fano mendudukkan dirinya di salah satu meja yang letaknya di pojok ruangan. Saat itu keadaan cafe tidak begitu ramai. Sepertinya nyaman jika menenangkan diri sejenak. Arkha duduk di depannya kemudian. Wajahnya datar, sesekali ia mengembuskan napas kasar dan mengusap wajahnya.
"Gue nggak nyangka ternyata seperti itu kenyataannya." Arkha bersuara sesaat setelah Americano yang mereka pesan datang.
"Gue juga."
"Gue kecewa banget, No. Rasanya gue nggak mau ketemu Bunda lagi. Setiap inget wajah Bunda, gue selalu terbayang gimana rasa sakit yang waktu itu Ayah rasain."
Fano mengangguk. Ia menyetujui apa yang Arkha katakan. Fano juga merasakannya. Seolah rasa bahagia yang beberapa saat lalu ia rasakan menguap begitu saja dalam hitungan detik. Fano juga kecewa, jauh lebih kecewa dibanding saat Darel mengumumkan rencana pernikahannya. Berbeda dengan dirinya, Arkha pasti jauh lebih kecewa.
"Rasanya gue mau benci Bunda, tapi nggak bisa karena wanita itu yang udah rawat gue dari kecil. Gue harus gimana?" Arkha mengusap wajahnya kasar.
Ia benar-benar tak mengerti apa yang Dera pikirkan. Apalagi kenyataan bahwa Dera berselingkuh dengan Antonio selama itu. Benar-benar tak bisa dipercaya. Lalu mengapa selama ini Dera bersikap seolah ia yang paling tersakiti di sini? Bersikap seolah Darel lah yang salah.
Fano pun sama. Jika selama ini Dera juga menyayanginya? Mengapa tak pernah mengabari? Mengapa ia seolah menghilang begitu saja selama ini?
"Habisin minumannya. Habis itu pulang, langsung tidur. Siapa tahu perasaan lo membaik pas bangun nanti."
Arkha mengangguk. Mungkin benar ia perlu istirahat. Arkha perlu menenangkan diri dengan tidak berhubungan dengan Dera sama sekali. Entah berapa lama, yang jelas Arkha perlu menghilangkan Dera dari ingatannya.
Fano bangkit dari duduknya. Memeluk Arkha dari samping. Ia tahu, saudara kembarnya itu butuh sandaran.
"Gue mencoba mengerti perasaan lo. Dan gue harap lo selalu terbuka. Biar kita bagi perasaan itu. Sakit yang lo rasain harus gue rasain juga. Lo punya gue dan Ayah sekarang. It's okay, nggak ketemu Bunda dulu. Perasaan lo lebih penting sekarang." Arkha mengangguk.
☘☘☘
Sesampainya di rumah, ternyata Darel belum memejamkan matanya. Ditemani Nada, Darel duduk di teras depan. Sepertinya menunggu mereka berdua pulang. Darel bahkan langsung berdiri begitu motor yang Fano kendarai memasuki gerbang rumah mereka. Arkha turun dari motor dengan gerakan lesu. Fano mengikuti sesaat setelah menutup dan mengunci pintu gerbangnya.
Ia hanya diam saja saat Arkha tiba-tiba memeluk Darel. Mengatakan maaf pada pria itu karena selama ini menganggap Darel lah yang salah kendati tak sampai membencinya. Darel hanya tersenyum sembari mengelus surai si sulung.
Nada menyambut Fano saat Arkha masih berada dalam dekapan Darel. Fano hanya mengangguk canggung kendati tak menolak apa yang ibu tirinya itu lakukan padanya. Nada membantu Fano membuka jaket dan mengajak cowok itu masuk ke dalam. Membiarkan Arkha bersama sang ayah menenangkan diri.
"Sejahat-jahatnya Bunda kamu, Fano nggak boleh membenci dia, ya, Nak." Fano mengangguk. Ia berusaha memahami perasaan dan jalan pikiran wanita itu.
"Mungkin susah banget buat Arkha sekarang. Tapi nggak apa. Suatu saat dia pasti mengerti. Yang harus Fano lakukan sekarang hanya temani dia. Beri pengertian pada Arkha. Jangan sampai Arkha membenci wanita yang melahirkannya." Lagi, Fano mengangguk.
Ia menatap dalam wanita yang 15 cm lebih pendek darinya itu. Bersyukur dalam hati karena Darel menemukan wanita yang benar-benar baik. Wanita yang tak hanya memikirkan dirinya sendiri. Nada mungkin akan menjadi pelabuhan terakhir bagi Darel. Dan Fano akan berusaha menyayangi Nada sebagaimana ia menyayangi Dera.
Nada kemudian memeluk Fano singkat sebelum beranjak meninggalkan Fano. Masih ada beberapa hal yang harus ia bereskan dan terhenti karena Darel minta ditemani tadi.
"Bu...," panggil Fano.
Nada terdiam membelakangi Fano. Sudut di bibirnya terangkat membentuk senyuman. Entah mengapa mendengar panggilan itu dari Fano, hatinya menghangat. Nada merasa diterima sepenuhnya di rumah ini. Ia merasa lebih hidup sekarang.
Fano melangkah mendekati Nada yang masih terdiam membelakanginya. Fano memeluk wanita itu dari belakang.
"Aku tahu ini mungkin terlalu mengejutkan buat Ibu. Mulai detik ini, aku akan berusaha buat menerima dan menyayangi Ibu sebagaimana seharusnya. Mungkin agak susah buat aku yang udah lama Bunda tinggal, tapi aku akan terus berusaha. Sesuatu yang Ayah cintai, harus aku cintai juga. Itu bentuk rasa sayang aku sama Ayah. Jadi tolong, jangan pernah kecewakan aku. Jangan pernah merusak rasa percaya yang aku bangun susah-susah. Dan yang paling penting, jangan pernah tinggalkan kami."
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
A/N
So, gaes. Ini adalah part terakhir dari kisahnya Fano. Saya nggak akan bikin A/N panjang lebar kali ini. Akan saya jelaskan setelah epilog besok. Maaf kalau mengecewakan, ya.