Deofano :: Lima

4K 272 6
                                        

"Aku takut."

Fano mematung saat dua kata itu terucap dari bibir kekasihnya.

Takut? Takut apa?

Baru kali ini ia dihadapkan dengan Affra yang seperti ini. Baru beberapa bulan menjalani hubungan memang tak begitu banyak hal mengenai Affra yang Fano tahu. Kendati demikian, ia juga berusaha untuk terus terbuka. Memberikan rasa berharga pada kekasihnya. Fano memang tak banyak tahu tentang hubungan asmara, melihat ia baru saja mengalami pertama kali dalam hidupnya.

Tangan besar Fano bergerak mengusap pelan punggung gadisnya. Ia tak tahu masalah apa yang membuat Affra merasa takut. Hanya soal waktu semua ia ketahui. Hanya soal waktu Affra akan terbuka padanya, membeberkan semua.

Gerakan tangan Fano yang pelan, cukup membuat Affra merasa tenang. Tidak, Affra tidak menangis. Ia hanya merasa butuh sandaran dan Fano adalah orang yang paling tepat untuk posisi itu.

Setelah merasa benar-benar tenang, Affra menegakkan tubuhnya menghadap Fano. Fano pun demikian, memusatkan perhatiannya pada Affra, sang kekasih.

"Kemarin, Ayah dateng. Aku nggak tau apa masalahnya mereka tiba-tiba berantem. Nggak di depan aku, tapi di kamar mereka. Tapi aku masih bisa denger semuanya. Aku takut."

Fano menepuk pelan punggung gadis itu, tersenyum. Walaupun entah mengapa membuat pening di kepalanya seakan bertambah.

"Nggak ada yang perlu kamu takutkan. Berantem dalam sebuah hubungan itu hal yang sangat biasa, Ra. Nggak ada hubungan yang mulus tanpa ada pertikaian. Apalagi dalam hubungan pernikahan. Percaya sama aku, kamu nggak akan pernah merasakan apa yang aku rasa. Semuanya akan baik-baik saja."

Cukup banyak kata yang Fano lontarkan saat ini. Tapi cukup membuat Affra merasa lebih tenang dari yang tadi. Cewek itu bahkan sudah bisa tersenyum. Berusaha menanamkan mindset seperti yang Fano bilang dalam otaknya. Semoga semuanya baik-baik saja. Mereka hanya bertengkar masalah kecil. Tak akan ada perpisahan.

"Ayo pulang!" Affra bahkan sudah beranjak. Mengulurkan tangan, mengajak Fano pulang.

Dengan senang hati Fano menyambut uluran tangannya. Beberapa detik genggaman mereka masih menyatu, sebelum Fano melepasnya. Genggaman yang sungguh membuat Affra tenang, walaupun hanya sebentar.

Keduanya berjalan beriringan. Affra lebih dulu melempar candaan, tertawa pelan. Masalahnya seolah lenyap begitu saja. Sedangkan pihak lainnya, masih merasa cemas. Sangat berharap apa pun yang terjadi nanti, gadisnya tidak merasakan apa yang ia rasa. Perpisahan menyakitkan.

☘☘☘

Selepas mengantar Affra, Fano segera pulang. Badannya terasa hangat, sedikit lemas. Sepertinya flu akan menyerang. Padahal cuaca akhir-akhir ini tidak sedang buruk-buruk amat.

Fano mengernyitkan dahinya begitu sampai di rumah, tidak menemukan motor sang ayah. Jam segini biasanya motor Darel sudah terparkir rapi, bahkan berkutat dengan masakan di dapur. Fano mengeluarkan ponselnya, mengecek mungkin ayahnya telah memberitahunya melalui pesan jika ia akan pulang terlambat.

Benar saja. Satu pesan yang dikirim satu jam yang lalu belum Fano baca. Ia memang tidak sempat membuka ponsel sejak tiba di lapangan tadi.

Ayah💕: Ayah pulang telat, ya. Tiba-tiba ada rapat. Kalau kamu mau makan, beli aja di warung depan. Uang jajannya masih ada, kan? Inget, jangan makan mie instan.

Deofano: Lama nggak? Fano makan bareng ayah aja. Ayah yang beli. Lagi males keluar.

Fano melangkah sembari tetap fokus pada ponselnya. Mengecek beberapa chat penting, seperti list tugas mingguan di grup kelasnya. Sisanya, hanya menyimak pembicaraan tak penting dua temannya itu di grupchat mereka. Kemudian menyimpan ponselnya di atas meja. Memilih mengabaikan pesan Arkha. Saudara kembarnya itu memang hobi sekali mengiriminya pesan receh. Fano sedang malas menanggapinya sekarang. Beruntung tak ada pesan dari Affra--yang bisa saja membuat waktunya lebih banyak terbuang-- Fano jadi bisa menyiapkan air hangat untuk mandi. Suhu udara saat ini tak baik untuknya yang merasa tak enak badan.

Deofano (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang